Mohon tunggu...
Ac Bahar
Ac Bahar Mohon Tunggu... -

Alumni Ilmu Hubungan Internasional, Pasca UI. Lulus Master dari Southampton Solent University.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tafsir Hukum VS Tafsir Politik

9 November 2016   12:00 Diperbarui: 11 November 2016   07:12 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang hiruk pikuk demo pada 4 November yang menurut kredo demokrasi merupakan bagian tak terpisahkan dan menurut undang-undang pun telah diatur dan di perbolehkan namun tidak sedikit yang mengkhawatirkannya. Mengkhawatirkan bila demo itu sendiri merupakan kendaraan yang ditujukan mengarah ke tujuan tertentu. Hal ini bisa saja dilihat dari dua unsur. Pertama faktor keterkaitan dengan issue kekinian dan faktor issue yang pernah terjadi sebelumnya serta para pelakunya. 

Mengambil contoh dari kejadian paling mutakhir yang hampir serupa dapat dilihat dalam proses pemilihan presiden di AS dimana kedua unsur yang pertama dan kedua sangat mengemuka. Ketika James Comey, Direktur FBI membuka kembali kasus Hillary Clinton mengenai surat email pribadi bersamaan dengan kekhawatiran kekalahan calon presiden Trump dalam pemungutan suara di beberapa kota mendapat tanggapan keras dari Senator Harry Reid. Senator Harry Reid dari partai Democrat mengatakan kesengajaan Comey membuka kasus lama Clinton pada saat Trump mulai menunjukkan kekalahannya melanggar Undang undang HATCH ACT.   

Undang-undang HATCH ACT dimaksudkan untuk mencegah keterlibatan para pejabat pemerintah atau individu mempengaruhi jalannya proses pemilihan yang telah ditetapkan pemerintah. Menurut Harry Reid bisa saja Comey tidak melanggar undang-undang tetapi dia telah melanggar spirit dari Undang-undang HATCH  ACT itu sendiri karena telah mempengaruhi jalannya proses pemilihan. 

Dalam kasus di Indonesia terlepas dari permasalahan hukum yang sedang  berlangsung kepada Gubernur DKI, sejak lama aliran garis keras telah bermaksud mendongkel ataupun menggagalkan pencalonan Gubernur untuk periode selanjutnya dengan menggunakan berbagai issue dari isu tidak diperkenankan memiliki pemimpin non-muslim, korupsi hingga masalah etika sang gubernur dalam berkomunikasi tetapi terus mental dan tidak membuahkan hasil. Maka kini bola api telah bergulir dan menemukan momentumnya pada saat Gubernur dililit issue penistaan agama bersamaan dengan berlangsungnya proses pemilihan.

Aliran keras yang semula tidak berhasil melengserkan jabatan Gubernur kini memiliki amunisi baru dengan issue penistaan agama.  Issue sensitiv ini berkaitan dengan tafsir ayat kitab suci Al Qur’an yang hampir tak seorangpun mampu mengambil tafsir lain kecuali para cendikia yang mumpuni untuk tidak mengutuk secara ikut-ikutan. Jika permasalahan terletak kepada issue penistaan maka tidaklah menjadi kekhawatiran karena sang Gubernur harus menjalani proses hukum sebagaimana mestinya. 

Tetapi jika isu ini digunakan sebagai instrumen untuk menjegal Gubernur menghadapi proses pemilihan maka unsur politiklah yang lebih mengemuka, merupakan preseden buruk bagi demokrasi. Dengan kejadian ini legislativ seyogyanya mengantisipasi kemungkinan terjadinya hal serupa adanya upaya menghalang-halangi proses pemilihan lebih-lebih di tingkat nasional. Keadaan seperti inilah sebenarnya yang meng-inisiasi lahirnya Undang-undang HATCH ACT dalam proses pemilihan di AS.   

Momentum penistaan agama telah membawa dampak lebih luas  daripada sekedar masalah penafsiran ayat. Issue ini telah menggiring masyarakat terbelah menjadi beberapa kelompok yaitu secara bersama-sama para pemerhati, donatur, pengikut, penggagas aliran garis keras dan pihak yang berseberangan yaitu para cendikia atau ahli tafsir yang tidak sepaham. Mereka yang kritis kembali membuka relevansinya dengan mengkaitkan agenda kegagalan sang pencari keadilan aliran keras. 

Dalam kaitannya dengan waktu proses pemilihan, perbedaan dengan di AS adalah Undang-undang HATCH ACT ditujukan kepada pejabat pemerintah sedangkan di Indonesia belum terindikasi adanya keterlibatan pejabat secara langsung tetapi lebih kepada aktor individu, gerakan-gerakan organisasi dan politik non-pemerintah. Sedangkan persamaannya adalah sama-sama ingin mempengaruhi jalannya proses pemilihan. Hal ini bisa dilihat dari gerakan politik yang sudah ada sejak awal sebelum dimulainya proses pemilihan salah satunya yang paling menonjol adalah mempersoalkan mengenai sah tidaknya kepemimpinan oleh non-muslim.

Pemerintah dalam hal ini sebagai pelayan masyarakat yang berfungsi mengayomi berbagai lapisan dalam masyarakat sedang di uji kecakapannya dalam mengelola issue yang cukup sensitiv karena menyangkut tafsir yang bisa mengarah ke pendulum hukum maupun politik. Keadaan yang dilematis khususnya bagi penegak hukum dapat menjadi pisau bermata dua. 

Jika terlalu lamban dalam menangani kasus penistaan akan terkesan seperti sedang menjalankan tafsir politik tetapi jika terlalu cepat pemerintah seperti melapangkan jalan bagi tujuan awal dari gerakan aliran keras mencapai tujuannya karena bekerja atas dasar tekanan politik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun