Dua hari belakangan ini kita dipertontonkan dagelan tidak lucu dari peradilan MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) yang sedang dalam proses ‘mengadili’ perbuatan SN. SN yang Ketua DPR RI ini diduga melakukan pelanggaran etika dalam kasus yang ramai disebut-sebut sebagai “Papa Minta Saham”. Sebagian kalangan mengatakan bahwa kasus tersebut sebagai ‘skandal terbesar’ karena melibatkan atau mencatut nama Presiden RI, Wakil Presiden RI dan petinggi-petinggi negara lainnya. Selain itu juga menyangkut permintaan saham dan divestasi PT. FI yang nilainya amat fantastis.
Sementara itu, MKD yang konon katanya bertugas menjaga kehormatan dan martabat Dewan Perwakilan Rakyat RI sebagai lembaga, alih-alih menyelenggarakan proses peradilan etika sebagaimana mestinya, para ‘hakim’nya malah mempertontonkan beberapa keanehan dan kekonyolan dalam perannya memeriksa kesaksian SS sebagai saksi pengadu dan MS sebagai saksi yang hadir dalam pertemuan segitiga SN-MR-MS. Menurut beberapa pakar, keanehan atau kejanggalan dari proses peradilan mahkamah tersebut, antara lain:
- Peradilan yang seharusnya mengadili persoalan etika, tapi diselenggarakan seperti layaknya peradilan umum.
- Para ‘hakim’nya bertindak bukan saja selaku hakim, tapi juga sekaligus sebagai penuntut umum yang justru mencecar saksi-saksi seolah sebagai terdakwa/tersangka. Sebagian saja yang bersikap netral.
- Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sementara ‘hakim’, beberapa tidak ada relevansinya dengan materi/substansi peradilan etika, tapi malah terkesan konyol.
- Karena yang disebut ‘hakim’ itu semua berasal dari parpol, maka sebagian ‘hakim’ yang berasal dari parpol yang sama dan sekoalisi dengan teradu/tersangka terkesan mati-matian melindungi ‘tokoh anggotanya’ sebagai teradu. Bahkan berusaha mengalihkan isu atau substansi/materi yang sebenarnya sedang disidangkan.
- Kentara sekali bahwa peradilan itu jadi bukan peradilan etika, tapi menjelma jadi seperti peradilan politik. Para ‘hakim’ sama sekali tidak independen. Sebagian malah memperlihatkan keberpihakannya terhadap teradu.
- Belum lagi sampai pada proses pengambilan keputusan akhir terhadap teradu yang disangka melakukan pelanggaran etika, sementara pihak justru menyebutkan bahwa perbuatan teradu mengandung pula unsur pidana.
Melihat komposisi para ‘hakim’nya yang beberapa bukan ahli hukum dan sebagian (besar?) cenderung melindungi dan berusaha mengalihkan isu dari perbuatan teradu, dapat diduga akan seperti apa jika pengambilan keputusannya nanti dilakukan dengan cara voting. Ini yang sebetulnya tidak diharapkan, jika keputusan akhirnya tidak mencerminkan aspirasi dan rasa keadilan di masyarakat. Dalam kaitan ini, ratusan ribu rakyat-pun telah menunjukkan kekecewaannya terhadap perbuatan SN dengan mengajukan petisi kepada beberapa lembaga tinggi negara termasuk MKD. Setidaknya, sebagai rasa tanggung jawab perbuatannya kepada publik, masyarakat menuntut agar SN mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI atau dimundurkan.
Di sisi lain, sebagai konsekuensi dari peradilan MKD yang aneh ini, MKD beserta para hakimnya telah jadi bahan ejekan dan olok-olokan di masyarakat baik dalam obrolan langsung, apalagi di internet dan sosial media. Ada yang mengatakan Mahkamah Komplotan Dajjal, Mahkamah Kayak Dagelan, Mahkamah Kehormatan Djamban dll. Jika ini dibiarkan, bukan mustahil MKD bahkan DPR RI sendiri sebagai lembaga akan kehilangan marwah, martabat atau kehormatannya. Ujung-ujungnya MKD dan DPR RI sebagai lembaga bisa tidak dipercaya lagi oleh rakyat.
Maka, agar keberadaan DPR RI sebagai lembaga terjaga kehormatannya, ini saatnya MKD perlu menunjukkan independensinya. Yang benar harus dikatakan benar dan yang salah harus dinyatakan bersalah, diberi sanksi yang setimpal dan tidak terkesan ecek-ecek hanya sekedar memenuhi formalitas. Sebagai catatan, tindakan pelanggaran etika SN bukan pertama kalinya disidangkan oleh MKD. Sebelumnya, SN bersama FZ juga telah mendapatkan teguran (keras?) dari MKD karena ikut berpartisipasi dalam kampanye pendahuluan Donald Trump di New York, AS pada 3 September 2015.
Lebih jauh lagi, agar kedepannya MKD dapat melakukan tugas sesuai fungsinya secara benar, sudah saatnya Peraturan DPR RI yang mengatur tentang MKD 1) ditinjau ulang secara mendalam untuk dilakukan revisi. Para ‘hakim’ MKD seharusnya bukan saja diambil dari tokoh-tokoh masyarakat yang integritasnya telah terbukti, tapi juga mesti independen dan impartial. Bukan dari parpol agar menghindari kesan partisan. Demikian juga dengan proses peradilan dan pengambilan keputusannya.
Jika revisi Peraturan DPR RI ini tidak juga segera dilakukan oleh para anggota DPR RI sendiri, maka menjadi kewajiban elemen masyarakat mengajukan judicial review terhadap UU MD3 2), khususnya yang mengatur tentang MKD ke Mahkamah Konstitusi untuk merevisinya.
Tapi kalau terus tetap begitu, jangan salahkan jika nanti rakyat menyebutnya MKD: Mahkamah hahahaha....!. Atau 'Mahkamah hah hoh hah hoh'....atau malah tindakan yang jauh lebih ‘tegas’ yang menunjukkan hilangnya martabat DPR RI dan MKD di mata rakyat.
Demikian ‘Yang Mulia’ yang sesungguhnya sama sekali tidak mulia...!.
Tanjung Barat, 4 Desember 2015.
Catatan:1). PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TATA BERACARA MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen... 2) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH. http://www.dpr.go.id/dokjdih/docume...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H