Mohon tunggu...
BagusWic
BagusWic Mohon Tunggu... Menyalin pikiran ke dalam kata-kata. -

Menyusun larik-larik kata untuk membuat jalan baru. Yang mungkin asing dilalui saat tersedia arus kuat dan nyaman jika mengalir di dalamnya. Tapi jalur kecil ini akan selalu terbuka. Kapanpun. Saat engkau membutuhkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kematian Mimpi

8 April 2018   09:09 Diperbarui: 8 April 2018   09:28 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: fineartamerica.com

Semua orang pasti pernah jatuh. Begitupun dengan lelaki di garis pantai itu. Yang tak henti menunggu gelombang, sambil berharap menemukan separuh hatinya tergantung di sana.

Dia adalah kosong. Dan entah sampai kapan akan seperti itu[].

---------------------//-----------------------//----------------------//---------------------------//--------------

Jingkat kecil memecah riuh. Kala itu manyar sedang asyik bernyayi. Dengan anak-anak mereka. Mungkin karena senja itu matahari begitu baik. Menebar cahayanya yang hangat. Dan perlahan gema jejaknya menebal. Menggantikan nyanyian keluarga manyar. Yang ramai itu.  

Dia lelaki bertubuh ringan. Dengan tangan-tangan kurus dan gerak yang ragu-ragu. Dibukanya daun pintu di sana. Sesaat kemudian tubuhnya ditelan gelap, dalam ruang itu.  

Ada dua gambar berdiri dia atas meja. Letih. Tanpa nafas.

Ditatapnya dua tubuh dalam gambar di sana. Dirinya dan separuh jiwa. Senyum itu masih tetap melekat kuat. Bahagia. Seperti tak pernah bisa dihapus oleh waktu. Mekarnya adalah abadi. Terlukis dalam wajah keduanya. Dengan latar yang sepurna, seperti pada sebuah mimpi indah.

Di sampingnya, sosok yang sama berpeluk mesra. Dihias dengan list corak kayu. Dengan ukiran daun-daun rumput, yang hijau, menghampar seolah banjir yang meluap pada sudut-sudut ruang dalam foto itu. Tak ada keraguan. Keduanya seakan adalah para pemilik cinta. Mereka bahagia.

Air matanya telah mencair.  Sesaat, sejak dilihatnya gambar itu. Jatuh, di atas porselin yang licin. Menguap sesaat kemudian.

Dibantingnya tubuh kurus itu. Buru-buru. Pada ranjang yang tak pernah tertata.

Dia tidak suka menangis. Benar-benar membencinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun