Pendidikan yang diadakan di sana memiliki nuansa lain, bukan hanya pendidikan, tetapi juga untuk mengkristenkan seseorang. Kartini mempertanyakan pendidikan yang demikian. Orang-orang sebangsanya, yang beragama Islam, akan memandang rendah kepada rekan sebangsanya yang berpindah agama. Masyarakat Jawa yang berpindah agama pun akan memandang rendah kepada rekan sebangsanya yang beragama Islam. Niat yang demikian bisa memecah belah masyarakat Jawa sendiri. Karena itu Kartini menyatakan dengan tegas, "Jika orang hendak mengajarkan agama juga kepada orang Jawa, ajarlah ia mengenal Tuhan Yang Esa, Bapak Penyayang dan Pengasih itu, yang jadi Bapak semua makhluk, orang Kristen maupun dia orang Islam, Buddha, Yahudi, dan sebagainya." .Kepahlawanan GKJW bagi Indonesia.
Rakes Kartini untuk belajar di Belanda tak kunjung mendapat jawaban. Lukanya digambarkan dalam kalimatnya, "... di dalam jiwa saya; terasa seolah-olah hendak tercekik kehilangan napas. Tidak, tidaklah saya hendak membiarkan demikian ... Saya tiada hendak memperturutkan hati rusuh, saya hendak menguasainya perasaan duka cita itu harus takluk kepada saya." (Surat kepada Abendanon, 25 Januari 1903). Abendanon dan istrinya menyarankan Kartini untuk mendirikan sekolahnya sendiri. Kartini mewujudkan hal itu, dia membuka sekolahnya di beranda belakang rumah dinas Bupati Jepara, pada Juni 1903. Awalnya hanya satu muridnya, lalu bertambah menjadi lima orang hanya dalam hitungan seminggu. Di sekolah itu, murid-muridnya belajar membaca dan menulis. Mereka juga belajar budi pekerti, memasak, menjahit, dan membuat kerajinan tangan. Dia mendapatkan kemerdekaannya dan telah memerdekakan para perempuan bangsanya. Sekolahnya adalah sekolah sarat kemanusiaan, ketika perempuan diterima apa pun latar belakangnya.
Tak lama kemudian, bupati Rembang, Kanjeng Raden Adipati Djojoadiningrat melamarnya -- yang kala itu telah memiliki 3 gundik. Kartini mengajukan syarat -- bukan hal yang lazim bagi para perempuan hari itu -- dia tidak mau dalam upacara perkawinannya ada peristiwa perempuan menyembah kepada sang pria, dia tidak mau berbicara bahasa Jawa krama kepada suaminya. Kartini ingin perempuan dianggap sederajat. Djojoadiningrat menyanggupinya. Selang tiga hari, usai menerima lamaran tersebut, rakes Kartini untuk bersekolah di Belanda diterima. Tapi kali ini dia sudah terikat, dia tak mungkin bisa pergi. Tempatnya digantikan H. Agus Salim dari Padang. Kartini menikah pada 12 November 1903. Empat hari setelah melahirkan anak pertamanya pada 17 September 1904 ketika berusia 25 tahun, Kartini meninggal dunia.
Perempuan muda itu mendambakan setiap orang bisa memilih jalannya sendiri, entah itu sebagai ibu, sebagai orang yang bekerja dalam lingkungan sosial, atau apa pun pilihannya. Dia tidak ingin setiap perempuan, siapa pun, terikat pada aturan yang memenjarakan jiwa dan kemanusiaan. Merayakan Kartini adalah merayakan keadilan dan kehidupan.
Catatan:
1: Mojowarno adalah salah satu jemaat mula mula GKJW. GKJW belumlah terbentuk saat Kartini berkeinginan mempelajari ilmu kebidanan di Mojowarno. Jemaat Mojowarno masih berdiri sendiri hingga pada tahun 1931 bersama beberapa jemaat lain membentuk persekutuan yang bernama "Pasamuwan-pasamuwan Kristen ing Tanah Jawi Wetan". Persekutuan itulah yang kemudian berkembang menjadi Gereja  GKJW saat ini.
Sumber: dari GKJW.or.idÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H