Istilah School Based Management, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Model manajemen  ini  pertama muncul dan popular di Amerika Serikat. Menurut Murphy (1995) secara konseptual ada perbedaan para pakar dalam memaknai MBS. Short and Creer, MBS merupakan strategi untuk pemberdayaan semua individu di sekolah. Sedangkan Etheridge MBS adalah sebuah proses formal yang melibatkan kepala sekolah, guru, orang tua siswa, siswa, dan masyarakat yang berada di dekat sekolah dalam pengambilan keputusan.
Sementara itu, David (1989) mendefinisikan MBS sebagai otonomi sekolah yang disertai dengan pengambilan keputusan partisipatif. Caldwell (1990) membuat definisi MBS sebagai kewenaangan mengalokasikan sumberdaya yang didesentralisasikan. Caldwell menegaskan "School-Site or School-Based Management ... are all approaches to the management of public schools or systemic private schools where in there is signifi cant and consistent decentralization to the school level of authority to make decisions related to allocayion of resources, with resources defi ned broodly ... The school remains' accountable to a central authority for the manner in which resources are allocated".
Stonehill (1993) mengatakan bahwa, MBS merupakan strategi untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan mengalihkan kewenangan pembuatan keputusan dari pusat kepada sekolah. David (1989) dan Faatah (2004) mengartikan MBS sebagai pengalihan pengambilan keputusan dari tingkat pusat ke tingkat sekolah. Danim (2006) mendefinisikan MBS sebagai proses kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan prinsip otonomi, akuntabilitas, partisipasi, dan sustainabilitas untuk mencapai mutu pendidikan.
Dari pendapat beberapa pakar di atas, dapat dikemukakan bahwa inti dari MBS pertama, sekolah memiliki otonomi dalam melakukan aktivitas manajerial sesuai kemampuan dan potensi sekolah. Kedua, pengambilan keputusan di tingkat sekolah melibatkan warga sekolah atau stakeholder sekolah. Ketiga, MBS merupakan  strategi  untuk  meningkatkan  mutu  pendidikan.  Keempat, pemberdayaan SDM (sumber daya manusia) di sekolah dngan melibatkan warga sekolah dalam aktivitas manajerial di sekolah.
Secara teoritis istilah MBS memiliki beraneka ragam nama. Menurut Koehn (1990) selain istilah school based management (SBM) atau school site management masih ada beberapa istilah yang maknanya hampir sama, yaitu:
a. Â Local management of schools. Managemen local sekolah merupakan sekolah yang memiliki otonomi pengelolaan pada tingkat sekolah.
b. Â Shared decision making. Pembagian kewenangan dalam pengambilan keputusan.
c. Â Locally autonomous schools. Otonomi sekolah secara lokal, maksudnya sekolah merancang dan mengimplementasikan mutu berdasarkan potensi yang dimilikinya.
d. Â Self determining schools. Sekolah dengan penentuan secara mandiri. e. Â Self managing schools. Pengelolaan sekolah secara mandiri.
f. Â School Participatory management. Manajemen sekolah partisipatif. g. Â Schools decentralizations. Desentralisasi pengelolaan sekolah.
h. Â Restructured Schools. Restrukturisasi sekolah yang berupa perubahan struktur.
i. Â Â Self Governing. Sekolah swakelola atau penyelenggaraan sekolah secara mandiri.
j. Â Self determining. Sekolah berbasis penentuan sendiri.
Sejarah Perkembangan Manajemen Berbasis Sekolah
Sejarah perkembangan MBS di Amerika Serikat diawali dengan perjuangan para guru untuk memperbaiki nasibnya. Tahun 1857 mereka membentuk NEA (National Education Association) di New York. Asosiasi ini merupakan asosiasi pendidikan  nasional  yangdidirikan  oleh guru-guru di  New York  dan  Chicago karena memiliki kepentingan bersama yaitu memperjuangkan nasib dirinya sendiri. Pada  tahun  1903  guru-guru  di  Philadelphia  membentuk  PTA  (Philadelphia Teachers Association).dengan tujuan untuk meningkatkan martabat hidupnya dan imbalan gaji yang lebih baik.
Menurut Bailey 1991 (Dalam Danim, 2006) sejak tahun 1960 an sampai 1990 an gerakan reformasi manajemen pendidikan di Amerika serikat telah berjalan lama yang mengarah kepada desentralisasi. Tahun 1960 an Neale, Rand Corporation, Fullman, McLaughlin, Bruce Joyce menggagas The New Progressive Era yang menekankan pengembangan kemampuan individu sebagai garda terdepan perubahan.  Tahun  1970  an  Edmunds,  Brookover, Cohen,  Cuban,  dan  Auistin menggagas School Effectiveness Studies yang menekankan pada etos sekolah efektif. Tahun 1980 an Bell, Wood, dan Sizer menggagas National Report atau laporan nasional yang menekankan pemberdayaan sekolah dan pemberdayaan pendidikan bagi anak berisiko (Nation at Risk) dalam menempuh pendidikan seperti: anak-anak miskin, gelandangan, anak-anak korban PHK, anak-anak di daerah terpencil, dan pengemis.
Sejak tahun 1980-an, manajemen berbasis sekolah sudah diterapkan dalam dunia pendidikan (Watson & Supovitz, 2001), dan merupakan tema sentral dalam reformasi pendidikan di berbagai negara (Umaedi, 2000). Manajemen berbasis sekolah merupakan suatu pengalihan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab pengelolaan pendidikan dari birokrasi sentral kepada pengelola pendidikan terdepan, yaitu sekolah dan komunitasnya. Para pengambil kebijakan mulai mempercayai paradigma baru, bahwa untuk meningkatkan mutu pendidikan yang mendukung School based management di berbagai negara bermunculan, seperti program pemberdayaan sekolah dalam memperbaiki hubungan interpersonal dan kepemimpinan sekolah. Pada saat yang sama, karakteristik sekolah efektif tengah gencar-gencarnya dipromosikan oleh gerakan efective schools, yang sangat mengandalkan adanya otonomi pengelolaan sumberdaya pendidikan oleh sekolah.
Walaupun MBS dianggap sebagai kiat baru dalam manajemen mutu pendidikan, sejumlah ahli pendidikan menyatakan bahwa pemberian otonomi kekuasaan kepada sekolah tidaklah menjamin bahwa sekolah akan menggunakan wewenang yang diperolehnya dapat meningkatkan mutu pendidikan. Karena itu, sekolah sebagai pelayan harus dapat membuat keputusan bersama tentang layanan pendidikan yang diharapkan (Cheng, dalam Umaedi, 2000). Untuk itu, sejak akhir tahun 1980-an muncullah konsep manajemen sekolah yang menekankan kebersamaan dalam pengambilan keputusan antara sekolah dan orang tua.
Sejumlah negara maju telah menerapkan MBS sebagai model utama dalam penyelenggaraan layanan pendidikan. Namun demikian pelaksanaan MBS ini tidaklah sama antara satu negara dengan negara lainnya. Beberapa negara benar- benar menyerahkan sepenuhnya kewenangan penyelenggaraan pendidikan kepada sekolah dan masyarakat setempat, seperti yang terjadi di Inggris yang disebut Local Management of Schools dan Grant Maintained of Schools. Sebagian lainnya hanya memfokuskan pada pemberian wewenang kepada sekolah dalam mengalokasikan dana dan sumberdaya pendidikan, seperti terjadi di Australia (The Schools of Future), Canada (Schools Based Budgeting), dan Amerika Serikat (Charter Schools). MBS di berbagai negara namanya amat beragam, di antaranya:Schools based Management, Site based Management, Schools Based Leadership, Administrative Decentralization, dan Schools Based Decision Making.
Model MBS yang dicoba di Amerika Serikat  membawa dampak yang positif bagi peningkatan mutu pendidikan. Model ini merupakan model yang berasal dari karya Edward E Lawler (1994). Keuntugan model MBS ini adalah: (1) adanya pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan cepat, (2) memberi dorongan semangat kinerja baru, dan (3) meningkatkan motivasi berprestasi di sekolah. Degan demikian penggunaan MBS berdampak pada mekanisme kerja yang lebih efektif.
Tujuan Dan Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah
Menurut Chapman (1990) MBS merupakan pendekatan yang bertujuan mengelola sekolah dengan memberikan kewenagan, partisipasi warga sekolah, dan masyarakat dalam perbaikan kinerja sekolah. Menurut Subakir dan Sapari (2001), tujuan utama penerapan manajemen berbasis sekolah adalah untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan dan meningkatkan relevansi pendidikan di sekolah, dengan adanya wewenang yang lebih besar dan lebih luas bagi sekolah untuk mengelola urusannya sendiri. Departemen Pendidikan Nasional (2000) merumuskan tujuan MBS adalah untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan kemandiriannya, diharapkan:
1. Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya dibandingkan dengan lembaga-lembaga lainnya, sehingga dia dapat mengoptimalkan sum
2. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
3. Â Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan kepada: pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya. Dengan demikian sekolah akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu, pendidikan yang telah direncanakan.
4. Â Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.
Rasionalitas Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah
Hasil analisis Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) ada tiga faktor yang menjadi penyebab mutu pendidikan rendah. Faktor pertama, pengelolaan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik, dimana pusat sangat dominan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan, sedangkan daerah dan sekolah lebih berfungsi sebagai pelaksana kebijakan pusat, dengan kata lain sekolah tidak memiliki otonomi. Faktor kedua, kebijakan pendidikan yang menggunakan pendekatan input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekwen. Pendekatan ini menganggap bahwa, apabila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku pelajaran, dan perbaikan sarana prasarana pendidikan dipenuhi mutu pendidikan akan meningkat. Faktor ketiga, peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim (Depdiknas, 2001).Â
Menyadari rendahnya mutu pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional memasyarakatkan sistem pengelolaan pendidikan yang disebut Manajemen Berbasis  Sekolah. Sistem  pengelolaan  pendidikan  dengan  model  manajemen berbasis sekolah ini, telah dirintis sejak tahun 1999, dan secara yuridis dicantumkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan diperjelas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam peraturan pemerintah tersebut, manajemen berbasis sekolah diberlakukan mulai pendidikan dasar sampai pendidikan menengah.
Sementara itu, secara yuridis diberlakukannya manajemen berbasis sekolah/madrasah didasarkan: (1) Undang-Undang No.20 Tahun 2003, (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, dan (3) Surat Keputusan Mendiknas Nomor 044 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Selanjutnya secara rasional diberlakukannya MBS dapat dielaborasi sebagai berikut:
1. Â Sekolah Lebih mengetahui tentang kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sendiri.
2. Â Sekolah lebih mengetahui kebutuhannya sendiri.
3.  Keputusan  yang  diambil  sekolah  lebih  sesuai  untuk  memenuhi kebutuhan sekolah
4. Â Penggunaan SD pendidikan lebih efesien dan efektif jika dikontrol masyarakat.
5. Â Keterlibatan warsek dan masyarakat dalam PK dapat menciptakan iklim tranfaransi dan demokrasi
6. Â Sekolah bertanggung jawab kepada orang tua, masyarakat, pemerintah.
7. Â Sekolah akan terpacu secara kompetitif dengan sekolah lain.
8. Â Sekolah responsif terhadap tuntutan masyarakat dan lingkungan
Seiring dengan bergulirnya era otonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan reorientasi paradigma pendidikan menuju ke arah desentralisasi pengelolaan pendidikan. Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah dikeluarkannya kebijakan mengenai otonomi pendidikan melalui strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS bukan sekedar mengubah pendekatan pengelolaan sekolah dari yang sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS diyakini akan muncul kemandirian sekolah. Melalui penerapan MBS, kepedulian masyarakat untuk ikut serta mengontrol dan menjaga kualitas layanan pendidikan akan lebih terbuka untuk dibangkitkan. Dengan demikian kemandirian sekolah akan diikuti oleh daya kompetisi yang tinggi akan akuntabilitas publik yang memadai.
Dasar hukum yang melandasi adanya Manajemen Berbasis Sekolah meliputi landasan secara filosofis dan landasan yuridis. Landasan filosofis MBS secara umum adalah cara hidup masyarakat. Maksudnya jika ingin reformasi pendidikan itu sukses maka reformasi tersebut harus berakar pada cara dan kebiasaan hidup warganya. Seandainya reformasi itu peduli terhadap cara dan kebiasaan warganya maka reformasi tersebut akan mendapat dukungan dari segenap lapisan masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan melalui proses mencerdaskan kehidupan bangsa dalam konteks idiil negara kita merupakan tanggung jawab pemerintah, sedangkan menurut praktisnya merupakan tanggung jawab  bersama  antara keluarga,  masyarakat  dan  pemerintah.  Tanggung  jawab tersebut, dilandasi oleh peran secara profesional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H