Mohon tunggu...
bagus singgih pambudi
bagus singgih pambudi Mohon Tunggu... mahasiswa

perkenalkan ana bagus singgih mahasiswa semester 4 sedang dalam menuju masa pembelajaran untuk menjadi lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Praktek Riba dalam Transaksi Online

9 Mei 2024   09:58 Diperbarui: 11 Mei 2024   20:50 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.merdeka.com/sumut/pengertian-riba-dan-contohnya-pahami-ketentuannya-dalam-islam-kln.html

PRAKTIK RIBA DALAM TRANSAKSI ONLINE


Visal Alpariji Pratama Putra Harahap (312210480)

Bagus singgih pambudi (312210469)

Khairul akmal (312210602)

Sony wiratama (312210485)

alfarizyhrp92@gmail.com


ABSTRAK

     Perbankan syariah saat ini menjadi kata yang banyak dikenal secara luas baik kaum muslim ataupun non-muslim di dunia. Perbankan syariah berusaha memberikan pelayanan terbaik kepada para nasabah tanpa riba "bunga" yang diharamkan oleh Allah dan tertulis dalam Al-Quran dan hadis secara jelas. Tetapi meskipun sudah dijelaskan dengan tegas bahwa riba adalah kegiatan yg dilarang, nyatanya sampai saat ini masih banyak perdebatan mengenai riba. Maka dari itu, tulisan ini bertujan untuk mengamati kembali persoalan riba menurut perspektif

PENDAHULUAN

     Secara bahasa riba memiliki makna yang lebih dari sebuah kata pinjaman. Pertukaran uang adalah kegiatan transaksi yang sangat rentan dengan riba. Secara sederhana, teori dengan kenyataan riba dalam praktiknya hanyalah pelarangan pembayaran dan penerimaan bunga atas peminjaman uang(Hasanuzzaman 1991). Namun jika diterjemahkan lebih lanjut lagi, riba atau bunga memiliki arti yang lebih dalam pada syariah. Riba pada syariah merujuk pada 'premi' yang harus segera dibayar oleh peminjam kepada pemberi pinjaman bersama jumlah pinjaman pokok sebagai ganti untuk perpanjangan tempo waktu yang telah diberikan(Chapra 1985).

Beberapa ulama muslim mencoba mengartikan riba yang lebih dekat dengan makna tersirat dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadist, mereka mengartikan riba sebagai kelebihan atau peningkatan yang diperoleh pemberi pinjaman dalam pertukaran ataupun penjualan tanpa memberikan imbal balik yang sepadan kepada pihak lain (Haque 1995).

Sama halnya pada zaman pra-islam sampai awal islam, riba pada saat itu menandakan melebihi uang dalam pertimbangan untuk jangka waktu pinjaman yang diperpanjang. Kaum arab pra-islam dan awal islam dahulu, jika sudah sudah tanggal jatuh tempo, mereka akan menuntut jumlah pokok pinjaman dari debitur. Dan jika peminjam tidak bisa membayar, maka kreditur akan menaikan jumlah pokok dan memperpanjang waktu tempo(Ahmad and Hassan 2007).Tamaddun Journal of Islamic Studies, June 2022, Vol. 1(1), pp. 13 -- 25

LANDASAN TEORI

    Syekh Shalih Al Fauzan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi (hal. 272) menjelaskan, "Riba secara bahasa artinya: tambahan. Secara istilah syar'i, riba adalah adanya tambahan dalam pertukaran dua barang tertentu (yaitu komoditas ribawi)."

Sebagaimana hadis dari Ubadah bin Shamit Radhiallahu'anhu, bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda,

. . . . . . . . .

"Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya'ir dengan sya'ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka kalian, selama dilakukan dari tangan ke tangan (kontan)" (HR. Bukhari, Muslim no. 1587, dan ini adalah lafaz Muslim).

Dalam riwayat lain,

"Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya'ir dengan sya'ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba" (HR. Muslim no. 1584).

Tidak semua barang dapat terkena hukum riba. Hanya barang-barang tertentu saja yang disebut sebagai al amwal ar ribawiyah (komoditas ribawi); yakni enam komoditas yang disebutkan dalam hadis di atas. Barang tersebut di antaranya emas, perak, burr (gandum kering), sya'ir (gandum basah), garam dan kurma, serta semua barang yang di-qiyas-kan kepada enam komoditas ini.

Dengan menggunakan qiyas, para ulama mengelompokkan komoditas ribawi terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Semua yang termasuk ats-tsamaniyah (alat tukar), di-qiyas-kan kepada emas dan perak. Sehingga uang dengan segala bentukmya (kertas, logam, fiat, digital, dst.) termasuk dalam komoditas ribawi.

2. Semua yang termasuk ath thu'mu ma'al kayli (makanan yang ditakar ukurannya), di-qiyas-kan kepada burr, sya'ir, garam dan kurma. Sehingga beras yang diukur dengan ukuran liter, ini termasuk komoditas ribawi.

3. Semua yang termasuk ath thu'mu ma'al wazni (makanan yang ditimbang beratnya), yang juga di-qiyas-kan kepada burr, sya'ir, garam dan kurma. Sehingga tepung, jagung, gula ini termasuk komoditas ribawi. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah.

Sumber: https://muslim.or.id/71668-praktek-riba-dalam-transaksi-online.html
Copyright 2024 muslim.or.id

Larangan riba sudah jelas dituangkan dalam al-Quran dalam beberapa ayat dan hadist sebagai berikut:

"Karena dosa orang-orang Yahudi, Kami mengharamkan mereka untuk mengerjakan sebagian kebaikan yang halal bagi mereka, dan karena mereka menyesatkan banyak orang dari jalan Allah. Dan karena mereka mengambil riba, padahal mereka diharamkan, dan bahwa mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil, dan Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih" (Al-Nisa`:160-161). 

"Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu menyentuh dan memakan riba dengan berlipat ganda, dan taatilah dengan kewajibanmu kepada Allah. semoga kamu beruntung" (Al-Imran:130) 

"Allah mengizinkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang datang kepadanya Iarangan Allah SWT, laIu terus berhenti (untuk mengkonsumsi riba), maka baginya apa yang ia ambil dari riba terlebih dahulu (sebelum Iarangan datang) dan usahanya (naik) kepada Allah. Barang siapa mengembalikan (mengambil riba), maka orang itu adalah tawanan kekaI-nerakanya di dalam dirinya" (QS Al Baqarah 275). 

Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam khutbah perpisahannya: "Allah telah melarang Anda mengambil Riba, oleh karena itu semua kewajiban riba selanjutnya akan dihapuskan. Modal Anda, bagaimanapun, adalah milikmu untuk disimpan. Anda tidak akan menimbulkan atau menderita ketidakadilan. Allah telah memutuskan bahwa tidak akan ada riba dan itu semua riba karena 'Abbas ibn 'Abd al Muthalib selanjutnya akan dihapuskan.

            Nabi muhamad saw mengutuk orang yang berurusan dengan riba.dari jabir (ra):Nabi muhammad saw mengutuk penerima riba dan pembayar riba,yang mencatatnya dan dua orang yang menyaksikan transaksi tersebut dan berkata:"mereka adalah semua sama (dalam rasa bersalah). bersalah]." [Sahih al-Muslim, Sahih Al-Bukhari, Tirmidzi, Ibn Majah, Bahiqi dan Musnad Ahmad] Syariah Islam menganggap Riba sebagai alat penindasan dan sarana untuk mengambil uang orang lain secara tidak adil 32 dengan mengeksploitasi kebutuhan dan keadaan mereka. Oleh karena itu melarang sistem dasar Riba sama sekali dan mempromosikan Amal sebagai alternatif. Oleh karena itu, Nabi Muhammad (saw) mengatakan: "Allah telah memutuskan bahwa tidak akan ada riba" [Terakhir Khotbah].

Diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri dan Abu Huraira: Rasul Allah diangkat seseorang sebagai gubernur Khaibar. Gubernur itu membawakannya jenis yang sangat baik kurma (dari Khaibar). Nabi bertanya, 'Apakah semua kurma Khaibar seperti ini?' Dia menjawab, 'Demi Allah tidak, wahai Rasulullah! Tapi kami menukar satu jenis ini (jenis kurma) untuk dua baris kurma kami dan dua baris untuk tiga baris kami.' milik Allah Rasul berkata, 'Jangan lakukan itu (karena itu adalah sejenis riba) tetapi jual kurma campuran (dari kualitas rendah) untuk uang, dan kemudian membeli kurma yang baik dengan uang itu' (Bukhari, vol.3, buku 34, no. 405; lihat juga Muslim, buku 10, nomor 3875)(Visser 2019)

Dalam ayat-ayat al-Quran dan hadist yang menyebutkan riba, memperlihatkan bahwa semua hasil kekayaan yang tidak sah dengan mengorbankan yang lain, dan banyak praktik berbeda baik oleh individu atau negara dicakup oleh larangan ini. Prinspipnya adalah setiap keuntungan atau kekayaan yang dicari manusia harus melalui keuntungan mereka sendiri dengan mengerahkan tenaga dan bukan melalui memanfaatkan orang lain. Dalam al-Quran riba dianggap sebagai kafir, hal menuntut, sebagai ujian kepercayaan, dan harus segera ditinggalkan(Hasanuz Zaman 2001)

 Tamaddun Journal of Islamic Studies, June 2022, Vol. 1(1), pp. 13 -- 25 

HASIL DAN PEMBAHASAN

     Secara etimologi riba berarti tambahan, baik yang terdapat pada sesuatu atau tambahan tersebut sebagai ganti terhadap sesuatu tersebut, seperti menukar satu dirham dengan dua dirham. Lafadz ini juga digunakan atas segala bentuk jual beli yang diharamkan (Syarh An Nawawi 'alaa Shahih Muslim 11/8, Fathul Baari 4/312)

1. Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba

Dalil dari al-Qur'an, Allah ta'ala berfirman,

"Dan Allah telah mengharamkan riba." (Qs. Al Baqarah: 275)

Dalil dari As-Sunnah:

 

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba dan dua orang saksinya. Kedudukan mereka itu semuanya sama." (HR. Muslim nomor 2995)

Kaum muslimin pun telah sepakat untuk mengharamkannya dan meyakini bahwa hal tersebut termasuk dosa besar.

Di sisi lain, riba merupakan salah satu bentuk kezhaliman sedangkan keadilan yang terkandung dalam syari'at yang adil tentunya mengharamkan kezhaliman

(Taudhihul Ahkam 4/367)

2. Dampak Negatif Riba

A. Dampak Negatif Bagi Individu

Riba memberikan dampak negatif bagi akhlak dan jiwa pelakunya.

Riba merupakan akhlaq dan perbuatan musuh Allah, Yahudi. Allah ta'ala berfirman:

 

Riba merupakan akhlak kaum jahiliyah

Bagaimana bisa transaksi ribawi dikatakan sebagai bentuk kezhaliman padahal mereka yang berhutang, ridha terhadap bentuk muamalah ini?

Pertama, sesungguhnya bentuk kezhaliman dalam bentuk muamalah ribawi sangat nyata, yaitu mengambil harta milik orang lain secara batil. (Karena) sesungguhnya kewajiban bagi orang yang menghutangi adalah memberikan kelonggaran dan tambahan waktu bagi pihak yang berhutang tatkala kesulitan untuk melunasi hutangnya
Kedua, jika ditilik lebih jauh, sebenarnya pihak yang berhutang tidak ridla terhadap transaksi tersebut sehingga statusnya layaknya orang yang tengah dipaksa, karena dirinya takut kepada pihak yang menghutangi apabila tidak menuruti dan mengikuti bentuk mu'amalah ini, mereka akan memenjarakan dan melukai dirinya atau menghalanginya dari bentuk mu'amalah yang lain.

Selayaknya bagi seorang muslim untuk taat dan patuh tatkala Allah dan rasul-Nya melarang manusia dari sesuatu. Bukanlah sifat seorang muslim, tatkala berhadapan dengan larangan Rabb-nya atau rasul-Nya dirinya malah berpaling dan memilih untuk menuruti apa yang diinginkan oleh nafsunya.

Tidak diragukan lagi bahwasanya riba memiliki bahaya yang sangat besar dan dampak yang sangat merugikan sekaligus sulit untuk dilenyapkan. Tentunya tatkala Islam memerintahkan umatnya untuk menjauhi riba pastilah disana terkandung suatu hikmah, sebab dinul Islam tidaklah memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu melainkan disana terkandung sesuatu yang dapat menghantarkannya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat, diantaranya adalah :

Riba memberikan dampak negatif bagi akhlak dan jiwa pelakunya. Jika diperhatikan, maka kita akan menemukan bahwa mereka yang berinteraksi dengan riba adalah individu yang secara alami memiliki sifat kikir, dada yang sempit, berhati keras, menyembah harta, tamak akan kemewahan dunia dan sifat-sifat hina lainnya.

Riba merupakan akhlaq dan perbuatan musuh Allah, Yahudi. Allah ta'ala berfirman:

 

"Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih." (QS. An Nisaa': 161)

Riba merupakan akhlak kaum jahiliyah. Barang siapa yang melakukannya, maka sungguh dia telah menyamakan dirinya dengan mereka.

Pelaku (pemakan) riba akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadaan seperti orang gila. Allah ta'ala berfirman:

 

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (QS. Al-Baqarah: 275)

Seseorang yang bergelut dan berinteraksi dengan riba berarti secara terang-terangan mengumumkan dirinya sebagai penentang Allah dan rasul-Nya dan dirinya layak diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. Allah ta'ala berfirman:

 . 

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (QS. Al-Baqarah: 278-279). Maka keuntungan apakah yang akan diraih bagi mereka yang telah mengikrarkan dirinya sebagai musuh Allah dan akankah mereka meraih kemenangan jika yang mereka hadapi adalah Allah dan rasul-Nya?

 

B. Dampak Negatif Bagi Masyarakat dan Perekonomian

Riba menimbulkan permusuhan dan kebencian antar individu dan masyarakat serta menumbuhkembangkan fitnah dan terputusnya jalinan persaudaraan.

Masyarakat yang berinteraksi dengan riba adalah masyarakat yang miskin, tidak memiliki rasa simpatik. Mereka tidak akan saling tolong menolong dan membantu sesama manusia kecuali ada keinginan tertentu yang tersembunyi di balik bantuan yang mereka berikan. Masyarakat seperti ini tidak akan pernah merasakan kesejahteraan dan ketenangan. Bahkan kekacauan dan kesenjangan akan senantiasa terjadi di setiap saat.

Perbuatan riba mengarahkan ekonomi ke arah yang menyimpang dan hal tersebut mengakibatkan ishraf (pemborosan).

Riba mengakibatkan harta kaum muslimin berada dalam genggaman musuh dan hal ini salah satu musibah terbesar yang menimpa kaum muslimin. Karena, mereka telah menitipkan sebagian besar harta mereka kepada bank-bank ribawi yang terletak di berbagai negara kafir. Hal ini akan melunturkan dan menghilangkan sifat ulet dan kerajinan dari kaum muslimin serta membantu kaum kuffar atau pelaku riba dalam melemahkan kaum muslimin dan mengambil manfaat dari harta mereka.

Tersebarnya riba merupakan "pernyataan tidak langsung" dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah ta'ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

 

"Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah." (HR. Al Hakim 2/37, beliau menshahihkannya dan disetujui oleh Adz Dzahabi. Syaikh Al Albani menghasankan hadits ini dalam Ghayatul Maram fii Takhrij Ahaditsil Halal wal Haram hal. 203 nomor 344)

3. Kaidah riba dalam hutang-piutang

Kaidah umum mengenal riba dalam hutang-piutang adalah,

 

"Setiap hutang-piutang yang mendatangkan manfaat atau tambahan (bagi orang yang menghutangi), maka itu adalah riba."

Kaidah ini bukanlah sebuah hadis yang sahih dari Nabi. Namun para ulama sepakat bahwa maknanya benar dan diamalkan oleh para ulama. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, "Hadis ini lemah menurut para ulama, tidak sahih. Namun maknanya benar menurut mereka. Bahwasanya hutang yang mendatangkan manfaat, maka itu terlarang berdasarkan kesepakatan para ulama" (Fatawa Nurun 'alad Darbi, no. 463).

Misalnya, jika Fulan berhutang seratus juta rupiah kepada Alan dengan syarat pengembaliannya sebesar 120 juta. Maka 20 juta yang didapat Alan ini adalah manfaat atau tambahan yang datang dari transaksi hutang-piutang. Sehingga transaksi ini disebut riba sebagaimana kaidah di atas.

Sebagaimana juga disebutkan dalam hadis yang telah disebutkan di atas, "Emas dengan emas, perak dengan perak ... siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba." Sedangkan uang di-qiyas-kan kepada emas dan perak, sehingga pertukaran uang dengan uang dalam hutang-piutang tidak boleh ada tambahan. Jika ada tambahan maka termasuk riba.

4. Hadiah pun termasuk riba

Hadiah yang diberikan penghutang kepada pemberi hutang sebelum pelunasan, juga termasuk riba. Karena ini termasuk tambahan dalam hutang piutang. Sebagaimana hadis,

 : : 

"Dari Abu Burdah, ia berkata: Suatu hari saya datang di kota Madinah, dan saya bertemu dengan Abdullah bin Salam Radhiallahu'anhu. Kemudian beliau mengatakan kepadaku, "Sesungguhnya Anda di negeri yang telah marak riba. Jika ada seseorang mempunyai hutang kepadamu, lalu ia memberikan hadiah kepadamu dengan membawakan hasil bumi, gandum, atau membawa rumput makanan hewan ternak, janganlah Anda mengambilnya, karena itu riba" (HR. Bukhari no. 3814).

Asy-Syaukani Rahimahullah menjelaskan rincian hukum terkait hadiah dari penghutang,

 

"Jika hadiah tersebut diberikan tidak untuk suatu tujuan yang diketahui, maka pendapat yang tepat adalah hal ini terlarang karena larangan dalam masalah ini sifatnya mutlak. Adapun tambahan yang diberikan ketika pelunasan yang tidak disyaratkan sebelumnya dan tanpa ada kesepakatan sebelumnya, maka yang tepat ini dibolehkan, baik berupa tambahan dalam sifatnya atau kadarnya, baik tambahannya sedikit atau banyak. Berdasarkan hadis Abu Hurairah, Abu Rafi', Al Irbadh dan Jabir (tentang melebihkan pelunasan hutang). Bahkan ini mustahab (dianjurkan)" (Nailul Authar, 5: 275).

5. Beberapa Bentuk Riba Dalam Transaksi Online

A. Kartu kredit

Sebagaimana kita ketahui kartu kredit adalah kartu yang digunakan untuk melakukan pembayaran dengan pinjaman hutang dari penerbit kartu, kemudian dilunasi di kemudian hari. Biasanya penerbit kartu adalah bank, dan biasanya ada bunga yang dikenakan atas pinjaman yang telah dilakukan oleh pemegang kartu. Maka jelas di sini ada tambahan dalam transaksi hutang-piutang, sehingga termasuk riba.

Demikian juga kartu kredit yang mempromosikan bunga 0% namun pemegang kartu akan dikenai denda jika melunasi hutang lewat dari batas waktu tertentu. Dimana denda ini pada hakikatnya juga termasuk tambahan dalam transaksi hutang-piutang, sehingga termasuk riba.

Para ulama dalam Majma' Fiqhil Islami dalam muktamar ke-12 di Riyadh, pada tanggal 25 Jumadal Akhirah 1421H merilis ketetapan tentang hukum kartu kredit. Ketetapan tersebut tercantum pada ketetapan nomor 108, yang di dalamnya menjelaskan, "Pertama, tidak boleh menerbitkan kartu kredit dan tidak boleh menggunakannya, jika dipersyaratkan adanya tambahan riba. Walaupun pemegang kartu kredit berkomitmen untuk melunasi hutang pada jangka waktu tertentu yang bunganya 0%. Kedua, dibolehkan menerbitkan kartu kredit jika tidak mengandung ketentuan adanya tambahan ribawi terhadap pokok hutang."

B. Pinjaman online (pinjol)

Di masa-masa belakangan ini semakin merebak adanya layanan pinjaman online (pinjol) di negeri kita. Menawarkan pinjaman dengan proses yang cepat hanya bermodalkan handphone dan foto KTP. Uang ratusan dan jutaan rupiah pun sudah di tangan. Namun jelas di sana ada bunganya. Bahkan bunga besar dan mencekik. Andaikan bunga pinjaman ini kecil, tetap termasuk riba yang diharamkan dalam agama. Apalagi jika bunganya besar.

Ulama sepakat tidak ada khilafiyah di antara mereka bahwa bunga dalam hutang-piutang adalah riba. Ibnu Munzir Rahimahullah mengatakan,

 

"Para ulama yang pendapatnya dianggap telah bersepakat tentang batilnya akad hutang, jika dipersyaratkan salah satu atau kedua pelakunya menambahkan sejumlah dirham tertentu" (Al Mughni, 5: 28).

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta' Saudi Arabia menegaskan, "Bunga yang diambil bank dari para penghutang, dan bunga yang diberikan kepada para nasabah wadi'ah (tabungan) di bank, maka semua bunga ini termasuk riba yang telah valid keharamannya berdasarkan Al Qur'an, As Sunnah, dan ijma" (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta, juz 13, no. 3197, hal. 349).

C. Diskon karena simpan saldo

Dr. Erwandi Tarmizi Hafizhahullah dalam buku Harta Haram Muamalat Kontemporer (hal. 279 -- 281) menjelaskan bahwa saldo digital seperti OVO, DANA, Gopay, Shopeepay, dan semisalnya, hakikatnya adalah transaksi hutang-piutang. Artinya, ketika nasabah melakukan deposit saldo, hakikatnya nasabah sedang memberikan hutang kepada provider layanan. Bukan akad wadi'ah (penitipan). Karena dalam akad wadi'ah, orang yang dititipkan tidak boleh menggunakan barang titipan tanpa izin dari pemiliknya. Sedangkan sudah menjadi rahasia umum, bahwa perusahaan pembayaran digital menggunakan saldo yang terkumpul untuk investasi dan semisalnya.

Ketika yang terjadi adalah transaksi hutang-piutang, maka tidak boleh ada manfaat tambahan yang diberikan kepada nasabah, seperti cashback, diskon, hadiah dan semisalnya. Karena adanya manfaat tambahan tersebut, membuat ia menjadi transaksi riba. Sebagaimana riwayat dari Abu Burdah, ia berkata,

 : 

 

"Suatu hari saya datang di kota Madinah, dan saya bertemu dengan Abdullah bin Salam Radhiallahu'anhu. Kemudian beliau mengatakan kepadaku, 'Sesungguhnya Anda di negeri yang telah marak riba, jika ada seseorang mempunyai hutang kepadamu lalu ia memberikan hadiah kepadamu dengan membawakan hasil bumi, gandum, atau membawa rumput makanan hewan ternak. Jangan Anda mengambilnya karena itu riba'" (HR. Bukhari no. 3814).

Para ulama dalam Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menjelaskan, "Akad top-up Gopay adalah akad hutang seperti deposit uang di bank. Maka diskon harga bagi konsumen adalah manfaat yang didapatkan dari menghutangi dan ini adalah riba. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar dan kaidah baku dalam muamalah, "Semua hutang yang menghasilkan manfaat maka itu adalah riba." Artinya, diskon Gopay adalah riba" (Fatwa Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad, no. 05/DFPA/VI/1439, poin 3).

Namun boleh saja menggunakan saldo digital selama tidak ada manfaat tambahan seperti cashback, diskon, hadiah, dan semisalnya. Karena pada prinsipnya, boleh saja melakukan transaksi hutang-piutang selama tidak ada tambahan riba. Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menjelaskan, "Hukum memakai Gopay pada asalnya adalah halal, asalkan tidak memakai atau mendapatkan potongan harga maupun manfaat tambahan lainnya, karena hal itulah yang menjadikannya riba" (Fatwa Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad, no. 05/DFPA/VI/1439, poin 4).

D. Jual-beli emas secara online

Jika pembaca sekalian telah memahami hadis yang telah disebutkan di atas, disebutkan di sana "Emas dengan emas, perak dengan perak ... kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (serah terima langsung)" (HR. Muslim no. 1584). Maka jual-beli emas disyaratkan harus serah terima barang secara langsung, tidak boleh ada penundaan. Jika terjadi penundaan maka terjadi riba nasi'ah. Para ulama dalam Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta' ketika ditanya tentang jual-beli emas melalui telepon, mereka menjawab,

 .

"Akad yang seperti ini tidak diperbolehkan juga. Karena adanya penundaan qabdh (serah-terima), antara dua barang yang ditukarkan, antara tsaman dengan tsaman. Sedangkan barang yang dipertukarkan adalah sama-sama emas atau salah satunya emas dan yang lainnya perak, atau juga barang-barang yang menempati posisi keduanya seperti uang kertas dan logam. Ini dinamakan riba nasi'ah, dan ini haram hukumnya. Solusinya, akad jual-belinya diulang kembali ketika menyerahkan pembayaran nominal harga yang telah disepakati dan barang diserah-terimakan secara langsung di majelis akad ketika itu" (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 13: 475).

Wallahu ta'ala a'lam, demikian beberapa contoh praktek riba dalam transaksi online. Hendaknya jauhkan diri kita dari model-model transaksi demikian. Semoga Allah Ta'ala memberi taufik.

KESIMPULAN

 

     Riba akan selalu menjadi topik yang sangat menarik untuk dibahas dari zaman klasik sampai zaman modern saat ini, tetapi meski sudah sangat sering dibahas praktek riba masih marak dilakukan di berbagai aktivitas seperti, jual beli, hutang piutang dan transaksi lainnya

Dapat dismpulkan riba adalah kegiatan pinjam meminjam antara dua pihak dalam jangka waktu tertentu dan dalam pengembaliannya peminjam harus mengembalikan pinjaman pokok ditambah dengan bunga yang ditanggung peminjam. Padahal kegiatan ini sudah dilarang dan diharamkan oleh Allah yang tertuang alam ayat-ayat Al-Quran dan Hadist. Allah melarang riba bukan karna sebab, riba dilarang karna riba mengandung unsur ketidakadilan dan hanya menguntungkan satu pihak dari dua pihak yang terlibat. Islam selalu mengajarkan dalam suatu transaksi harus ada keridhoan antara kedua pihak yang terlibat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun