Mohon tunggu...
Mahasiswa Berkarya
Mahasiswa Berkarya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Kediri Jawa Timur

suka menulis adalah hobi

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Jeritan Hati Istri Sholehah Edisi 2024

14 November 2024   22:55 Diperbarui: 14 November 2024   23:28 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.canva.com/dream-lab

Kekerasan fisik yang ia lakukan tidak hanya menyisakan luka di tubuhku, tetapi juga merobek-robek jiwaku. Setiap kali ia memukuli, mencaci maki, atau bahkan mencekik leherku dengan tangan kekar itu, aku merasakan betapa rapuhnya keberadaanku. Genggaman tangannya yang merenggut rambutku seakan mengingatkan bahwa aku hanyalah objek kepuasan nafsunya, bukan seorang istri yang berhak mendapatkan kasih sayang. Ketika tubuhku terpelanting di ranjang akibat tendangannya, aku tahu bahwa malam ini akan menjadi salah satu dari banyak malam penuh derita yang harus kutanggung.

Hujan badai yang sangat dahsyat malam itu seolah menjadi saksi bisu atas segala derita yang ku alami. Suara petir mengguntur di luar sana, namun suara hatiku jauh lebih keras---menggema dalam kesakitan dan keputusasaan. Dalam setiap tetes hujan yang jatuh, aku merasa seolah alam pun menangis untukku. Tak ada tempat berlindung dari kebisingan batin ini; setiap guntur mengingatkanku pada kekerasan yang harus kuhadapi setiap malam. Di tengah badai, aku terjebak dalam siklus kekerasan yang tak berujung.

Rasa sakit fisik mungkin akan sembuh seiring waktu, tetapi bekas luka emosional ini akan terus menghantuiku. Keterasingan dan ketidakberdayaan membuatku merasa semakin terperosok dalam kegelapan. Di mana harapan untuk bisa berbicara dan menyampaikan isi hati? Di mana kesempatan untuk mencintai dan dicintai dengan tulus? Semua itu sirna ditelan oleh kebencian dan kekuasaan yang ia miliki atas diriku. Setiap malam adalah pengulangan dari kisah tragis ini, di mana aku dipaksa untuk menerima kenyataan pahit.

Namun, di balik semua kesedihan ini, ada secercah harapan yang perlahan tumbuh. Kesadaran akan pentingnya berbagi cerita dan mencari bantuan mulai menguat dalam diriku. Aku tidak sendiri; banyak wanita di luar sana mengalami hal serupa. Dengan keberanian untuk berbicara dan melawan, mungkin suatu hari nanti aku bisa menemukan jalan keluar dari kegelapan ini. Hujan badai mungkin masih mengguyur hidupku saat ini, tetapi aku bertekad untuk mencari pelangi setelah hujan---sebuah kehidupan baru yang bebas dari kekerasan dan penuh cinta.

Di tengah malam yang kelam, ketika hujan badai masih mengguyur gubuk kecil kami, aku merasakan sebuah kekuatan baru mengalir dalam diriku. Setiap tetes air hujan seolah menyapu rasa takut dan keraguan yang selama ini membelengguku. Dengan tekad yang bulat, aku memutuskan untuk mengakhiri siklus kekerasan ini. "Cukup!" seruku dalam hati, menembus kegelapan yang menyelimuti jiwa. Aku adalah seorang wanita sholehah, dan aku berhak atas kebahagiaan serta perlindungan.

Dengan langkah mantap, aku mendekati suamiku yang terbaring di ranjang, terbuai dalam lamunan nafsunya. "Aku ingin bercerai," ucapku tegas, suaraku bergetar namun penuh keyakinan. Kata-kata itu keluar dari bibirku seperti mantra pembebasan, mengusir semua rasa takut yang selama ini menyekapku. Saat matanya terbuka dan menatapku dengan kebingungan dan kemarahan, aku tidak mundur. Dalam hatiku, aku tahu bahwa keputusan ini adalah langkah pertama menuju kebebasan.

Momen itu adalah titik balik dalam hidupku---sebuah pengakuan bahwa aku tidak akan lagi menjadi korban dari kekerasan dan ketidakadilan. Aku berdoa kepada Allah agar memberiku kekuatan untuk menghadapi segala konsekuensi dari pilihanku ini. Sebagai seorang wanita sholehah, aku percaya bahwa setiap langkah menuju keadilan adalah bagian dari perjalanan spiritualku. Dalam hatiku, ada keyakinan bahwa Allah selalu bersamaku, menuntunku menuju jalan yang benar.

Ketika proses perceraian dimulai, rasa lega mulai mengalir dalam diriku. Aku mulai merasakan kembali jati diriku yang hilang dalam bayang-bayang ketakutan. Dengan dukungan dari teman-teman dan keluarga, aku belajar untuk mencintai diriku sendiri dan menghargai setiap luka yang pernah ku alami sebagai bagian dari perjalanan hidupku. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk bangkit dan menemukan kebahagiaan yang selama ini terpendam.

Akhirnya, di tengah hujan badai yang perlahan reda, aku merasa seolah telah lahir kembali. Jeritan hatiku kini menjadi suara harapan bagi diri sendiri dan wanita lain yang terjebak dalam kekerasan rumah tangga. Aku adalah wanita sholehah yang berani melangkah keluar dari kegelapan menuju cahaya kebebasan. Dan dengan setiap langkah yang kuambil, aku berkomitmen untuk menjalani hidup dengan penuh cinta dan keberanian---menjadi inspirasi bagi mereka yang juga mendambakan kehidupan tanpa kekerasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun