(Bersama lilin dan Hujan Badai)
BY BAGUS SATRIYO
Malam ini berbeda dengan malam-malam lainnya. Terdengar gemuruh petir dan hujan badai yang di iringi dengan gelapnya malam karena lampu telah padam. Alam memang tak bisa ditebak, dia seperti perasa yang sedang melampiaskan amarah. Semakin malam hujan badai telah reda, tetapi sesekali petir masih menyapa. Lampu tak kunjung hidup, kini aku masih ditemani lilin sambil duduk didepan pintu balkonku, yang ditemani 2 buah hatiku yang riuh bercanda ria.
Jika ditanya tentang hariku pada hari ini, cukup aktif menurutku hingga kelelahan. Aku mengikuti semua saran dokter untuk bangun lebih pagi dari biasanya. Aku mencuri suasana baru diluar, bisa dikatakan sambil bekerja, karena aku mengambil beberapa foto untuk instagramku. Lalu aku menuju ke pasar Bogor, akan tetapi aku tak membeli apa apa disana hanya melepas rasa penasaranku saja.
Oh, aku lupa sebelum melangkah ke pasar bogor, aku singgah  di sebuah took vintage "ASANEMA VINTAGE". Saat pertama masuk ke took itu tercium aroma klasik, aku seperti kembali ke masa kecilku dengan barang-barang yang di tampilkan disana mungkin lebih tua dariku. mAku terpana pada sebuah jam tangan kecil yang sangat unik dan pas ditanganku. Saat ku tanya harganya, ternyata mereka belum bisa menentukan harga karena jam itu baru saja datang dan terbuat dari emas. Aku menunggu kabar dari pemilik took, kapan bisa ku beli dan berapa harganya, semoga tidak dihargai terlalu mahal.
Kembali malam telah tiba, lampupun tak kunjung menyala, mengisi malam dengan menulis ditemani lilin yang sudah meleleh setengahnya. Aku kehilangan cerita untuk ku tulis, sering kali begini, tiba-tiba lupa harus melakukan apa, berbicara apa bahkan menulis apa di kertas putih ini tentang hariku. Mungkinkah suatu hari aku bisa menjadi seorang penulis?. Maksutku, ku bukukan tulisan-tulisanku?. Sebenarnya saat ini aku belum mempunyai keberanian itu. Aku belum sanggup bila ceritaku dibaca banyak orang, karena kehidupanku mungkin jauh dari bayangan mereka. Yang mungkin mereka piker bahwa diriku adalah intan yang manja, tapi sebenarnya aku ini jauh dari yang di bayangkan orang-orang.
Entahlah, aku juga takt ahu mereka memandangku seperti apa. Menurutku aku ini kuat bagaikan sebuah pohon besar yang bertumbuhdi atas tanah gersang dengan pupuran pupuk pahit kehidupan, rasa kehilangan, kesepian, banyak perjalanan yang ku lalui mengalami kesusahan sendirian, bahkan taka da satupun sahabat atau teman kuceritakan kisah tentang hidupku sebenarnya. Mungkinkah suatu hari nanti aku masih bisa sekuat saat ini?.
Saat ini aku ditemani 2 buah hatikuyang selalu ku tatap wajahnya dengan tetesan air mata dan ku lanjut menulis karena hanya goresan tinta aku bisa mencurahkan apa saja dalam tulisan kisah hidupku ini. Aku berharap taka da yang membaca diaryku selain aku. Boleh saja jika suatu hari ku terbitkan diary ini. Hidupku tak selalu sejalan dengan rencana, akan tetapi sampai saat ini aku masih mampu membuat rencana baru jika rencanaku gagal.
Malam-malam telah ku lalui sepanjang saat, taka ada kehidupan nyata yang bahagia bersama sang predator (suami) setiap malam. Ia hanya mementingkan hawa nafsunya dan tak sedikitpun memberikan ruang komunikasi di gubuk kecil ini. Dia selalu memukuli, mencaci maki, mencekik, merenggut rambut dengan genggaman tangannya hingga menendang tubuhku yang terpelanting di ranjang. Malam itu telah terjadi hujan badai yang sangat dahsyat dengan deruan kilat petir menggelegar di langit langit hitam.
Setiap detik terasa seperti penantian dalam kegelapan, di mana cahaya harapan seolah terbenam dalam lautan kesedihan. Suamiku, yang seharusnya menjadi pelindung dan teman hidup, justru menjelma menjadi sosok yang menakutkan. Ia hanya mementingkan hawa nafsunya, meninggalkan diriku terjebak dalam kesunyian yang mencekam. Dalam gubuk kecil ini, komunikasi seolah menjadi barang langka; kata-kata yang seharusnya menghangatkan hati justru terbungkam oleh ketakutan.