Mohon tunggu...
Bagus Rizqi
Bagus Rizqi Mohon Tunggu... Mahasiswa - __

Mahasiswa Biasa

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Peran Jendral Soedirman dengan Perang Gerilyanya dalam Menghadapi Belanda

30 November 2021   20:27 Diperbarui: 30 November 2021   21:43 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

A. Analisis Sebelum Dimulainya Perang Gerilya

Penilaian situasi yang tepat dari masyarakat desa dan perkotaan sangat diperlukan oleh Jenderal Soedirman untuk mengkoordinir antartokoh yang mengadakan gerakan atau oposisi dalam gerilya nanti. Sebenarnya, penilaian situasi yang tidak ada hentinya ini telah dijalankan oleh Soedirman selama kesatuan masih utuh dan tetap menjalankan tugas masing-masing. Pada saat itu, lebih baik para tentaea yang dipimpin oleh Soedirman dapat menciptakan suatu situasi dalam daerah yang mampu bergerak secara khusus dan tersembunyi dan memiliki tujuan menguntungkan rakyat Indonesia.

Pada saat itu memang tentara Indonesia harus selalu mengingat, bahwa perlawanan rakyat terhadap kolonialis Belanda sifatnya total. Dengan sendirinya perlu integritas antara Tentara Nasional Indonesia dan rakyat Indonesia. Penduduk di daerah gerilya tersebut juga akan menjadi kekuatan dalam menghadapi musuh dan akan menyebabkan proses isolasi sosial terhadap musuh.

Penjajahan Belanda pada era usai reformasi menimbulkan kelompok baru di kalangan masyarakat pedesaan, yaitu kelompok bakul (perempuan yang berdagang) yang menjalankan jual beli antara desa dan kota. Kelompok bakul perempuan ini berani bepergian jauh, misalnya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, naik kereta api membawa dagangan pada waktu periode 1946-1948. Jadi, Sebagian prajurit Soedirman tidak bisa meremehkan golongan "Perempuan Intelektual" ini. 

Rakyat Indonesia sadar, selama penjajahan Jepang yang hanya 3,5 tahun telah mampu membentuk kelompok baru di kalangan laki-laki, yaitu PETA. Namun, bagaimana komandan mampu menempatkan kelompok tersebut yang jumlahnya 40.000 di seluruh Jawa? Harus diadakan analisis secara objektif, mengingat ada beberapa perwira dari mantan PETA yang memiliki karakter yang berbeda-beda.

Jadi pada intinya, pemimpin Indonesia dari PETA yaitu pada daidanco yang jumlahnya kurang dari 50 orang ini pada umumnya tidak ada yang memiliki pemikiran militer dalam bentuk apa pun. Bahkan, Daiman di Jakarta yang dipimpin oleh daidanco Mr. Kasman Singodimedjo, sebelum proklamsi pernah menyanggupi permintaan bala tentara Indonesia mengenai persenjataan sebelum pada tanggal 17 Agustus 1945, menigngkari janjinya untuk memberi senjata.

 Gejala-gejala yang seperti ini memaksa sebagian militer untuk berpikir dengan serius. Ditambah dengan kejadian pada waktu Revolusi Surabaya dimulai, yaitu Muhammad anggota daidanco dan bekas Asisten Wedana bersama dengan pemuda Soetomo. Secara terang-terangan pada tanggal 26 September 1945, tidak setuju ketika rakyat kampung Surabaya sekitar Gedung Don Bosco di Sawahan, menyerbu Gudang senjata Katsura Butai dengan Komandan Mayor Hasiomoto merampas senjata. Kedua orang tersebut berpidato melalui pengeras suara Sendenbu mencegah rakyat untuk mengambil senjata.

Ini adalah bukti, bahwa perjuangan pada rakyat Indonesia beserta prajurit tentara nasional tidak main-main. Dengan semangat yang penuh, mereka ingin memerdekakan Indonesia 100%. Sebagaimana Soedirman yang mampu beradaptasi ke daerah Sobo. Berkonsolidasi dengan warga sekitar, menjalin hubungan yang erat, bahkan menjalankan strategi melalui warga kampung. Memang tidak mampu terekspos mengenai hal yang seperti ini. Tapi memang tidak bisa dipungkiri, keberadaan rakyat Indonesia yang mampu dikerahkan bersama-sama melawan penjajah adalah suatu kekuatan tersendiri bagi Republik Indonesia.

B. Pengkhianatan Perjanjian Roem-Royem oleh Belanda

Seiring semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada tanggal 7 Mei 1949, Indonesia dan Belanda menggelar perundingan kembali. Perundingan inilah yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Roem-Royem. Nama perjanjian tersebut diambil dari nama kedua pemimpin delegasi tersebut, antara lain Muhammad Roem dan juga Herman Van Roijen.

Pertemuan ini memiliki tujuan untuk menyesuaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag pada tahun yang sam. Perjanjian ini bisa dikatakan sangat rumit dan penuh intrik politik, sehingga memerlukan kehadiran Muhammad Hatta dari pengasingan di Banka. Selain itu, juga mendatangkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Hamengkubuwono IX terhadap Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta, di mana Sri Sultan mengatakan "Yogjakarta is de Republiek Indonesie" (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).

Hasil Perjanjian Roem-Royem memiliki beberapa kesepakatan bersama antara Indonesia dengan Belanda, antara lain sebagai berikut.

  • Angkatan Bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya.
  • Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar.
  • Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta.
  • Seluruh angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan sebuah operasi militer dan seluruh tawanan perang akan dibebaskan.

Setelah keluar beberapa kesepakatan di atas, pada tanggal 22 Juni, ada pertemuan kembali yang melibatkan Indonesia dan Belanda dengan menghasilkan keputusan sebagai berikut.

  • Kedaulatan akan seutuhnya diserahkan kepada Indonesia.
  • Didirikannya sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak asasi oleh Belanda dan Indonesia.
  • Diserahkannya semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia.

Para pemimpin Indonesia yang berada di pengasingan mulai dikembalikan ke Yogyakarta pada awal Juli. Melihat keadaan yang semakin aman terkendali, akhirnya Soekarno pun dapat menarik napas dengan lega.

C. Markas Gerilya Jenderal Soedirman

Dari Pringapus, perjalanan Soedirman dilanjutkan menuju ke Desa Gebyur. Di des aini, Soedirman bersama anggotanya beristirahat selama tiga hari. Dari Gebyur,, rombongan bergerak ke arah Sobo melalui desa-desa yang masih sepi, seperti desa Tegalombo, Meijing, dan Ngambar. Sobo adalah sebuah dukuh bagian dari desa Pukis. Dukuh ini terletak di sebelah tenggara lereng Gunung Lawu. Letaknya pada ketinggian 900 meter dari dasar laut dan dilindung oleh sebuah sungai yang curam, yaitu sungai Merang. Lembahnya sangat dalam dan dikelilingi oleh perbukitan. Perbukitan tersebut bernama Selabadok di sebelah barat dan bukit Gandrung di sebelah timur.

Dari markasnya di Sobo, Soedirman mampu memantau perkembangan politik di tanah air, termasuk mengetahui Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Bahkan dalam rangkaian ini, menurut Soeharsono Cokroaminoto, sebelum itu Soedirman telah mengirim tiga pasukan khusus, seperti Kapten Cokropranolo, dr. Suwondo, dan ia sendiri (Soeharsono Cokroaminoto) pergi ke Yogyakarta untuk bertemu dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, guna mengetahui situasi sekaligus ikut mempersiapkan pasukan gerilya yang berada di kota agar bisa membuat rencana penyerangan tersebut.

Ketika memasuki Kawasan Yogyakarta, tiga pasukan tersebut berpencar mencari jalan masing-masing. Sebab, dari Soedirman, mereka mendapat tugas sendiri-sendiri. Atas keberhasilan Serangan Umum inilah, akhirnya memengaruhi keberadaan Belanda di Indonesia. Oleh karena itu, usaha-usaha ke arah perundingan untuk menyelesaikan konflik antara Indonesia dengan Belanda kembali dilakukan. Soedirman sendiri nantinya diharapkan dapat memberikan suatu dukungan terhadap langkah-langkah dari pemerintah. Oleh karena itu, Soedirman bergegas meninggalkan Sobo untuk sementara waktu dan bergegas ke Yogyakarta.

Setelah dari Yogyakarta menuju ke Jawa Timur, Jenderal Soedirman mendapat surat langsung dari adiknya untuk segera kembali ke Yogyakarta. Namun, setelah sampai di Pacitan, pasukan Belanda kemudian langsung menghadang, sehingga pada akhirnya perjalanan pasukan gerilya APRI mendapat rintangan dan segera dialihkan ke daerah Sobo di Nawangan, Pacitan. Di tempat inilah Jenderal Soedirman tingal mulai tanggal 1 April sampai 7 Juli 1949 dimana penginapan tersebut merupakan waktu terlama pasukan gerilya APRI tinggal di suatu daerah ketika melakukan perang gerilya. Di sini Soedirman dan anggotanya menggerakan masa dan menyusun strategi besar-besaran.

D. Jenderal Soedirman Kembali ke Yogyakarta

Pada tanggal 17 Maret 1949, Soedirman dan para pengawalnya meninggalkan Sobo dan bergerak ke arah Yogyakarta. Setelah keadaan di Yogyakarta mulai membaik, Soekarno langsung memerintahkan kepada Jenderal Soedirman untuk kembali ke Yogyakarta. Namun, Soedirman tetap menolak untuk membiarkan Belanda pergi tanpa perlawanan. Ia menganggap saat itu Tentara Nasional Indonesia sudah cukup kuat untuk melawan Belanda. Sudah tidak ada alasan lagi Tentara Nasional Indonesia kembali ke Yogyakarta hanya karena Perjanjian Roem-Royem.

Setelah sekian lama pembujukan, akhirnya Soedirman baru setuju kembali ke Yogyakarta setelah menerima surat. Surat tersebut sampai sekarang masih diperdebatkan siapa pengirimnya. Dalam perspektif Soedirman, surat tersebut atas pemberian sahabatnya yang menyuruhnya dating ke Yogyakarta, dikarenakan ada urusan mendesak. Pada tanggal 10 Juli, Soedirman dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta. Setiba di Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan diterima dengan hangat oleh para elite politisi di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun