Mohon tunggu...
Bagus Raditya
Bagus Raditya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNNES)

Seorang Mahasiswa Jurusan Sejarah dari UNNES

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Maraknya Hoax Dan Misinformasi Di Kalangan Generasi Tua Indonesia

23 Desember 2024   21:35 Diperbarui: 23 Desember 2024   21:35 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemajuan teknologi telah membawa perkembangan yang bermanfaat bagi umat manusia, salah satunya adalah dalam bidang informasi. Di zaman saat ini, pencarian informasi bisa dikatakan sangatlah mudah berkat globalisasi yang luas dan pengembangan algoritma dalam jaringan internet, hal-hal seperti media sosial memberikan wadah bagi masyarakat untuk memperoleh informasi yang cepat dan dengan metode yang mudah. Akan tetapi hal ini menimbulkan sebuah masalah tersendiri, yang dimana apabila tidak dicegah dan dibendung dengan baik dapat berakibat fatal. 

Hal yang baru saja dimaksud ialah penyebaran berita bohong atau hoax, yang kini menjadi salah satu tantangan besar di era digital. Informasi yang tersebar di internet sering kali tidak terverifikasi dengan baik, sehingga masyarakat cenderung menerima dan menyebarkan informasi tersebut tanpa melakukan pengecekan terlebih dahulu. Hoax dapat menimbulkan dampak negatif, mulai dari menyesatkan opini publik hingga menciptakan ketegangan sosial yang berpotensi memicu konflik. Penyebab utama dari sebuah maraknya hoax adalah rendahnya literasi digital masyarakat. Banyak individu yang belum memahami cara membedakan informasi yang valid dan tidak valid. Selain itu, algoritma media sosial yang dirancang untuk menarik perhatian pengguna sering kali justru memperkuat penyebaran informasi palsu, karena berita sensasional lebih banyak menarik klik dan interaksi.

Permasalahan ini di Indonesia sudah bukanlah berita asing, mengingat banyaknya kasus penyebaran hoax yang telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dari isu politik yang memecah belah, hingga berita palsu terkait kesehatan seperti vaksinasi atau pandemi COVID-19, hoax sering kali menjadi sumber keresahan sosial yang meluas. Tidak hanya merugikan secara individu, tetapi juga memengaruhi stabilitas negara dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi-institusi penting. Namun kali ini pembahasan akan dikerucutkan terhadap Pelaku sekaligus korban paling umum dari kebanyakan kasus ini, yang hampir dimana didominasi oleh Generasi Tua, atau lebih detailnya mereka yang termasuk dalam mayoritas Generasi yang dikenal dengan nama "Boomers".

Boomers: Sebuah Rincian

Jika diperjelas secara rinci, "Boomers" adalah istilah yang biasa ditujukan kepada golongan-golongan tua yang biasanya didominasi oleh orang-orang berumur, bisa berupa seorang pensiunan, orang tua dari generasi milenial, atau bahkan kakek-nenek dari generasi Z. Istilah ini merujuk pada generasi yang lahir setelah Perang Dunia II, sekitar tahun 1946 hingga 1964, yang saat ini berada pada rentang usia sekitar 60 hingga 80 tahun. Generasi ini memiliki karakteristik unik yang terbentuk oleh pengalaman hidup mereka, seperti pertumbuhan ekonomi pasca-perang, era tanpa teknologi canggih, dan nilai-nilai tradisional yang kuat. Pengklasifikasian ini diramaikan melalui dunia internet, yang pada dasarnya digunakan untuk merujuk kepada beberapa individu atau kelompok yang dikenal memiliki sifat acuh tak acuh, merasa paling tahu, dan tentunya mudah terhasut hoax.

Generasi yang termasuk dalam kelompok "Boomers" sering kali menjadi target sekaligus pelaku penyebaran hoax karena beberapa faktor utama. Salah satunya adalah minimnya literasi digital di kalangan generasi ini. Banyak di antara mereka yang tumbuh di era sebelum perkembangan teknologi informasi, sehingga adaptasi terhadap cara kerja platform digital seperti media sosial dan aplikasi pesan instan masih terbilang rendah. Selain itu, keterbatasan pengetahuan tentang cara memverifikasi informasi membuat mereka lebih rentan menerima berita yang tidak akurat sebagai kebenaran. Ketergantungan pada grup-grup diskusi seperti WhatsApp keluarga atau komunitas juga turut mempercepat penyebaran informasi palsu di kalangan ini, karena adanya kepercayaan lebih pada sumber informasi yang berasal dari lingkaran terdekat.

Faktor psikologis juga berperan. Generasi ini cenderung memiliki tingkat kepercayaan yang lebih tinggi terhadap otoritas atau narasi yang terlihat meyakinkan, tanpa mempertimbangkan sumber asli informasi tersebut. Hoax sering kali memanfaatkan pola pikir ini dengan menggunakan narasi yang tampak ilmiah, tokoh yang dianggap kredibel, atau pesan yang membangkitkan emosi seperti ketakutan dan kemarahan. Akibatnya, informasi palsu dengan mudah tersebar, bahkan oleh orang-orang yang tidak memiliki niat buruk, melainkan hanya ingin berbagi "informasi penting" kepada orang lain.

Kasus Hoax/Misinformasi

Salah satu kasus hoax atau misinformasi yang menurut saya sangat marak di dunia internet sekaligus media sosial ialah misinformasi terkait penggeneralisasian pada masa Orde Baru. Banyak narasi yang beredar secara simplistis, baik yang terlalu mengagung-agungkan maupun yang terlalu mendiskreditkan periode tersebut. Penggeneralisasian ini sering kali diwarnai oleh bias, tanpa didukung fakta historis yang kuat atau analisis yang mendalam, sehingga menyesatkan banyak orang, terutama generasi muda yang mungkin kurang memahami konteks sejarah secara utuh. Misalnya, ada narasi yang menggambarkan Orde Baru sebagai era "keemasan" dengan stabilitas politik dan ekonomi yang sempurna, tanpa mengakui adanya pelanggaran hak asasi manusia, pembatasan kebebasan berekspresi, serta korupsi yang sistemik. Sebaliknya, ada pula narasi ekstrem lainnya yang menggambarkan seluruh periode Orde Baru sebagai masa kelam tanpa ada kontribusi positif sama sekali, mengabaikan upaya pembangunan infrastruktur dan program-program lain yang juga memiliki dampak nyata pada masyarakat.

Selain itu, ada juga kasus misinformasi lainnya seperti isu politik, COVID-19, dan berbagai topik sensitif lainnya yang terus menyebar dengan cepat di dunia internet. Dalam banyak kasus, generasi yang kita sebut sebagai "Boomers" sering kali menjadi kontributor utama sekaligus korban dari penyebaran misinformasi ini. Ketergantungan mereka pada grup-grup komunitas di aplikasi seperti WhatsApp atau Facebook, ditambah dengan keterbatasan kemampuan untuk memverifikasi informasi, menjadikan mereka lebih rentan terhadap hoax. Selain itu, kecenderungan mereka untuk berbagi informasi secara cepat tanpa memeriksa kebenarannya mempercepat penyebaran berita palsu tersebut ke lingkaran sosial yang lebih luas.

Penanganan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun