Mohon tunggu...
Bagus Rachmad Saputra
Bagus Rachmad Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Alumni Program Studi S2 Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang

Penulis buku Kepemimpinan Pembelajaran Di Era Abad 21 (2020) dan Kumpulan Puisi Titik Balik (2020)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meruwat Nasionalisme

28 Oktober 2020   05:27 Diperbarui: 28 Oktober 2020   05:41 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 28 Oktober peristiwa besar terjadi dalam catatan sejarah bangsa Indonesia. Tepat ditanggal 28 Oktober 1928, ikrar persatuan sebagai bangsa digagas oleh mereka yang sebelumnya terpecah-pecah dalam organisasi kepemudaan yang cenderung feodal. 

Tentu ketika kita membaca buku sejarah kita akan mengingat organisasi-organisasi kepemudaan macam Tri Koro Dharmo, Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebest, Jong Borneo dan beberapa organisasi kepemudaan lainnya.

Ikrar yang ditandai dengan sebuah sumpah untuk berbangsa, berbahasa, bertanah air satu sebagai bangsa yang bernama Indonesia. Serta di kongres itulah, lagu kebangsaan "Indonesia Raya" pertama kali dikumandangan oleh Wage Rudolf Supratman untuk membakar semangat nasionalisme kaum pemuda saat itu. 

Untuk melawan penindasan kaum kolonial, dan menyadarkan hanya pergerakan yang didasarkan oleh rasa persatuan dan kesatuan lah yang dapat menjadi alat untuk melawan sistem penindasan kolonial.

Merefleksikan peringatan hari sumapah pemuda ditengah masa pandemi virus menggugah semangat nasionalisme kita. Untuk bahu-membahu saling membantu agar tetap tegar melewati masa pandemi yang sulit itu. 

Sebelum berikrar menjadi bangsa Indonesia yang beberapa tahun kemudian lepas dari cengkraman penjajahan kolonial melalui sebuah proklamasi kemerdekaan. Rasa kebangsaan para pemuda Indonesia terbangun akan persamaan nasib sebagai bangsa yang tertindas di tanah airnya sendiri.

Itulah yang kemudian menjadi pondasi terbentuknya rasa nasionalisme para pemuda saat itu, yang kemudian diwariskan hingga saat ini. Berbicara rasa nasionalisme, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dengan keragamana suka,agama,ras, dan budaya. 

Sehingga butuh satu hal yang bisa mempersatukan perbedaan itu semua kedalam satu nation. Bukan hal mudah menyatukan perbedaan suku, agama, ras, dan kebudayaan yang berbeda-beda. Masing-masing memiliki cara pandang tersendiri akan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Founding father bangsa Indonesia, Soekarno dan Hatta dapat melepaskan identitas sosial yang melekat pada perbedaan suku, ras, agama, dan budaya tersebut. Pada satu ikatan "kemarahan" akan nasib terjajah dan melarat di negeri sendiri yang kemudian menyadarkan diri dalam sebuah gerakan untuk melawan penjajahan dan penindasan. 

Ernest Gellner (1983), menyebut nasionalisme merupakan sebuah prinsip politik maka rasa sebagai satu nation harus sejalan dengan satuan politik. Dimana nasionalisme adalah bentuk legitimasi politik suatu negara. 

Sementara sejarawan, Bennedict Anderson menyebut nasionalisme merupakan perhatian akan sentimen nasional dalam melepaskan kesetiaan primordial dan solidaritas asal-usul yang berakhir pada rasa mementingkan kepentingan negara daripada kepentingan individu sebagai suatu pilihan rasional. Namun yang terjadi seiring berkembangnya zaman justru sebaliknya.

Nasionalisme hanya dipakai sebagai jargon-jargon politik untuk menutupi kepentingan para kaum borjuis yang berada dalam lingkungan kekuasaan dan saling berebut kue. 

Nasionalisme hanya menjadi alat untuk menekan masyarakat agar patuh terhadap pemerintah. Menjadi masa mengambang yang hanya dibutuhkan saat kontestasi politik berlangsung. 

Selama perjalanan bangsa ini yang diiringi dengan pergantian tampuk kekuasaan. Rasanya perlu mempertanyakan lagi nasionalisme kita ditengah anacaman disintegrasi bangsa karena ketidakadilan yang dirasakan. Wilayah negara yang terdiri dari gugusan pulau-pulau yang membentang dari barat hingga timur. 

Apakah semuanya merasakan pembangunan yang sama baik secara fisik maupun pembangunan sumber daya manusia melalui pemerataan pendidikan. Apakah kita masih memiliki rasa sama sebagai bangsa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa yang pernah dijajah, atau justru nasionalisme adalah dogma guna menjaga tahta.

Sebagai pemuda merawat nalar kritis untuk mencintai negeri ini merupakan sebuah tantangan ditengah arus globalisasi yang bisa jadi mengubah pola pikir rasional manusia menjadi lebih individualistik. 

Tetap merawat kemewahan terakhir seorang pemuda yang Tan Malaka bilang adalah idealisme,  maka nasionalisme di era modern seperti saat ini bukan lagi berbicara akan nation saja, tapi juga kontrol pada mereka yang mengemban amanat rakyat. Berpikir, bertindak, dan berkarya adalah bentuk nasionalisme yang tepat dilakukan oleh pemuda di era arus globalisasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun