"Lha opo hubunganya dengan Pilwakot Semarang?"
"Lha mbuh. Nggak ada hubungan gak mengapa, kalo mau dihubung-hubungkan ya isa wae! Misalkan, bayangkan saja, rekomendasi keluar satu hari menjelang pendaftaran berakhir, bisa dianggap ketidakjelasan juga, kan? Namun bisa dibilang itu adalah strategi, atau beralasan apa saja juga boleh, ya to?" kata Wakidi mencari kesan.
"Terus juga calon wakilnya yang ASN disinyalir sengaja melanggar asas netralitas PNS, bukankah ia belum minta cuti ketika secara terang-terangan melakukan penjajagan politik tehadap beberapa partai? Ah mbuhlah, makanya njegeges aja to," katanya rileks.
"Lho hal itu kan bukan masalah besar to, Di?" Bela Mbak Sanesmonika. Semua terdiam menunggu jawaban Wakidi.
"Di dunia ini mana ada masalah besar dan kecil. Masalah itu ya masalah, tafsiran terhadap persoalan itu yang digede-gedein. Lha saya njegeges aja jadi masalah to buat kalian? Saya kan cuma mbayangin aja, piye perasaane kader yang sudah pasang baliho di mana-mana, sudah silaturahmi ke mana-mana, ngoyoworo meningkatkan elektabilitas. Mak bedundug langsung ambyar, diganti sama yang 0% elektabilitas, terus dengan semena-mena, dengan sandaran tegak lurus perintah partai, waduh," kata Wakidi masih dengan njegeges.
Semua terdiam merasakan adanya kebenaran di balik celoteh Wakidi. Suasana mulai serius.
"Suwog, dadi serius. Wes ngopi wae ben ora mumet! Politik itu kayak maen lompat tinggi pakai karet gelang, pas bersiap mau lompat mengucapkan JALSUNG TILEN, njajal langsung mati balen. Kalo pas coba-coba berhasil ya Alhamdulillah, kalo gagal yo isa dibaleni meneh," teriak Wakidi sebelum menyeruput kopinya.(mbahmardjo)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H