Mohon tunggu...
Bagus AniPutra
Bagus AniPutra Mohon Tunggu... Dosen - Psikolog Sosial

Dosen Pasca Sarjana Psikologi UNTAG Surabaya Lean Manager PT. Sekar Laut, Tbk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Helpful Bystander, Kunci Pencegahan Perundungan

10 Februari 2020   08:24 Diperbarui: 10 Februari 2020   08:32 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Acapkali ketika kita mendengar kata perundungan maka yang terbayang dalam benak kita adalah tindakan agresi/ menyerang orang lain. Namun sebenarnya perundungan lebih dari tindakan agresi yang kita bayangkan. Beberapa ahli psikologi mendefinisikan perundungan sebagai tindakan agresif dan disengaja dilakukan oleh kelompok atau individu secara berulang untuk menguasai korban yang sulit membela diri.

Oleh karena itu, dikatakan sebagai perundungan jika perilaku agresi itu dilakukan secara berulang terhadap individu. Dengan demikian, perundungan merupakan turunan dari perilaku agresi. Sedangkan menurut Baron & Byrne (2000), disebut sebagai tindakan agresi ketika terpenuhi dua dimensi totalitas, yaitu;

  • Penguasaan terhadap fisik dan psikis. Oleh karena factor psikis dan fisik saling berkaitan maka korban perundungan akan mengalami ketidakberdayaan psikis dan fisik. Korban yang mengalami perundungan psikis, misalnya secara verbal, akan mengalami gangguan fisik seperti syaraf yang tegang, sulit tidur dan tidak mau makan. Demikian juga korban yang mengalami perundungan fisik akan mengalami gangguan psikis seperti minder, sakit hati, menarik diri dari lingkungan sosial.
  • Ada pelaku, tindakan dan korban. Dalam hal ini yang terpenting harus ada pihak yang dikuasai dan dirugikan yang disebut sebagai korban. Sehingga perundungan dan tindak kekerasan harus ada korban yang bisa melaporkan kepada aparat berwenang sebagai delik aduan.

Jika kita menilik tindakan perundungan maka sebenarnya ada 3 pihak yang terlibat, yaitu;

  • Pelaku perundungan
  • Korban
  • Orang yang melihat disekitar (bystander). Dalam hal ini ada 2 tipe bystander;
  • Orang disekitar yang apatis/ cuek bahkan mungkin turut membantu perundungan disebut sebagai harmful bystander.
  • Orang disekitar yang mencegah dan menolong agar tidak terjadi perundungan disebut sebagai helpful bystander.

Anda mungkin pernah terlibat sebagai salah satu pihak tersebut, setidaknya sebagai bystander? Bagaimana kondisi psikologis pihak-pihak yang terlibat tersebut? Mari kita meninjau kondisi psikologis korban perundungan. Secara garis besar, korban akan mengalami;

  • Ketidakpercayaan diri karena pernah mengalami perundungan. Korban tidak percaya diri karena pembawaan sifat atau kondisi fisiknya sebagai bahan perundungan.
  • Setelah itu korban merasakan ketidakberdayaan di lingkungan sosialnya (social incompetence) dan jika hal ini berlangsung lama maka korban lebih menarik diri dari lingkungan sosialnya. Dalam setting pendidikan, anak korban perundungan sering tidak masuk sekolah karena trauma mengalami perundungan.
  • Korban perundungan yang tidak segera ditangani secara kejiwaan akan mengalami stress berat bahkan depresi. Pada akhirnya bisa jadi mencoba mengakhiri hidupnya (bunuh diri) karena tidak sanggup menanggung depresi yang dialami.

Sedangkan kondisi psikologis pelaku perundungan adalah sebagai berikut;

  • Ia mengalami ketidakpuasan dalam hidupnya dan cenderung mencari pelampiasan agar ia dapat mencari kompensasi yang dapat memuaskan hidupnya. Misalnya, ia mempunyai kelemahan dalam akademis sehingga mencari kompensasi untuk bisa menguasai orang lain dan dipandang sebagai individu yang mempunyai kelebihan/ power.
  • Untuk menumbuhkan superioritasnya maka ia akan mencari orang yang inferior (sebagai korban yang tidak berdaya/ sulit membela diri) untuk menunjukkan powernya.
  • Tindakan perundungan ini membuatnya mempunyai kebanggaan (pride) terhadap dirinya yang mampu menguasai orang lain secara terus menerus. Akhirnya, ia merasakan kepuasan terhadap tindakan dan dirinya.

Selanjutnya, inilah kondisi psikologis yang terjadi pada harmful bystander;

  • Merasa tidak mampu, ada kemungkinan orang disekitar yang menyaksikan perundungan tersebut merasa tidak mampu secara fisik dan verbal untuk mencegah tindakan itu terjadi.
  • Merasa tidak bertanggung jawab karena mungkin orang disekitar tidak kenal terhadap pelaku dan korban perundungan. Atau merasa bahwa bukan tugasnya mencegah tindakan perundungan tersebut. Siswa lain yang menyaksikan perundungan tersebut merasa bahwa tugas guru atau guru BK seharusnya yang mencegah, sehingga mereka cuek ketika menyaksikan perundungan tersebut.
  • Orang disekitar takut disalahkan atau takut dilibatkan sebagai saksi jika kasus perundungan ini kemudian berujung kepada kasus hukum atau kasus yang serius di sekolah.
  • Minimnya saksi membuat orang disekitar yang menyaksikan tidak akan mencegah tindakan perundungan tersebut.
  • Akibatnya, bystander cenderung hanya melihat tanpa melakukan tindakan apapun. Atau bahkan ikut mengabadikan/ merekam video tindakan tersebut yang justru menguatkan pelaku perundungan untuk terus melakukan tindakan tersebut. Hal inilah yang disebut sebagai rubber necking, yaitu perilaku yang hanya melihat kejadian tanpa peduli atau menolong.

Mempertimbangkan betapa pentingnya orang disekitar yang dapat mencegah perundungan (helpful bystander) maka inilah yang harus kita lakukan jika kita melihat perundungan:

  • Bayangkan jika perundungan ini terjadi kepada anda sendiri atau kepada orang dekat kita. Menumbuhkan empati kepada korban akan menekan sikap apatis sehingga dapat mencegah perundungan.
  • Jika kita tidak merasa mampu maka ajak orang disekitar untuk bersama-sama mencegah tindakan perundungan tersebut. Semakin banyak saksi yang dapat melawan perundungan tersebut akan menciutkan nyali pelaku agar tidak mengulangi tindakan perundungan.
  • Berikan penguatan dan dukungan emosional kepada korban agar ia merasakan bahwa lingkungan sosialnya peduli kepadanya. Jangan biarkan korban merasa sendiri ketika menghadapi perundungan tersebut.

Apakah kita masih mau apatis terhadap perundungan?

Dr. M. G. Bagus Ani Putra

Psikolog Sosial

Dosen Pascasarjana Psikologi UNTAG Surabaya

Lean Manager PT. Sekar Laut, Tbk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun