Mohon tunggu...
Bagus Gunawan Setyo
Bagus Gunawan Setyo Mohon Tunggu... Mahasiswa - MahasiswaS1/Ilmu Al-Quran dan Tafsir/IAIN PURWOKERTO

Hobi Menulis dan bermain musik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu Pertiwi Memanggil

10 September 2022   21:39 Diperbarui: 10 September 2022   21:51 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah pelosok desa, hiduplah seorang anak kecil bernama Riza. Ia hidup sebatang kara. Ayah dan ibunya telah meninggal saat masih berusia tiga tahun. Bulan Agustus ini, Riza genap lima tahun. Kesehariannya hanya mencari kayu bakar dan sampah untuk dijual. Para tetangga tidak ada satupun yang peduli.

"Hitungan ke sepuluh, harus sudah bersembunyi ya, satu... Dua... Tiga..." Suara anak sekolah dasar yang sedang bermain petak umpet di halam sekolah. Riza melihat anak-anak sekolah dasar itu yabg asyik bermain. Mengenakan seragam merah-putih, bersepatu, bertemu teman, itulah yang Riza iri. Nasib yang menimpanya membuat ia jauh dari dunia pendidikan. "Kapan Riza bisa seperti mereka? Bermain, punya teman banyak, berseragam. Ayah... Ibu... Bisakah engkau kembali ke dunia ini?" ucap Riza bersedih.

Kesedihan Riza beralih gembira, ia melihat tumpukan botol bekas di tempat sampah. Letaknya tidak jauh dari anak-anak sekolah dasar bermain. Malu, tapi Riza harus mendekat dan mengambi sampah. "Teman-teman, lihat itu! Ada anak lagi mungut sampah? Ayo kita datangi!" ajak salah satu anak sambil mendekati Riza. "Kamu sedang apa? Kenapa ambil sampah? Kok kamu tidak sekolah?" pertanyaan anak itu beruntun. Riza hanya terdiam dan mengabaikam pertanyaannya.

Tiba-tiba suara bel masuk berdering. Kring... Kring..."Ayo teman-teman masuk!" ajak salah satu siswa. "Ayo!!" sahut siswa lainnya. Riza hanya terdiam sambil meratapi nasib diri. Betapa bahagianya mereka berada di lingkungan sekolah. Riza selalu tabah dan sabar dalam menghadapi ujian hidupnya. Tidak sekolah, bukan berarti tidak memiliki mimpi. Riza memiliki mimpi yang amat mulia, yaitu menjadi insan cendekia.

Selang beberapa saat, terlihat sosok Satpam sedang mengelilingi sekolah. Itu kebiasaan seorang satpam untuk mencari siswa-siswi yang belum masuk lalu menegurnya. Namun kali ini, pak satpam  melihat seorang anak kecil berada di luar kelas. 

Kemudian pak satpam menyapa, "Siapa yang di sana? Jam istirahat sudah selesai!" teriaknya saat mengira Riza murid di sekolah itu. Riza tak menghiraukan ucapan pak satpam, karena merasa bukan Riza yang dipanggil. "Dibilangin malah diam saja disana!" ucap pak satpam kesal, lalu mendekati Riza.

 "Kamu ini, di bilang untuk segera masuk ma-" ucapannya terpotong karena kaget melihat anak kecil itu bukan siswa di sini. "Kamu siapa , dek?" tanya pak satpam lembut. "Saya Riza, pak! Saya izin ambil sampah di sini." jelas Riza. Pak satpam hanya tercengang bagaikan patung ketika melihat aksi Riza. "Ya Allah, dek... Kenapa kamu mungutin sampah?" tanya pak satpam kasihan. 

"Kalau Riza tidak mungut sampah, Riza nanti makan apa?" jawab Riza mengetuk hati pak satpam hingga menangis. Suasana terasa memilukan bagi pak satpam. "Orang tuamu ke mana, dek?" sambungnya. "Orang tua Riza sudah meninggal. Riza hidup sebatang kara. Semua orang menjauh dari Riza termasuk saudara." Jelas Riza sedih. "Permisi pak, Riza pergi dulu. Terima kasih!" sambung Riza berpamitan.

Riza pergi menuju tempat penjualan sampah plastik. Uang hasil dari penjualan sampah tidak pernah dihabiskan. Ia selalu menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung. Uang tabungan itu akan digunakan untuk membayar biaya masuk sekolah. 

Sungguh sangat keras perjuangan Riza demi meraih mimpinya. Pemikiran anak seusia Riza sudah melampaui anak remaja dan dewasa. Kehidupan yang sulit membuat ia belajar banyak hal dan harus berpikir dewasa. "Alhamdulillah... Riza dapat uang cukup banyak hari ini, terima kasih Tuhan!" ucapnya bahagia. 

Sepertinya, nasib yang menimpa hidup Riza membuka pintu hati pak satpam. Ia akan menjalin komunikasi dengan kepala sekolah dasar untuk memberi biaya pendidikan gratis untuk Riza. Setuju atau tidaknya biar menjadi urusan belakangan. Pak satpam akan berusaha semaksimal mungkin. 

"Coba kalau anakku merasakan nasibnya Riza, pasti aku akan sangat sedih." Ujar pak satpam.
Tak lama kemudian, pak satpam berjalan menuju ruang kepala sekolah, lalu menceritakan kisah pilu yang di alami oleh Riza. Kepala sekolah ikut menangis setelah mendengar cerita pilu yang menimpa hidup Riza. 

"Ya sudah, besok kamu cari rumah anak itu lalu suruh dia menemui saya di sini." Perintah kepala sekolah. Dengan senang hati pak satpam menyanggupi perintah dari kepala sekolah. "Semoga saja ini rezekinya Riza." Ucap satpam pelan. "Amin..." sahut kepala sekolah.

Keesokan harinya, Riza sedang duduk di gubuk kecil terbuat dari papan. Ia sedang bermain sendirian. Menghabiskan waktu walau hanya berteman dengan sepi. Namun Riza tidak merasa kesepian, ia menganggap alam adalah temannya.

Beberapa menit kemudian, pak satpam menghampiri Riza. Merasa panik atas kedatangan pak satpam, Riza merasa takut. "Dek?" pak satpam menyapa. "Ada apa ya, pak? Tanya Riza. 

"Bapak ada amanat dari kepala sekolah, kata beliau, kamu bisa sekolah di sana dengan gratis." Jelas satpam. Sontak Riza terkejut merasa tidak percaya dan menganggap ucapan satpam hanya lelucon. "Bapak bohong ya..." Kata Riza mengelak. "Tidak, apa yang bapak ucapkan itu benar, besok datang saja ke sekolah." Jelas satpam coba meyakinkan Riza. "Alhamdulillah... Akhirnya Sang Maha Kuasa mengabulkan doaku."

Esok hari, dengan rasa semangat Riza menemui kepala sekolah. Di sana ia mendapat kata-kata motivasi dari kepala sekolah. "Riza, kini saat kamu menunjukkan semangatmu untuk ngerimu. Belajar dengan sungguh-sungguh, raih mimpimu, dan jadilah penerus pahlawan yang telah mendahului kita." Ucap kepala sekolah. Perkataan itu akan selalu Riza ingat.

Setelah Riza menemui kepala sekolah, baru merasa yakin dan percaya dengan apa yang diucapkan oleh pak satpam kemarin. Merasa seperti mimpi tapi ini nyata. Riza merasa bersemangat. Ini saatnya Riza menunjukkan bakat. Ibu Pertiwi telah memanggilnya. 

Bangsa ini menaruh harapan besar kepada anak-anak sekolah termasuk Riza. Sesulit apa kehidupan yang di alami, jangan pernah malu untuk bermimpi. Belajar bukan dari hasil kesuksesan seseorang tapi belajarlah dari proses perjalanan orang-orang sukses.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun