Obligasi daerah merupakan salah satu skema pembiayaan dalam pembangunan. Menurut Kementerian Keuangan (Kemenkeu), obligasi daerah adalah alternatif sumber pinjaman daerah jangka menengah dan/atau jangka panjang yang bersumber dari masyarakat. Selain itu, obligasi daerah berguna untuk membiayai kegiatan investasi sektor publik atau pembangunan infrastruktur daerah yang menghasilkan penerumaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.Â
Namun, pandemi COVID-19 yang terjadi pada kuartal I 2020 berdampak serius pada pembangunan dan perekonomian negara, seperti terjadinya defisit anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang berimbas pada ketidakmampuan pendapatan asli daerah (PAD) dalam mencapai targetnya yang didukung dengan belum adanya obligasi daerah yang diterbitkan oleh para pemerintah daerah. Apakah pembiayaan obligasi daerah sebagai salah satu skema pembiayaan masih menguntungkan?
Selama terjadinya pandemi, penerbitan obligasi daerah dipermudah oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang didukung dengan implementasi UU Cipta Kerja pasal 300 ayat (2) mengenai kemudahan bagi Pemerintah Daerah dalam menerbitkan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah dan pasal 154 s.d. pasal 172 mengenai pelaksanaan investasi pemerintah pusat melalui pembentukan Lembaga Pengelolaan Inovasi (LPI) guna mempercepat pemulihan ekonomi nasional (PEN).Â
Selain itu, menurut Dokumen Country Partnership Strategy yang disusun oleh Asian Development Bank (ADB) (2020), Indonesia ditargetkan menerbitkan satu obligasi daerah untuk meningkatkan keuntungan dalam pembiayaan pembangunan pada tahun 2024. Hal ini terealisasi oleh salah satu Provinsi yang telah menerbitkan obligasi daerah yaitu Provinsi Bali karena sektor pariwisata yang termasuk sektor unggulan, belum dapat terpulihkan dengan baik karena banyaknya usaha yang tutup sehingga pemasukkan pajak terhambat. Dalam kasus ketidakmampuan PAD, maka obligasi daerah dapat dinilai sebagai salah satu cara yang tepat.
Keadaan pandemi membuat segala hal, termasuk skema pembiayaan obligasi kurang relevan. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2021, obligasi seyogyanya digunakan untuk pembiayaan infrastruktur dan/atau investasi yang menghasilkan penerimaan daerah.Â
Berdasarkan pernyataan tersebut, penulis memiliki dua pandangan, yaitu (1) melakukan penyeimbangan alokasi pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur dan pemulihan ekonomi karena diketahui penerbitan obligasi daerah dilatarbelakangi oleh minimnya PAD, sehingga diperlukan pengelolaan yang bijak untuk kedua kepentingan ini; dan (2) melakukan peninjauan kembali terhadap peraturan yang telah diterbitkan, dimana dinamika pandemi yang tidak dapat diprediksi memerlukan sisi perundang-undangan yang kuat pula agar tidak terjadi pelanggaran.
Sumber:
SIARAN PERS - MENJAGA KETAHANAN PASAR MODAL DAN MENDUKUNG PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL.pdf (ojk.go.id)
Pelonggaran defisit APBD wajar karena target PAD sulit tercapai di masa pendemi (kontan.co.id)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H