Mohon tunggu...
Bagus Handoko
Bagus Handoko Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Indonesian,old days public policy consultant, long life motorbike rider, travel photographer, soldier of fortune, mercenary of love

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

It's Beyond Subsidy

24 April 2015   11:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:44 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbincangan mengenai sektor migas di Indonesia selalu menarik untuk diikuti. Sebagai negara berkembang, migas masih menjadi dominator dalam bauran energi Indonesia untuk menggerakan roda ekonominya. Saat ini pemerintah sedang berlomba untuk memenuhi target ketahanan energi melawan tingkat konsumsi yang bergerak sangat cepat. Di sisi lain semangat nasionalisme dalam pengelolaan SDA juga sedang tinggi. Wacana untuk mengembalikan blok Mahakam yang dikelola oleh Total yangakan habis di tahun 2017 untuk dikelola oleh perusahaan nasional kemudian menjadi santer.

Jika melihat tren global, usaha pemerintah untuk mengamankan sektor migasnya merupakan langkah yang bagus. Di tahun 2013 Energy Information Administration (EIA) Amerika menunjukan peningkatan konsumsi energi yang dialami secara global. Satu hal yang menarik, konsumsi energi bergeser dari yang sebelumnya berasal dari negara-negara Barat, kini didominasi negara kawasan Asia. Ini adalah sebuah fenomena yang wajar, mengingat Asia sedang mengalami pertumbuhan penduduk dalam skala besar dan ekonominya yang terus tumbuh secara signifikan (emerging market). Sebagai salah satu negara di Asia yang termasuk dalam emerging market, meningkatnya konsumsi energi Indonesia pun menjadi keniscayaan.

Sumber: EIA

Jumlah cadangan minyak bumi yang lebih sedikit dari cadangan gas mendorong negara-negara untuk mengubah bauran energinya di masa mendatang. Sadar dengan situasi ini, pemerintah Indonesia pun melakukan hal yang sama. Target bauran energi nasional yang saat ini didominasi oleh minyak bumi secara bertahap akan mulai diseimbangkan dengan sumber energi lain.

Sumber: Kementerian ESDM

Cadangan migas Indonesia setiap harinya makin menipis, sebagian harus bergantung pada impor. Sementara masih banyak sumber energi alternatif lain yang bisa dikembangkan seperti panas bumi misalnya, yang menurut perkiraan Bank Dunia bisa memenuhi 35% kebutuhan listrik nasional di tahun 2030.

Dengan target bauran energi seperti di atas, dan potensi energi alternatif Indonesia di masa mendatang, sudah seharusnya pengelolaan sektor migas dibenahi. Banyak pekerjaan rumah yang harus mulai dikerjakan mulai dari sekarang.

Bayang-Bayang Irasionalitas Subsidi

Ketika BBM dan gas dipotong subsidinya beberapa waktu lalu, timbul kepanikan di kalangan masyarakat. Seperti biasa, reaksi pun muncul bahkan hingga terwujud dikotomi “pro rakyat vs anti rakyat.” Subsidi migasadalah persoalan kasik di Indonesia. Perubahan kebijakan mengenai hal ini persoalannya tak semudah membalikkan telapak tangan, seringkali ditanggapi reaktif-emosional. Padahal, melihat potret BBM Indonesia saat ini ebih dibutuhkan sudut pandang yang rasional dan bijak.

BP Statistical Review 2013 mencatat dengan cadangan minyak bumi yang kalah jauh dengan Arab Saudi, ternyata harga BBM Indonesia tak terpaut jauh dengan negara tersebut alias murah sekali. Ironisnya, data penelitian dari Kementerian ESDM, subsidi BBM yang seharusnya dinikmati masyarakat miskin, 70%-nya malah dinikmati oleh golongan kaya. WWF bahkan menyebutkan pola konsumsi BBM masyarakat Indonesia dari consumptive ke wasteful karena kecenderungan penggunaan BBM bersubsidi sangat boros.

Di sisi lain ketergantungan Indonesia pada impor minyak untuk BBM tidak lagi ekonomis. Tingkat produksi kilang minyak Indonesia kini hanya mampu memproduksi 800 ribu barel/hari, sementara kebutuhannya adalah 1,5 juta barel/hari. Indonesia merupakan satu-satunya pengimpor RON 88, dengan volume pembelian jauh lebih besar dibandingkan dengan transaksi RON 92 di kawasan Asia Tenggara, ironisnya Indonesia tidak memiliki kekuatan dalam pembentukan harga MoPS (Mean of Platts Singapore: penilaian produk untuk perdagangan minyak di kawasan Asia yang dibuat oleh Platts, perusahaan di Singapura) untuk RON 92 yang menjadi benchmark atau acuan harga bensin RON 88. Ini berakibat pada posisi Indonesia yang rentan terhadap permainan harga kartel.

Harga minyak dunia yang melonjak ke USD 113,61 per barel pada Juni 2011 menempatkan APBN Indonesia di bawah tekanan. Dengan kondisi seperti ini EIA di tahun 2011 merilis data beban Indonesia untuk minyak dan listri sekitar 9,78 miliar USD. Meskipun harga minyak dunia turun di awal 2015, tak bisa dijadikan alasan bagi kita untuk terus menerus bergantung pada subsidi. BBM yang disubsidi oleh pemerintah adalah jenis RON 88, selain impor ternyata ada proses lain yang juga merugikan negara. Kekurangan RON 88 diambil dari luar dengan cara mengimpor RON 92 yang kemudian dicampur dengan bahan lain menjadi RON 88. Artinya Indonesia harus buang-buang uang untuk BBM yang kualitasnya rendah.

Beyond Subsidy

Pengurangan subsidi BBM harus dilakukan, meskipun tak mudahnamun jika tak dilakukan keuangan negara ambruk. Memang betul kenaikan harga BBM dan gas akan meningkatkan inflasi, tetapi ini lebih disebabkan oleh faktor psikologis masyarakat Indonesia yang cenderung mudah panik. Jika dirunut akar masalahnya, mahalnya harga barang konsumsi kita bukan pure disebabkan kenaikan harga bahan bakar, tetapi lebih disebabkan infrastruktur kita yang tak dibangun dengan baik.

Alih-alih memberikan subsidi untuk bahan bakar, maka pemerintah mengalokasikan dananya untuk belanja modal (yang di dalamnya termasuk infrastruktur) dan investasi pendidikan. Dalam teori ekonomi, bukan memberikan subsidi bahan bakar secara berlebih yang menumbuhkan ekonomi suatu negara, tetapi pendidikan dan infrastruktur. Cara ini bahkan mampu membawa sebuah negara untuk keluar dari persoalan middle income trap yang mulai menggejala di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Kembali ke sektor migas, pendanaan yang lebih bijak di sektor ini dengan mengurangi beban subsidi juga akan memberikan ruang yang lebih bagi pemerintah untuk modernisasi infrastruktur migas. Kapasitas kilang minyak Indonesia saat ini tak efisien. Sebagai pembanding secara kapasitas produksi, 4 kilang di Singapura lebih tinggi dibandingkan 6 kilang milik Pertamina. Total kapasitasnya 1.255.000 bph. Sedangkan kapasitas produksi kilang-kilang Pertamina saat ini 1.031.000 bph.

Dari sisi keekonomian, kilang Indonesia yang berteknologi lama hanya mampu menghasilkan produk RON 88 yang sudah beroktan tinggi dan nilai jualnya rendah karena saat ini sebagian besar negara telah menggunakan RON 92. Keekonomian menjadi penting karena dengan cadangan minyak kita yang makin menipis maka tingkat value added-nya harus dimaksimalkan.

Di sisi lain banyaknya kontrak kerjasama yang akan segera berakhir, salah satunya Blok Mahakam, dan semangat nasionalisme agar perusahaan nasional dan daerah bisa mengelola sektor migas harus ditanggapi dengan bijak. Kontrak kerjasama mengenai ketentuan bagi hasil dan pembebasan pajak harus diperjelas dan jangan sampai merugikan pemerintah. Sebagai contoh adalah persoalan cost recovery yang harus dibayarkan ke pemerintah kepada perusahaan. Sebagian besar tambang migas kita saat ini berada dalam tahap eksploitasi, jadi cost recovery harus ditinjau ulang karena skema tersebut pada dasarnya hanya diterapkan di tahap eksplorasi.

Penyelamatan sektor migas tak bisa dilakukan hanya dengan memfokuskan kebijakan pada sektor ini semata. Dasar dari penyelamatan migas adalah mewujudkan ketahanan energi, untuk itu penyelamatan migas hanyalah salah satu langkah awal. Pengelolaan migas yang lebih baik harus membawa multiplier effects yang salah satunya adalah mendorong pengembangan energi baru terbarukan.

Dari penemuan awal di tahun 1972, ditemukan saat itu sebesar 1,68 miliar barel minyak dan gas bumi sebesar 21,2 triliun kaki kubik (TCF). Perkiraan cadangan di tahun 2017 jumlahnya tersisa 131 juta barel dan cadangan 2P gas sebanyak 3,8 TCF pada tahun 2017. Bersama dengan blok lain, dengan memaksimalkan tingkat keekonomian dan efisiensi migas maka seharusnya ada penambahan modal negara untuk mengembangkan sektor energi lain yang lebih ramah lingkungan seperti solar PV, panas bumi, pembangkit listrik tenaga angin dan air. “Nafas” ketersediaan energi di masa mendatang akan lebih panjang. Hal ini juga sejalan dengan trenekonomi hijau yan berorientasi pada pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable development).

Melihat kompleksitasnya, tidak berlebihan jika Pak Sudirman Said menyatakan bahwa penyelamatan sektor migas  “it's beyond subsidy.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun