Mohon tunggu...
Bagus Handoko
Bagus Handoko Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Indonesian,old days public policy consultant, long life motorbike rider, travel photographer, soldier of fortune, mercenary of love

Selanjutnya

Tutup

Money

Gangnam Style Economy

21 Oktober 2012   14:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:34 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SNSD atau Girl’s Generation. Sumber: Penchenk.com

Belakangan Jakarta banjir dengan konser artis-artis Korea. Sudah beberapa tahun pula di Indonesia terjadi demam Korea. Dari mulai anak SD hingga ibu-ibu ngefans berat dengan artis Korea. Mami saya fasih betul sebut nama Lee Min Ho, padahal dulu tergila-gila dengan Maria Marcedes. Sementara banyak teman-teman saya bak ikan ketemu air bila ngobrol tentang SNSD, Wonder Girls, Suju (Super Junior), dan artis Korea lainnya. Apalagi yang cewek, bisa pingsan tujuh purnama ketika liat video klip Suju.

Diakui atau tidak, artis-artis Korsel menawarkan fantasi. Mulai dari paras cantik dan ganteng (tapi buat saya cowoknya pun kelewat cantik ah..), tarian yang oke, lagu yang enerjik, serta kisah romantis dari film-filmnya membius kita terutama untuk kalangan muda. Saya amati, serial drama Korsel mencomot resep dorama Jepang yang berfalsafah efek drug – skala kecil tapi dosisnya dahsyat, cerita dikemas yang bagus dan romantis tanpa harus bertele-tele. Hasilnya, penonton menyukai kisahnya dan dengan durasi yang pendek malah membuat ketagihan. Bandingkan dengan sinetron Indonesia yang puluhan episode dan season, dengan cerita yang oh my God mending gak usah dibahas....

Tak berhenti dengan bombardir artis cantik dan gantengnya, Korsel juga membuat hit dengan demam Gangnam Style-nya. Gangnam Style, sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Psy meledak setelah videonya di Youtube ditonton jutaan orang. Gangnam buat saya adalah sebuah anomali. Lagunya adalah kritik sosial daripada sebuah nyanyian cinta, penyanyinya tidak ganteng, koreografinya norak. Tetapi mungkin karena noraknya itu malah menjadi hits.

Dunia internasional menyebut kepopuleran industri hiburan Korsel dengan Korean Wave. Peter Larsen dari The Orange County Register, sebuah surat kabar harian yang terbit di California, menyeebut Korean Wave adalah "tsunami budaya pop yang mengalir dari Korea Selatan ke Amerika Serikat dan di seluruh dunia". Mulai film, musik, bahkan fashion style. Khususnya musik, kini musik Korea Selatan masuk dalam jajaran 5 besar industri musik yang sangat berpengaruh di dunia. Bahkan di Jepang, 10 besar tangga lagunya sebagian besar didominasi oleh artis-artis Korsel. Bisa dibayangkan berapa keuntungan ekonomis dan kultural yang didapat oleh negara ini? Di kuartal pertama 2012 Korsel menerima pendatapatan dari industri musik sebesar 997,3 juta won, dan mampu mengekspor 48,5 juta won. Bila dulu nama Korsel seakan tertutup bayangan kebesaran Cina dan Jepang, kini dengan industri kreatifnya yang pesat nama Korsel makin berkibar.

Bukan Fenomena Sinta-Jojo

Kalau melihat fenomena Gangnam, bisa dilibilang yang didapat Psy sekarang bisa saja ketenaran jangka pendek. Situasinya mirip video Sinta-Jojo di Youtube beberapa tahun lalu. Meskipun bila ditilik lagi lagu Psy sangatlah bagus karena mengkritik kondisi sosial masyarakat Korsel, tapi orang-orang menonton videonya karena lebih tertarik tariannya yang unik.

Tetapi jika kita hanyamelihat faktor Psy, maka kita telah masuk dalam jebakan betmen. Korean Wave adalah sebuah master plan yang direncanakan oleh Pemerintah Korsel selama puluhan tahun. Misinya, membawa kebudayaan dan nama Korsel ke kancah dunia. Misi ini kemudian lebih dikerutcutkan, salah satunya lewat industri musik dan film. Infrastruktur industri film dibangun, dana dikucurkan bagi masyarakat untuk belajar sebi di luar negeri.

Dari pihak swasta, terutama manajemen artis, kontrol kualitas dan pendidikan dilakukan secara ketat. Dari sekian banyak boysband dan girlsband Korsel, para personelnya dilatih bertahun-tahun sebelum dilempar ke pasar. Pola hidup diatur, gaya pakaian ditata, dan koreografi mereka dikoreksi, secara berkala dikirim ke AS untuk belajar artikulasi bahasa Inggris yang baik. Tidak ada yang instan! Bahkan salah satu personel Bigbang sudah mengikuti pelatihan YG Entertainment (manajemen yang menaungi grup Bigbang) sejak usia 12 tahun. Park Bom (personel grup 2NE1) harus gagal tiga tahun berturut-turut sebelum diterima menjadi penyanyi, itupun masih dengan banyak koreksi di sana-sini.

Sebuah Formula Lama Tapi Sering Dilupakan

Kemajuan industri kreatif Korsel sesungguhnya bisa dicontoh oleh negara manapun. Namun alih-alih hanya mencontoh (baca: menjiplak), yang terpenting adalah melihat ke dalam apa formula dalam proses pembangunan yang panjang tersebut. Kunci dari keberhasilan itu adalah pendidikan dan pelatihan kerja. Dua hal ini memang terdengan klise, sok idealis, maka dari itu sering dilupakan. Namun bagaimana jika seruan itu datang dari pemenang nobel ekonomi bernama Eric Stark Maskin? Eric memang tidak membahas Korean Wave, dan saya yakin dia juga tidak tahu tentang SNSD dan lainnnya. Namun Eric menyatakan bahwa pendidikan dan pelatihan kerja adalah elemen kunci agar rakyat punya sesuatu yang bisa ditawarkan ke pasar global.

Musik Korsel berhasil mendunia karena artisnya dididik dan dilatih dan dilatih dengan baik. Kualitas vokalnya bagus dan koreografinya tak terlihat gerak yang dipaksakan. Ada strategi yang jelas dalam membangun imej artis. Lihat saja imej SNSD dan After School. Seiring perkembangan waktu, manajemen mengubah imej dari gadis-gadis imut di awal peluncuranya menjadi wanita-wanita dewasa penuh pesona. Lagu, musik, kostum, dan koreografipun turut berubah. Hasilnya? Publik tidak melihat girlband sebagai gadis barbie dengan jiwa kekanakan yang terjebak dalam tubuh yang dimakan umur. Di Indonesia, artis yang seperti itu baru Agnes Monica. Boysband dan girlsband Indonesia selebihnya hanya produk aji mumpung dan tanpa arah yang jelas. Bukti, bahwa manajemen musik dan artis Indonesia bukanlah pihak-pihak yang cerdas. Pemerintah, sebagi sumber kebijakan yang mendukung tumbuh suburnya industri kreatif Korsel telah sangat baik memainkan perannya. Selain membangun infrastruktur, dana beasiswa pun dikucurkan sehingga banyak artis bisa belajar di luar negeri dan menggali ide.

Indonesia bisa saja menjadi seperti Korsel karena berangkat dari titik yang sama, sama-sama pernah dikuasirezim militer puluhan tahun. Bedanya, Korsel sejak dulu fokus pada pendidikan dan budaya. Pemerintah Indonesia bisa membuat kebijakan yang mendukung perkembangan industri kreatif, terutama musik untuk go internasional. Namun yang lebih penting adalah bagaimana memajukan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat sehingga bisa menghasilkan musik yang berkualitas dan memiliki pengetahuan global. Sementara manajemen musik dan artis hendaknya tidak hanya aji mumpung, namun juga perlu melakukan semacam pelatihan bakat jangka panjang bagi artis yang dinaunginya sebelum dilempar ke pasar. Tanpa itu, maka bakat-bakat seni yang sering nongol di acara Indonesia Mencari Bakat dan program sejenis akan menjadi mubazir dan kita tak akan pernah menikmati Gangnam Style Economy seperti Korsel.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun