Film Bali: Beats of Paradise tersebut mengingatkan saya akan istilah contra-flow mengenai sebuah pergerakan budaya dimana seorang individu dikatakan hidup di antara berbagai budaya.Â
Dengan kata lain, seorang individu harus menjalani cara hidup baru di daerah asing, namun di satu sisi individu ini mempertahankan cara hidup maupun budaya lama mereka. Di Indonesia sendiri, contra-flow seperti ini memang telah dirasakan oleh para keturunan Tionghoa. Mulai berkembagnnya penduduk Tionghoa di Indonesia juga dilihat oleh industri media seperti Metro TV yang memiliki program khusus berbahasa Mandarin.Â
Namun, hal yang cukup mengejutkan adalah ternyata fakta bahwa Indonesia menjadi negara berpenduduk terpadat nomor empat di dunia ternyata justru tidak adanya produk budaya yang mampu mengangkat ke-khas-an dari Indonesia. Tentu ini menjadi refleksi bersama bahwa seharusnya hal tersebut menjadi sebuah peluang bagi Indonesia agar dapat dikenal secara luas sama halnya seperti produk budaya Bollywood milik India hingga Telenovela milik Amerika Latin.
Lagi-lagi era keterbukaan informasi di era globalisasi ini bisa jadi sebuah ancaman maupun peluang, tergantung bagaimana menyikapinya. Kemajuan teknologi juga sejatinya dapat dimanfaatkan sebagai sarana dan medium bagi pelestarian nilai-nilai budaya lokal agar tidak terkikis oleh paparan dari budaya asing yang masuk melalui media.
Daftar Pustaka
Kamalipour, Yahya R., & Artz, Lee. (2003). The Globalization of Corporate Media Hegemony. State University of New York Press: New York, USA.Â
Website resmi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) diakses pada tanggal 30 Â November 2020 pada pukul 22.00 melalui https://saifulmujani.com/kebangkitan-film-indonesia/ .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H