Pentingnya Menjadi Negara Responsif
Pada konteks kebijakan sosial, tentu tak lepas dari partisipasi masyarakat guna melahirkan kebijakan yang sesuai dan pas dalam mengatasi masalah yang ada. Hal tersebut kemudian memunculkan istilah bernama "Negara Responsif", menurut Johannesen dan Pedersen dalam Dani & de Haan (2008), negara responsif diartikan sebagai sebuah tanggung jawab negara dalam mempertahankan otonomi negara melalui partisipasi dan kerja sama dengan kelompok yang memiliki kepentingan.Â
Dalam hal ini, Johannesen dan Pedersen menekankan bahwa negara demokrasi yang kuat bila bertemu dengan masyarakat sipil yang kuat akan menciptakan status negara responsif.Â
Hal ini beralasan karena partisipasi masyarakat sipil dinilai sebagai sebuah pondasi dari masyarakat yang demokratis, pentingnya keterlibatan masyarakat dalam konteks ini juga akan turut serta meningkatkan legitimasi keputusan dalam pengambilan kebijakan pemerintah secara tepat.
Walaupun begitu, ada hal yang masih perlu disorot terutama yang berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan oleh suatu negara, karena sering kali partisipasi masyarakat tidak selalu menghadirkan kebijakan yang berkualitas dari pemerintah. Sebagai contoh adalah negara Indonesia, walaupun memiliki masyarakat yang aktif dengan sistem demokratis, namun penetapan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini dilakukan secara hierarkis baik melalui Kabinet Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kecenderungan yang terjadi saat ini adalah kebijakan yang diambil tidak mempertimbangkan atau mendengarkan semua suara dari seluruh lapisan masyarakat dan terkesan memiliki konflik kepentingan, contoh yang baru-baru ini terjadi adalah terkait pengesahan RUU Omnibus Law yang menjadi polemik dan perdebatan di masyarakat terutama yang berkaitan dengan investasi dan tenaga kerja. Oleh karena itu, pemahaman dari negara responsif ini kemudian menjadi sebuah tantangan dari pekerjaan rumah (PR) baru bagi pemerintah Indonesia dan dalam pengambilan keputusan agar nantinya tidak merugikan masyarakat dan menciptakan keadilan yang kaitannya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat terutama dalam menghadapi globalisasi saat ini.
Melihat Kembali Globalisasi
Pentingnya menilai kembali proses dan perkembangan globalisasi yang selama ini terjadi juga menjadi salah satu bentuk evaluasi apakah globalisasi yang terjadi saat ini berdampak secara positif atau justru negatif terutama bagi masyarakat secara keseluruhan.Â
Menurut Oberoi & Halsall (2018), proses globalisasi yang terjadi saat ini dianggap sebagai sistem yang sarat akan kepentingan dan gagal dalam menghadirkan sebuah tatanan dunia baru yang berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.Â
Pertimbangan mengenai masalah kemiskinan, pengangguran, ketidaksetaraan, lunturnya lokalitas hingga iklim global menjadi hal yang tidak terselesaikan dengan baik hingga saat ini. Gagasan dalam mendekonstruksi ulang globalisasi yang dilontarkan oleh Oberoi & Halsall ini tentu menjadi sebuah harapan baru, walaupun begitu sepertinya hal tersebut sangat sulit direalisasikan. Mengingat adanya banyak organisasi internasional yang mempunyai kepentingan yang dimanfaatkan dari adanya globalisasi terutama berkaitan dengan perdagangan bebas ini.Â
Ketergantungan negara-negara miskin juga menjadi salah satu tantangan tersendiri, oleh karena itu salah satu upaya yang mampu dilakukan saat ini adalah peran dari masing-masing negara dalam menghadirkan keadilan, kesetaraan, dan keberpihakan dalam setiap program atau kebijakan yang dilakukan terutama untuk menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.Â
Partisipasi masyarakat dalam memandu jalannya kebijakan dari pemerintah serta upaya pemerintah untuk "melihat dan mendengar" rakyat dalam menetapkan kebijakan juga menjadi salah satu kunci utama agar tercipta keserasian dalam hubungan antara negara dan masyarakat, terutama berkaitan dalam menjadi negara yang responsif di tengah arus globalisasi saat ini.