Setelah menjalani kuliah beberapa semester dan mempelajari beberapa teori Pendidikan dan pembelajaran membaut saya mengingat beberapa hal yang terjadi di masa lampu, tepatnya saat saya masih duduk di bangku SMA dan ada di Jurusan IPS.
Setiap tahun sejak kelas 1 SMA kami semua akan mendapatkan salah satu mata pelajaran dari jurusan lain yang tersedia di sekolah, jika tidak dapat mata pelajaran dari jurusan IPA maka akan dapat dari Jurusan Bahasa. Betul karena SMA saya dulu tersedia 3 jurusan.
Selalu sial, selama 3 tahun bersekolah saya selalu mendapatkan mata pelajaran IPA yang disematkan dalam mata pelajaran yang tersedia, dari mata pelajaran Biologi, Kimia bahkan Fisika pernah saya dapatkan selama 3 tahun sekolah.Â
Mata pelajaran ini disebut sebagai Lintas Minat dimana pada saat saya SMA rasanya kami satu kelas selalu setuju tiap tahunnya bahwa kami sama sekali tidak berminat dengan mata pelajaran dari jurusan IPA, karena itu kami dengan niat dan tekad yang sudah bulat memilih jurusan IPS dengan harapan dijauhi dari hal-hal berbau ke-IPA'an
Mau tidak mau rasanya harus mendengarkan istilah fisika dan yang lainnya 1x tiap minggu. Rasanya kehadiran guru mata pelajaran Lintas minat sangat tidak disukai, mungkin hampir setara rasa ingin menghindarnya dengan mata pelajaran Matematika namun sedikit lebih menyebalkan.Â
Hampir beberapa kali setelah ulangan mate pelajaran Lintas Minat selesai kelas kami tidak akan mencoba mengoreksi ulang seperti bertanya "eh jawaban nomor 3 tadi apa?" atau semacamnya, tapi hal pertama adalah "KENAPA KITA HARUS BELAJAR IPA SIH?! KITA KAN IPS!"
Perasaan tidak terima itu hadir selama 3 tahun kepada mata pelajaran lintas minat yang sama sekali tidak kita minati. Pada suatu waktu saat kelas 2 SMA kami rasanya sudah cukup frustrasi dengan dinamika remaja, lalu kami mendapatkan kesempatan dalam Bimbingan wali kelas yang biasanya kami dapatkan tiap minggunya.Â
Saat itu dengan kesepakatan bersama kami mengajukan untuk menghapuskan mata pelajaran lintas minat kepada wali kelas. Tentu saja beliau terkejut dengan sikap kami, rasanya siswa jurusan IPS memang menjauhi IPA (begitulah Stigma yang ada di masyarakat), namun secara terang-terangan meminta penghapusan mata pelajaran itu yang membaut wali kelas kami yang sangat baik itu tersentak.Â
Perlahan beliau mencoba membangun dialog untuk mencari tahu apa yang terjadi pada kelasnya sampai mengatakan hal tersebut.Â
Alasan utamnya adalah bahwa kami setuju mata pelajaran IPA tidak memiliki nilai dalam hidup kami dan secara ekstrim kami juga menganggap itu membuang waktu karena mungkin kami tidak akan menggunakannya sama sekali dalam hidup kami.
Wali kelas kami mencoba menjelaskan bahwa seluruh mata pelajaran itu memiliki nilai yang mungkin di masa depan akan berguna untuk kami, beliau mencoba untuk memberikan pemahaman bahwa suatu saat seluruh ilmu pasti akan berguna.Â
Menerimanya tanpa perlawanan dalam hati tiap siswa yang saya lihat waktu itu rasanya masih tidak terima. Walau benar bahkan saya tidak menemukan kesempatan dimana saya bisa menggunakan susunan Genus dari mata pelajaran biologi dalam hidup saya saat ini.
Ini adalah masalah yang rasanya ABADI, beberapa siswa tidak siap dengan jurusan lainnya karena merasa bahwa mata pelajaran tertentu tidak berhubungan dengan mereka seperti apa yang terjadi pada kelas saya di masa lalu. Selama saya kuliah saya bertemu dengan seorang bapak-bapak Bernama Giroux, tentu saja dia bukanlah orang biasa. Beliau adalah seorang intelektual yang mengenalkan gagasan Pedagogi Kritis kepada saya yang membuat saya mencoba mengerti apa yang terjadi di masa lampau.
Bapak Giroux membuat pandangan saya terbuka bahwa apa yang terjadi di masa lampau adalah karena tidak adanya pedagogi kritis dalam proses pembelajaran yang terjadi. Sebelum lebih jauh membicarakan yang mulai rumit ini mungkin saya akan memberitahu beberapa poin utama dari pedagogi kritis.
Dalam pedagogi kritis, proses pembelajaran perlu memperhatikan beberapa hal yang diantaranya adalah. Nilai substansial, Pendekatan yang Realistis dan harus menyenangkan.
Memang benar secara substansial nilai-nilai yang di mata pelajaran manapun akan berguna jika kita dapat mengerti logika dasarnya dan bukan berfokus pada metode menghafal gaya lama. Tapi rasanya apa yang terjadi seperti itu dan bahkan mungkin pemikiran kritis kami sudah terbangun pada saat itu dan kamu setuju bahwa tidak berguna. Pelajaran itu rasanya tidak menyenangkan dan sama sekali tidak dekat dengan kehidupan satu di antara kami.
Karena itu masalah ini adalah masalah abadi, sampai tenaga pendidik menemukan cara untuk menerapkan pedagogi kritis pada proses pembelajaran secara optimal, pertanyaan dari siswa yang berbunyi "KANAPA SAYA HARUS BELAJAR INI, EMANG DI MASA DEPAN BERGUNA?!" mungkin akan terus terawat abadi di dalam kelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H