Hampir banyak orang telah lupa Peristiwa kejahatan kemanusiaan dikenal dengan nama “ Biak berdarah ” yang terjadi terjadi pada 6 Juli 1998 di Biak. Dimana masyarakat melakukan aksi damai dan mengibarkan bendera bintang kejora di atas menara air di Pelabuhan Biak, sejak 2 hingga 6 Juli. Sampai saat ini kasus ini tidak jelas dan dibiarkan begitu saja tanpa tanpa memberikan keadilan bagi para korban yang masih hidup maupum keluarga korban.
[caption id="attachment_120984" align="alignleft" width="271" caption="Para medis kumpulkan potongan mayat misterius di laut Biak, 1998"][/caption]
Ada dua upaya aneksasi wilayah Papua masuk di Pangkuan NKRI yakni, mengirimpertahanan Tri Komando Rakyat pada1961 dengan tujuan untuk membubarkan negara boneka buatan Belanda, kemudia dilanjutan dengan pelaksanaan Pepera pada tahun 1969, dengan penuh kebohongan, sandiwara dan tidak demokratis, karena waktu itu menurut saksi sejarah dan pelaku sejarah, Pepera dilakuka di bawah ancaman tentara Indonesia, karena dengan tujuan menghilangkan keinginan rakyatPapua Barat mendirikan sebuah negara dan ingin menguasi sumberdaya alamdi Papua Barat.
Pada 1 Juli 1971, TPN-OPM mendeklarasikan Republik Papua Barat sebagai sebuah negara yang merdeka, dan presiden pertama adalahBrigadir Jend. Zeth Rumkorem. Pendeklerasian Itu merupakan salah satu upaya penyelamatan manusia dan kekayaan alam di atas Tanah Papua yang sedang dikuasai oleh Indonesia. Disanalah lahirnya OPM dan sayap militernya yang biasa sebut Tentara Pembebasan Nasiona (TPN), sebuah perlawanan garis keras yang melawan pemerintah Indonesia waktu itu dan sampai kini masih eksis, walaupun munculnya beberapa organisasi perlawanan, dengan terbukanyaruang demokrasi di Indonesi. TPN-OPM tetap dipandang sebagai organisasi Induk Perjuangan Papua Barat.
Oleh karena itu, Momen 1 Juli merupakan hari bersejarah bagi semua komponen perjuangan, baik organisasi perlawanan pemuda maupun faksi-faksi perjuangan Papua Barat. Selain itu juga ada tanggal 14 Desember 1988 yang dikenal sebagai, hari deklarasi kemerdekaan Melanesia Barat oleh Doktor Thomas Wanggai, di Lapangan Mandala Jayapura.
Ketika rezim orde baru tumbang pada tahun 1998, ruang demokrasi mulai terbuka,kebebasan menyampaikan pendapat muncul dimana-mana. Ruang itu digunakan untuk menyampaikan aspirasi merdeka, yang sebelumnya berjuang di hutan, mulai bermunculan di kota. Salah satunya adalah pengibaran bendera bintang Kejora di Biak yang berbuntut pada pertumpahan darah dan menelan banyak korban nyawa dan harta benda.
Menurut data hasil investigasi Lembaga Advokasi dan Studi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua menyebutkan, peristiwa itu mengakibatkan 8 orangmeninggal, 3 orang hilang, 4 orang luka berat, 33 orang luka biasa, 150 korban penagkapan sewenang-wenang dan penyiksaan serta 32 mayat misterius. Itu pun data yang didapatkan karena diperkirakan banyak orang yang hilang bahkan diperkosa.
Ada banyak warga yang diantar dengan kapal perang Angkatan Laut, kemudian dibunuh lalu dibuang ke dalam laut. Kesaksian seorang nelayan yang dirilis dalam laporan ELSHAM bahwa, ditengah pelayaran di antara pulau Padaido dengan tanjung Barari,ia menemukan 2 mayat terapung di atas permukaan air laut, posisi tangan terikat kebelakan dengan menunakan tali nilon.
Mereka yang diangkut dengan kapal perang tidak diketahui nasibnya. Namun beberapa minggu kemudian masyarakat Biak Timur dan Biak Barat menemukan mayat-mayat misterius di pinggiran laut. Mayat-mayat yang misterius itu pada umumnya tidak sempurna, karena ada anggota tubuh yang telah hilang, demikian terungkap dalam laporan tersebut.
Disana ditemukan banyak mayat dan kuburan misterius, tetapi tidak tahu itu kuburan siapa, dan ada keluarga yang tahu bahwa anak atau bapaknya di tangkap dan dibunuh oleh tentara Indonesia, tetapi tidak tahu dimana pusaranya. Karena itu, Laporan peristiwa itu diberi nama “ nama tanpa pusara, pusara tanpa nama”.
Semua korban yang berseraka akibat sang bintang kejora menjadi tidak berharga di negerinya. Darahdan air mata rakyat Papua mejadi tanah yang subur untuk tumbuhnya triliunan rupia, posisi dan Jabatan bagi para elit Papua yang rakus dan besenang-senang di atas hasil darah manusia itu. Seolah-olah mereka menikmati hasil keringat atau kebaikan hati pemerintah pusat. Para korban hanya menjadi bisu dan terdiam, karena trauma, sebab mereka telah dicap melakukan perlawanan terhadap negara sehingga tidak diakui sebagi korban kekerasan negara.
Para pelaku kejahatan justrudilindungi, memberikan pangkat dan posisi yang lebih tinggi dan membebaskan dari jeratan hukum tanpa syarat, karena mereka dianggap pahlawan. Harapanpengungkapan kebenaran dan keadilan itu jau dari bayang-bayang para korban dan juga rakyat Papua sampai saa ini. Karena kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap warga sipil saat ini terus terjadi dan tidak satu kasus pun yang diselesaikan melalui proses hukum. Hal ini menciptakan peluang yang lebih besar kepada aparat untuk melakukan kekerasan terhadap warganya, dengan dalil separatis dan OPM, walaupun kasus criminal biasa.
Untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa masa lalu dan sebagai pendidikan publik bagi masyarakat, organisasi korban, bersatuuntuk kebenaran (BUK), selalu melakunan memorialisasi dalam bentuk aski, konfrensi pers, diskusi, pemutaran film kekerasan dan membagi selebaran. Mengenang 12 tahun tragedi Baik berdara, BUK dan Kontas Papua mengadakan konfrensi pers di kantor Kontras Papua sekitar 11.00-11.50. Dalam Pres release menyampaikan beberapa tuntutan yakni: 1).Presiden SBY segera mendesak Komnas HAM dan Kejaksaan Agung RI Jakarta untuk melanjutkan penyelidikan terhadap kasus Biak, 6 Juli 1998. 2). Komnas HAM Papua untuk meminta dan mempelajari kembali kasus Biak berdarah serta meninjak lanjutinya dalam bentuk penyelidikan. 3).Kejaksaan Agung dan Komnas HAM, Segera melanjutkan proses hukum bagi kasus Wasior, 13 Juni 2001 dan Wamena, 4 April 2003. 4). Mendesak Komnas HAM Perwakilan Papua untuk mempasilitasi: Gubernur Provinsi Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, dan MRPuntuk mendorong sebuah evaluasiresmi atas kasus-kasus Pelanggaran HAM di Papua. 5). Segera membentuk Pengadilan HAM di Papua. (Mare Simare)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H