Mohon tunggu...
Bagoes Dhayu
Bagoes Dhayu Mohon Tunggu... profesional -

Born In Djogjakarta, Besar dengan budaya campuran Sunda-banten-jawa, berkelana bersama helena sampai waena-Jayapura papua..., pencinta damai, sebagai akuntan di sebuah perusahaan media, membangun visi generasi muda mandiri melalui pendidikan, Senang bergaul, penyayang binatang dan bumi. penyuka mie ayam dan kopi.., hidup dengan satu tujuan pulang kembali kepada sang Khalik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sisi Buram Koin Pendidikan Negeri Merah Putih

16 Juni 2011   15:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:27 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wajah polos cenderung serius tampak pada wajah anak anak kecil yang antusias memperhatikan gambar yang tercetak di atas selembar karton yang mengambarkan simbol simbol huruf dan angka, mata besar mereka memperhatikan semua detil gambar dengan semangat...sesekali mereka saling bertukar cerita mengenai gambar yang tampak didepan mereka. Anak anak ini dari suku yang berasal dari salah satu pegunungan di sekitar perbatasan papua yang turun ke kota dan bermukim di pinggiran kota tepatnya  di belakang area kompleks salah satu universitas negeri Jayapura. Orang tua mereka hidup dari berkebun dengan menjual hasil bumi seperti singkong, ubi, jagung di pasar kaget dekat kampus tersebut setiap sorenya. Duduk melingkat diatas sebuah panggung kayu kasar yang dibangun di bawah pepohonan, dengan udara tropis yang basah dan panas walaupun jam sudah menunjukan pukul 4. sore , anak anak tersebut seperti tidak merasa terganggu sementara seorang guru relawan asyik mendampingi mereka didampingi beberapa temannya. Tidak ada ada dinding, meja bahkan papan tulis  namun sang guru relawan begitu tekun membantu anak anak tersebut untuk belajar menemukan huruf dan membantu mengeja dengan benar. Kegiatan para relawan guru untuk memperkenalkan dunia pendidikan pada anak anak pedalaman adalah hal yang jarang di temui dan tidak mudah, apalagi para relawan adalah Dosen dan mahasiswa yang cukup sibuk dengan jadwal akademik yang padat. Mereka adalah segelintir orang muda yang peduli akan pendidikan bagi anak anak papua. Salah satu kisah lucu saya sempat dengar dari mereka, suatu saat ketika mereka mendapat sumbangan buku bacaan dan buku tulis , buku tersebut segera dibagikan kepada anak anak dan dengan semangat anak anak akhirnya menguasai beberapa materi dalam bukunya dan sebagai hadianya Para Guru membolehkan anak anak membawa buku tersebut pulang untuk di pelajari . Minggu depannya sebelum pertemuan dengan anak anak, para guru sedikit berbincang dengan para orang tua mengenai kemajuan membaca anak anak dengan buku tersebut, respons yang di dapat membuat para guru tersenyum kecut, para orang tua sangat berterima kasih karena buku tersebut sangat berguna bagi mereka, terutama ketika harus menyalakan kayu bakar di dapur !!!!!, ya buku tersebut di pakai untuk memancing api tungku!!!!. Gambaran di atas adalah salah satu cuplikan ketimpangan pendidikan di negeri ini. Bagi yang mampu Pendidikan dapat di beli, jika mereka Cerdas dan bisa bersaing maka berbagai beasiswa akan menanti mereka, jika mereka lemah dan kurang mampu masih untung dapat bersekolah seperti di SDN gadel II  tandes, Surabaya, tapi bagi mereka yang kurang beruntung pendidikan seperti pungguk merindukan bulan.  Bilangan Guru perintis yang bisa berada di pelosok negeri sangatlah kurang entah karena kurangnya informasi atau dukungan untuk mereka namun yang jelas di pelosok negeri ini dari sabang sampai merauke terutama di daerah terpencil selalu kita menemukan anak anak yang berjalan berkilo kilo, menyeberangi sungai,lembah,desa untuk bisa bersekolah,  sekalipun kadang guru mereka adalah tentara yang kebetulan bertugas di dekat sekolah itu ataupun relawan yang memiliki keterbatasan waktu. Di Jantung Negara tepatnya di Ibukota, Pendidikan hanya bagi kalangan yang mampu, bagi mereka yang tidak mampu cukup melihat saja. Memang ada berbagai program di rancang untuk membuat kalangan tidak mampu bersekolah, namun sampai saat ini tetap saja biaya pendidikan yang mahal tidak dapat disembunyikan dan mengubur mimpi anak anak usia sekolah dari golongan tidak mampu, hanya segelintir yang bisa mengecap kesempatan emas bangku sekolah. Kompleksitas permasalahan dalam dunia pendidikan membuat banyak pembatasan baik bagi para insan pendidik maupun anak didik, mahalnya infrastruktur, kurikulum yang padat, peraturan pendidikan yang tidak stabil membuat carut marut yang berakibat pada output yang di hasilkan oleh dunia pendidikan. di pulau termoderen djawa bisa kita lihat contoh tersebut , bayangkan ada sekolah yang bisa melarang muridnya menghormati bendera negaranya sendiri,  ada guru yang meminta muridnya solider menolong temannya dengan berbagi contekan di ujian akhir, tawuran sebagai seni bela diri antar sekolah, demonstrasi sebagai ganti kecerdasan intelektual .  di pulau  pulau lain di luar djawa ada sekolah yang tidak ada gurunya, ada sekolah yang  roboh bertahun tahun tanpa sempat di perbaiki, ada murid yang tidak tahu apa itu bendera negara, Ada guru yang sibuk mengojek untuk menghidupi  anak istrinya, ada Honorer yang tidak pernah di angkat. Benar negeri sedang membangun, namun apa yang sebenarnya di bangun? tidak ada kata "seharusnya" dalam tulisan ini, karena kamipun tengah membangun,  Lengan baju kami kami gulung, demi masa depan bangsa, ketika kami bermimpi seperti dalam kisah negeri 5 menara, kami menarik garis finis di depan kami jauh di luar batas kemampuan kami, kami hanya berharap tongkat estafet kami bisa di teruskan pada generasi berikutnya...sebagaimana Boedi Oetomo berdiri kami ingin melihat bangsa yang gemah rimah loh jinawi, dengan ing karso si tulodo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun