"Ateuh" begitulah aku memanggilnya. Kami hanya terpaut 6 tahun. Ateuh yang mengajariku banyak hal tentang kepribadian, cara bersikap, dan bagaimana seharusnya seseorang hidup.
Ateuhku terlihat biasa-biasa saja di mata orang, tapi bagiku Ateuh spesial, bahkan sangat spesial. Kalau Allah tidak mengirim Ateuh ke dalam hidupku, aku mungkin tidak akan pernah mampu berada di posisi ini. Ateuh dan aku cukup banyak mengalami penderitaan, baik internal maupun external, tapi Ateuh selalu mengajariku untuk "KUAT" dan yakin bahwa Allah adalah sebaik-baik penolong kita.
Ateuhku merupakan alumni SMAN 1 Cibungbulang 2013. Secara realistis, sekolah kabupaten muda saat itu cukup sulit untuk tembus SNMPTN ke PTN Terbaik di Indonesia, tapi qadarullah, Allah memudahkan segalanya. Lagi dan lagi, Ateuh terus mengingatkan aku tentang kebaikan-kebaikan Allah. Itu adalah inspirasi utama yang aku dapatkan di masa remajaku.
Awal bermula, aku sangat berharap mampu seperti Ateuh. Bisa berkuliah di tempat yang sama dan Ateuh pun merekomendasikanku untuk bersekolah di tempat yang berpeluang lebih besar lolos SNMPTN maupun SBMPTN. Ateuh menyuruhku untuk bersekolah di SMAN 1 Leuwiliang. Kala itu, aku pun bercita-cita, melebihi impiannya dan menjadi seorang Dokter.
PERJUANGAN DI SMA
Di SMA, aku masuk kelas MIPA, aku pun melalui hari-hari yang beragam. Di kelas, nilai eksakku alhamdulillah baik. Aku bahkan ingin sekali bisa ikut olimpiade matematika, tetapi sayangnya posisi itu sudah ditempati temanku. Ya, dia memang layak terpilih. Akan tetapi, aku pun berusaha untuk menggali potensiku yang lain: Ilmu sosial, seni, dan BAHASA. Potensi yang sering diremehkan nyaris setiap orang.
Aku ingin menjadi berbeda. Semenjak kelas X, aku sering menghabiskan waktu di perpustakaan. Aku pun menemukan inspirasi besar dari sebuah buku motivasi, "Aku Akan Menggeser Gunung", karya Rahmi Khalida dari SMAN 10 Padang, pemenang lomba Penulisan CERIS 2009 Kemenag RI. Sejak saat itu, aku mulai menemukan tujuanku. Aku menyadari siapa diriku dan apa yang menjadi kebutuhanku. Maka aku pun berpindah haluan. Aku tidak akan menjadi dokter.
Aku ingin menjadi seorang guru, diplomat, atau duta besar, dan aku ingin berkuliah di Luar Negeri. Aku pun mengasah kemampuanku dalam ilmu sosial dan bahasa. Sampai-sampai aku, alhamdulillah, berhasil mendapatkan beasiswa kursus bahasa Inggris.
Aku berguru pada seorang penulis buku modul bahasa Inggris Nasional, Coach Arjuna Pirmansyah (Bro/ Coach Pirman), dan di sanalah aku memulai langkahku menjadi seorang penulis, hingga mampu menerbitkan lebih dari 10 buku. Aku belajar banyak hal dari guru bahasaku, yang mana mereka benar-benar merupakan penulis idealis, cerdas, kritis, dan humanis, yang buku-buku serta publikasinya sudah diakui secara nasional. Bukan hanya Coach Pirman, tetapi juga Dina Sensei-ku di sekolah.
Selama di SMA, aku aktif mengikuti sekaligus memenangkan berbagai perlombaan meskipun tanpa dukungan sekolah dan hanya beberapa perlombaan saja yang mana aku memang memerlukan bantuan sekolah, seperti pernah sekali, aku mengikuti perlombaan duta bahasa pelajar jawa barat 2018 dan aku memenangkan juara tingkat provinsi.
Namun, suatu hari, pencapaianku dalam bidang ilmu bahasa dan sosial pun mulai mendatangkan polemik. Mengapa demikian? Itu karena terjadinya sukuisme jurusan (majorisme), baik di kalangan guru maupun para siswa. Mereka heran, kenapa siswa MIPA bisa jadi Dubas? Kamu salah jurusan? Aku jawab, itu adalah hakku ingin menjadi apa.