Guru, dalam pepatah jawa "digugu dan ditiru".  Mari kita analisis satu demi satu! Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Gugu adalah mempercayai. Di sekolah, guru dipercayai oleh pihak pengelola sekolah dan orang tua siswa untuk mendidik siswa. Karena sudah dipercaya oleh dua kelompok, pengelola  pendidikan dan yang punya pengenyam pendidikan, seorang guru harus benar-benar menjalankan amanah tersebut.
      "Tiru". Kata tersebut dalam KBBI, mencontoh sesuatu yang sudah ada. Seorang guru dalam tatanan sekolah tidak hanya dipercaya, melainkan juga untuk dicontoh. Artinya guru dituntut oleh pepatah jawa di atas untuk selalu berbuat baik agar  bisa menjadi teladan bagi anak didiknya. Sehingga anak didik juga bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh gurunya.
      Dua kata di bait pertama tadi di era sekarang sudah berubah. Dari "digugu dan ditiru" menjadi "diguyu dan ditinggal turu." Arti dua kata tersebut jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, "ditertawakan dan ditinggal tidur". Miris sekali nasib guru jika hanya menjadi bahan tertawaan, dan jika sudah puas ngakak, kemudian ditinggal tidur.
      Seorang guru yang mengidap nasib di atas dikarenakan tidak menjalankan kode etik keguruannya. Novan Ardy Wiyani mengatakan dalam bukunya, Etika Profesi Keguruan (2015), seorang guru harus mengetahui dan menjalankan kewajiban-kewajibannya dalam pengajaran di sekolah.
      Kewajiban seorang guru ada dua :Pertama, kewajiban secara umum dan kewajiban secara khusus. Namun, pemaparan kali ini akan menjelaskan kewajiban secara umum saja, karena akan membahas tentang sumpah guru yang sangat vital dalam pegajaran.
      Sumpah guru poin ke empat "melaksanakan tugas saya serta bertanggung jawab yang tinggi dengan mengutamakan kepentingan peserta didik, masyarakat, banga, dan negara serta kemanusiaan". Sumpah tersebut jika diimplementasikan dengan baik tidak akan menghapus istilah guru (diguyu dan ditinggal turu).
      Dalam ayat tersebut, seorang guru harus memprioritaskan kepentingan siswanya. Kebanyakan siswa yang tidak serius dalam mengikuti pelajaran karena ke-egoisan seorang guru. Semisal, cara mengajar seorang guru disampaikan dengan memusatkan kepada dirinya.
      Artinya hanya seorang guru yang berbicara dalam kelas, tidak ada yang siswa yang diperbolehkan berbicara untuk menyampaikan argumen, pertanyaan atau pendapatnya. Akan lebih membosankan lagi ketika seorang guru setelah menjelaskan akan menyuguhi siswanya tugas, tanpa mengetahui apakah anak didiknya sudah mengerti atau belum materi yang sudah disampaikan.
      Guru idaman bukan seperti yang dijelaskan di atas dengan metode menoton dan sangat membosankan.Thomas Liccona (2012), mengatakan bahwa, dalam mengajar harus mempunya erat hubungan, bukan hanya mengenal sepintas saja. Dalam sebuah hubungan dua orang saja, untuk menciptakan keharmonisan harus ada rasa saling pengertian.
      Seorang guru yang mengerti karakter siswanya akan senantiasa terjalin hubungan harmonis layaknya hubungan percintaan dua insan. Sebenarnya tidak seriusnya siswa kepada guru "diguyu dan ditinggal turu" dalam sebuah jam pelajaran acap kali didasari kejengkelan karena ketidakpengertian seorang guru. Bagaimana guru bisa mengerti keadaan siswanya?
      Setiap sekolah di Indonesia mempunyai mekanisme tersendiri dalam melakukan rekruitment tenaga pengajar baru. Pernyaratan juga bermacam-macam. Umumnya syarat penerimaan tenaga pengajar tersebut, harus lulus sarjana strata satu di bidang tertentu.
      Pengalaman penulis dengan berselancar di Google, mencari lowongan kerja profesi guru, tidak ada pembacaan sumpah sebelum seorang calon guru resmi dinyatakan mengajar dalam suatu sekolah. Begitupun dengan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), tidak ada kata penyumpahan guru. Lantas kapan sumpah profesi guru dibaca?  Jangan-jangan, sumpah yang diputuskan oleh kongres Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) hanya sebagai pajangan.
      Jikalau memang ada pembacaan sumpah disaat PLPG, pasti diberitakan. Perlu ditegaskan lagi bahwa memudarknya istilah guru (digugu dan ditiru) kemudian menjadi guru (diguyu dan ditinggal turu) disebabkan guru yang tidak menjalankan  kode etik seorang guru, sumpah guru, dalam keputusan kogres XXI PGRI.
      Untuk membuat guru lebih mengerti dan lebih paham tentang keadaan siswa dalam sebuah sekolah baik swasta ataupun negeri, harus ada pelatihan calon guru bagi yang mendaftarkan diri terhadap sebuah lembaga sekolah dan lulus seleksi. Dalam pelatihan tersebut perlu diajarkan tentang kode etik seorang guru dan pembacaan sumpah  profesi guru. Dengan adanya pelatihan setelah proses penerimaan guru baru di sebuah sekolah, penulis berharap akan tercetaknya guru profesional dan mencetak siswa yang berkarakter. Guru prosesional, siswa berproses secara final, Selamat hari Guru Nasional 25 November 2018!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H