Mohon tunggu...
Muhammad Bagir
Muhammad Bagir Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Mau nulis.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Hari Kelima: Mengeliling Cappadocia

5 September 2021   20:30 Diperbarui: 5 September 2021   20:48 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Three Beauties/Dok.Pribadi

Pagi menyambut kami dengan hawa dingin yang menyelimuti tubuh. Sepertinya belum ada yang mandi. Maklum, kami khawatir telat ketinggalan untuk terbang di balon udara. Suasana hotel juga amat sepi, bak rumah hantu yang sudah tua. Seingatku, tak ada resepsionis hotel yang kelihatan. Mungkin mereka sedang tidur, karena hampir pasti tiada seorang pun yang akan memesan kamar di pagi hari.

Kami duduk di sebuah ruang tamu khusus para tamu hotel, sembari bercakap sesekali demi memecah keheningan. Sekitar 20 menit kemudian, Ryan datang dan mengabarkan bahwa tim ahli tak mengizinkan balon udara terbang mengangkasa. Berdasarkan hasil perhitungan, dikatakan jika pergerakan angin tidak sesuai yang diharapkan. 

Secara pribadi, saya tak kecewa. Saya rasa disebabkan keinginan untuk terbang di balon udara yang biasa-biasa saja. Kalau bisa alhamdulillah. Kalau enggak, apa atau siapa yang harus dikesali? Selain itu, saya juga sangat ngantuk. Bahkan, batalnya menaiki balon udara justru membuat saya senang karena dapat tidur kembali.

Sekitar jam 8 pagi, saya harus bangun kembali. Bersama yang lainnya, kami akan pergi ke Greme National Park atau Taman Nasional Greme. Tempat wisata itu merupakan sebuah taman nasional di Turki Tengah, tepatnya di Provinsi Nevehir. 

Pada tahun 1985, UNESCO memasukkan tempat tersebut menjadi Situs Warisan Dunia dengan nama Greme National Park and the Rock Sites of Cappadocia atau Taman Nasional Greme dan Situs Batu Cappadocia. 

Jika digambarkan, situs itu memiliki lanskap berbatu yang terkikis air dan angin, serta mempunyai jaringan pemukiman bawah tanah yang saling berhubungan. Pada masanya, orang-orang memanfaatkan batu lunak untuk dilubangi sehingga dapat dijadikan sebagai tempat tinggal di bawah tanah. 

Dalam sebuah sumber, disebutkan terdapat aktivitas biara paling awal yang diperkirakan terjadi pada abad ke-4, ketika mereka mulai menggali guna membentuk bilik kecil dan sempit atau tempat perlindungan berbahan batu. Mereka melakukan penggalian dan menciptakan komunitas bawah tanah yang---di antaranya---terdiri dari kapel, ruang penyimpanan, serta tempat tinggal.

Menurut Elissa Carlson dalam Daily Sabah, daerah itu menjadi saksi awal sejarah budaya Anatolia; termasuk peradaban Kristen dan aktivitas monastik (kerahiban) pada abad ke-4. Mereka, orang-orang Kristen awal, melarikan diri dari penganiayaan Romawi dan berbondong-bondong masuk ke gua-gua yang berada di kawasan tersebut. 

Maka tidak heran jika di sana terdapat sejumlah gereja, desa dan kota troglodyte (tempat manusia menghuni gua) yang tersembunyi. Dalam hal ini, saya sepakat dengan pandangan Elissa yang menggambarkan kemegahan struktural di Cappadocia sebagai "komplek gua urban terbesar di dunia yang memamerkan mahakarya dari pikiran cerdas peradaban manusia purba".

Taman Nasional Greme dan Situs Batu Cappadocia juga dijadikan sebagai tuan rumah untuk menampilkan karya seni Bizantium yang terkemuka. Salah satu contoh karya seninya adalah dekorasi di dinding gua batu yang dianggap---pernah---menjadi bagian dari gereja pada eranya. Bagi Elissa, signifikansi sejarah di sana memberi petunjuk tentang kehidupan dan ritual orang-orang yang menetap di antara cerobong berbentuk jamur. 

Istilah lain dari cerobong itu fairy chimney atau hoodoos, yakni menara batu tipis yang menjorok dari dasar sungai kering. Nama tersebut diberikan karena bentuknya menyerupai cerobong peri sebagaimana dalam dongeng-dongeng yang tingginya sekitar 1,5-4,5 meter. Menara itu terdiri dari dua bagian, yaitu soft rock di bagian bawah dan jenis batu yang lebih keras di puncaknya. Menariknya, area fairy chimney dapat dieksplor dengan menaiki unta. Sayangnya, kami tak melakukannya.

Meski telah menjelaskan tentang apa yang ada di Taman Nasional Greme dan Situs Batu Cappadocia, bukan berarti saya telah berada di sana secara langsung. Perjalanan wisata kami hanya di pinggir jalan, lalu melihat beberapa hoodoos yang dijadikan tempat foto-foto oleh para wisatawan. Kurang lebih sebagaimana kami melihat deretan fairy chimney dari dalam bus sebelum sampai melipir ke pinggir jalan. Bagaimanapun, pemandangan yang saya lihat tetap menakjubkan. Mungkin disebabkan saya tak pernah melihat hal seperti itu di Indonesia. 

Di seberang jalan tempat kami mengambil gambar, terdapat para pedagang yang berjualan berbagai macam pernak-pernik. Juga, ada kios jeruk murni dan kios es krim. Karena hawa panas begitu terasa, saya membeli kedua jajanan tersebut. Sebenarnya, saya diberikan es krim, bukan beli sendiri. 

Namun, saya menduga bahwa hal itu dilakukan karena ketika membeli jeruk murni, seorang wanita yang menjadi penjual memberikan harga sebesar 20 lira (mata uang Turki) atau sekitar 40 ribu rupiah. Saya rasa seharusnya tak semahal itu. Namun, karena saya wisatawan asing, harga jualnya dinaikkan. 

Secara cepat, seorang laki-laki yang menjual es krim segera memberikan barang dagangan cuma-cuma. Barangkali dia menyadari kalau temannya sengaja menaikkan harga jual jus murni dengan pertimbangan tertentu. Tapi, saya ingin mengingatkan bahwa terkaan yang telah dipaparkan berangkat dari prasangka buruk. Jadi, semoga bukan seperti yang saya duga.

"Three Beauties"

Bus kembali jalan seperti biasanya. Kami pergi ke tempat wisata selanjutnya. Daerah yang kami kunjungi masih berada di kawasan Cappadocia. Ya, memang pada hari itu  selama seharian kami akan mengeliling kota bersejarah tersebut. Berbagai pemandangan yang terlihat masih berupa fairy chimney, dengan tanah gersang serta beragam tanaman warna-warni. Atau, tumpukan-tumpukan batu yang tercipta melalui hasil kreasi alam semesta. Di antara semua cerobong peri yang ada, rupanya terdapat satu hoodos unik dan berbeda dari lainnya. Namanya adalah "Three Beauties".

Cerobong "Three Beauties" dinyatakan sebagai salah satu simbol Cappadocia yang menawarkan pemandangan menakjubkan kepada para tamunya. Julukan itu diberikan  objek tersebut terdiri dari tiga cerobong peri yang berdekatan. Sehingga, dimaknai sebagai ayah, ibu dan anak. Kami melihat "Three Beauties" saat sampai di distrik rgp, provinsi Nevehir, Anatolia Tengah. 

Banyak wisatawan yang berkumpul di sana. Ada yang merenung sembari melihat kejauhan. Ada yang melihat berbagai pemandangan di sekitar sana dengan teropong besar yang berbayar. Ada yang sekedar berbelanja di pasar murah dekat. Alhasil, semua turis terlihat sedang menikmati hidup dengan cara mereka masing-masing.

Three Beauties/Dok.Pribadi
Three Beauties/Dok.Pribadi

Di area wisata itu, pemerintahan setempat menyediakan berbagai dekorasi untuk penggemar fotografi. Tempatnya cukup luas, sederhana, dan cukup artistik. Seperti adanya replika balon udara yang berukuran sedang. 

Atau sekumpulan kuda yang ditaruh di sekitar lokasi. Hal tersebut dilakukan seiring peningkatan penggunaan media sosial, sehingga dapat membangkitkan minat para pelancong dari seluruh penjuru dunia mendatangi lokasi "Three Beauties". Dengan kata lain, foto-foto yang tersebar di dunia virtual akan memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan pariwisata Turki.

Setelah selesai mengunjungi tempat wisata tersebut, kami menuju sebuah restoran yang berada di dalam gua. Bagi saya, pengalaman itu sangat menarik. Suasana berbeda kami nikmati sembari mencicipi hidangan khas Turki yang tak lagi terasa hambar. Di sebelah rumah makan, secara langsung berpapasan dengan deretan hoodoos yang tampak memiliki penghuni. 

Dalam sebuah sumber, dinyatakan masih terdapat penduduk yang tinggal tidak jauh di bawah tanah seperti di masa lalu. Beberapa gua yang ada dimodifikasi menjadi rumah, dan kami dapat melihatnya langsung dari sebelah restoran. Jika dibayangkan, mungkin serupa dengan tempat tinggal para Hobbit di dalam film The Lord of The Rings.

Kami tak berlama-lama berada di sana, karena selanjutnya akan pergi ke sebuah kawasan pemukiman kelas menengah di kota Istanbul atau di sisi kota Eropa. Namanya Bahelievler, yang dalam bahasa Turki berarti "rumah dengan taman". Maklum, ada banyak ruang hijau di kawasan itu. Kami mendatangi salah satu taman sembari menikmati langit sore yang masih cerah. Ada banyak anak muda yang saya duga merupakan para mahasiswa dari kampus setempat. 

Sepertinya banyak dari mereka berasal dari Turki, sedangkan hanya sedikit pelajar dari luar negeri. Selain itu, terdapat pula beberapa keluarga yang berkumpul untuk mengisi waktunya. Di antara kegiatan yang dilakukan para pengunjung adalah menaiki kapal kecil guna mengelilingi danau, duduk-duduk di taman, dan jalan-jalan di jembatan penyebrangan. 

Jembatan Penyebarangan di salah satu taman Bahelievler/Dok.Pribadi
Jembatan Penyebarangan di salah satu taman Bahelievler/Dok.Pribadi

Langit kian lama semakin meredup. Sebagian anggota keluarga juga sudah tampak sangat lelah. Maklum, kegiatan yang kami lakukan pada hari itu begitu padat. Walakin, saya masih bersemangat menyusuri sudut-sudut kota Turki yang menyimpan kenyataan lebih nyata. Sehingga, saya dapat menilai Turki lebih jujur. 

Dalam hal ini, saya tak menyalahkan pihak pariwisata yang memang memberikan tempat-tempat terbaik di berbagai negara. Tetapi, saya merasa perlu kembali lagi ke Turki sendirian saja, tanpa keluarga maupun pemandu wisata. Dengan itu, realitas baru tentang negara tersebut dapat saya peroleh sebagaimana adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun