Saat di dalam bus, ayah saya memberitahu bahwa ketika mendatangi karavanserai di Sultanhani, dia melihat area tersebut secara keseluruhan. Meski tak masuk ke bagian dalam, namun bersama beberapa anggota keluarga lainnya, dia mengelilingi tempat itu yang rupanya cukup lebar.Â
Sebagaimana terlihat dari jauh, bagian samping dari pintu masuk karavanserai adalah taman. Pada bagian belakang, dikatakan oleh ayah saya, ada dua unta yang terkurung dalam kandang. Mungkin pada masanya, keberadaan unta dan hewan yang dapat ditunggangi lainnya, "diparkir" di belakang karavanserai. Saya cukup iri sewaktu memandangi foto beberapa anggota keluarga bersama unta. Bukan karena ingin foto bersama, tetapi merasa perlu memandangi secara langsung unta yang berada di sana. Oleh sebabnya, saya bertekad agar tak ketinggalan dalam menjalani pengalaman di Saratli Underground City atau Kota Bawah Tanah Saratli.
Kota tersebut telah ada sejak era Bizantium. Kegunaannya untuk melindungi penduduk setempat jika terjadi peperangan, seperti Perang Salib dan kejaran musuh manapun. Jihan mengatakan bahwa dinding dan atap kota itu berasal dari batu vulkanik. Sehingga, ketika musim dingin, maka hawa di dalam kawasan Saratli terasa panas atau hangat; begitupun sebaliknya.
Menurut sumber yang diperoleh dari Jurnalis Jawa Pos, Man Nahnu, Cappadocia memiliki 200 lebih kota bawah tanah Saratli. Tidak heran jika---akhirnya- mampu menampung 25 ribu orang yang berniat bersembunyi dari kecamuk perang. Di dalam kota tersebut juga terdapat puluhan kamar yang memiliki fungsinya masing-masing. Seperti untuk gudang penyimpanan anggur, gudang umum, tempat istirahat, dapur, kamar mandi, dan sumur. Semua kamar dihubungkan oleh sistem ventilasi yang khas.Â
Berdasarkan ujaran Jihan, sebelum masuk ke kota itu, maka perlu persiapan makanan dan minuman terlebih dahulu. Jika perang telah selesai, maka penduduk setempat yang tinggal di dalam kota bawah tanah Saratli akan keluar menuju rumahnya masing-masing. Menariknya, hampir setiap rumah memiliki terowongan yang tersambung ke dalam kota. Atau bisa pula melalui pintu masuk terdekat dari desanya. Sarana tersebut yang memudahkan untuk proses evakuasi jika terjadi pertempuran.
Sebenarnya, saya menganggap kota bawah tanah Saratli semacam gua persembunyian. Anggapan itu---mungkin- muncul karena saya tak memiliki konsep mengenai kota bawah tanah. Gambaran di kepala hanyalah gua, yang sekiranya bisa disesuaikan dengan tempat tersebut. Setelah saya masuk dan mendengar penjelasan dari Jihan, barulah muncul pengetahuan baru tentang kota bawah tanah yang terasa begitu mencekam. Lorongnya bercabang-cabang, kecil, dan sempit.Â
Merujuk deksripsi Man Nahnu yang sangat menakjubkan, dikatakan bahwa pada masanya, terdapat banyak lampu di cerukan dinding-dinding lorong. Lampu tersebut dinyalakan dengan minyak zaitun. Ketika ada musuh mengejar sampai ke dalam kota bawah tanah, para pengungsi akan segera mematikan semua lampu yang menempel di dinding lorong. Sehingga, musuh kesulitan untuk mengetahui pergerakan penduduk di dalam kota bawah tanah.
Sepanjang saya menyusuri kota bawah tanah Saratli, tak terasa pengalaman khusus yang menggetarkan jiwa. Mungkin disebabkan kesibukan saya yang merekam sekaligus mendengarkan penjelasan Jihan. Saya cemburu dengan pengalaman Man Nahnu ketika berusaha menjelaskan apa yang dia rasakan.Â
Dia menulis: "Tak terasa hampir satu jam saya menyusuri rumah-rumah di kota bawah tanah. Merasakan sensasi tinggal di dalamnya. Hidup berdesak-desakan dalam rumah bawah tanah. Mencoba merasakan ketakutan yang dialami penghuninya 2500 tahun silam. Perasaan itu terbawa sampai menjelang pintu keluar. Begitu menghirup udara bebas lagi, tak terlihat peperangan atau musuh yang sedang mengintai. Saya hanya melihat toko kelontong yang menjual berbagai suvenir khas Kapadokya (Cappadocia)."
Ketika memasuki pintu keluar, saya juga melihat banyak para penjaja yang menawarkan cenderamata khas Cappadocia. Hampir semua penjual adalah ibu-ibu beserta anak-anaknya yang masih kecil. Barang-barang yang mereka jual serupa. Seperti kalung, anting, dan boneka.Â
Saya bisa memastikan bahwa para wisatawan membeli dengan alasan kasihan, karena memang tak ada perbedaan signifikan dari bagaimana cara mereka menawarkan barang, harga produk, dan komoditas apa yang ditawarkan. Mungkin, para pembeli hanya bisa membandingkan manakah penjual yang terlihat paling membutuhkan. Karena gerai mereka berdamping-damping, saya memilih untuk tak membeli barang apapun yang dijual. Saya cenderung khawatir jika akhirnya berbelanja pada lapak tertentu, maka yang lainnya akan iri dan panas hati.
Dengan perasaan sungkan, saya berjalan melalui mereka yang masih meneriakkan harga jual berbagai cenderata mata khas Cappadocia. Tak jauh dari tempat para pedagang yang berjualan secara berdampingan, saya menemukan dua penjaja barang di area depan pintu masuk. Barang yang mereka jual sama sekali tidak berbeda dari yang dijual oleh para penjaja di bagian dalam tempat wisata kota bawah tanah Saratli. Namun, lokasi mereka cukup strategis. Juga, saya tak menyaksikan kompetisi yang memilukan seperti para pengasong di bagian dalam. Oleh sebab itu, saya membeli beberapa barang dari dua tempat dagangan yang berdampingan tersebut.
Sejujurnya, saya tak tertarik untuk berbelanja di mana pun tempatnya. Kecuali, jika benar-benar membutuhkan atau sangat menginginkan barang tertentu. Selain itu, saya juga selalu berusaha untuk membeli barang bukan berdasarkan rasa kasihan. Melainkan ada pertimbangan lain, seperti nilai barang atau alasan yang lebih pantas.Â
Saat saya memutuskan untuk membeli dagangan dari para pengasong di bagian depan, tak lain disebabkan barang yang dijual dan bagaimana cara membuatnya. Saya membeli boneka, kalung, dan gelang. Semua produk tersebut dibuat secara mandiri, yakni dibuat langsung oleh tangan mereka masing-masing. Sungguh, saya melihat keindahan yang sederhana---beserta kekurangannya- dari hasil produk buah tangan mereka.
Salah satu yang paling saya senangi adalah boneka-boneka khas Cappadocia (Cappadocia Dolls). Ada juga tipe cukup terkenal dari boneka itu, yang disebut Cappadocia Babies. Alhasil, boneka tersebut berhasil menarik hati saya dengan caranya sendiri. Menurut sebuah sumber, boneka tersebut mencerminkan budaya berpakaian daerah setempat. Juga melambangkan orang-orang, kehidupan, dan kultur daerah. Boneka Cappadocia juga dimanfaatkan untuk mentransfer budaya folkor pada generasi mendatang. Serta digunakan untuk pertukaran budaya skala internasional.
Sejak tahun 1960, boneka itu dibuat oleh seorang wanita bernama Hanife Hanm dari Nevehir, desa Soganl. Dia merakit boneka tersebut dengan kain dan ranting pohon untuk diberikan kepada cucunya. Suatu hari, terdapat anak salah seorang turis yang berkunjung ke daerah Hanife, lalu melihat dan menginginkan boneka Cappadocia. Boneka bayi buatan Hanife---akhirnya dibeli oleh si turis.
Kejadian itu mempengaruhi para wanita lainnya di wilayah setempat untuk mengikuti jejak Hanife, membuat boneka bayi. Mereka menilai bahwa wisatawan akan sangat tertarik atas produk lokal hasil kerajinan tangan masyarakat Turki. Seiring berjalannya waktu, penjualan menyebar ke seluruh wilayah Cappadocia yang notabene sebagai salah satu daerah dari provinsi Nevehir. Lalu, pada tahun 1991, sebuah koperasi didirikan di desa Soganl. Semenjak itulah hampir setiap keluarga mulai memproduksi boneka kain tersebut.
Kini, boneka tersebut merupakan simbol khas Cappadocia. Tak heran jika penjualan boneka menjadi salah satu sumber penghasilan yang berharga. Dalam bahasa lain, menjelma sebagai lini bisnis penting yang juga bernilai kultural. Sehingga, menjadi mata pencaharian---khususnya- bagi para perempuan setempat. Beberapa keluarga juga telah mendaftar untuk berprofesi sebagai produsen boneka ke institusi terkait di Turki guna memperoleh sertifikat pendaftaran merek.
Wajah sang penjual tempat saya membeli boneka masih cukup jelas teringat dalam kepala. Dia adalah seorang ibu yang terlihat berumur 40an, bersama dua anaknya yang masih kecil. Anak perempuannya giat meneriakkan harga jual barang tertentu. Sementara yang laki-laki terlihat lebih kalem dan santai. Beberapa anggota keluarga saya juga ikut membeli barang dari para penjaja yang ada di bagian depan. Sebelah lapak wanita yang bersama dua anaknya, penjualnya adalah seorang wanita tua. Dia juga membuka lapak dengan menjual barang-barang yang sama. Saya membeli darinya beberapa kalung dan gelang. Tak lama dari situ, kami segera masuk bus untuk menuju tempat peristirahatan.
Dalam perjalanan menuju hotel, Ryan menginformasikan bagi siapa saja yang ingin menaiki balon udara pada pagi esok hari, dapat mendaftarkan diri secepatnya. Setelah berdiskusi, semua saudara kandung saya dan Hanif memilih ikut serta dalam sebuah pengalaman yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Ryan mengatakan kepada kami agar bangun pukul 4.30 pagi waktu setempat. Dia juga menjelaskan terkait penerbangan balon udara yang bisa jadi tak terealisasi disebabkan pengaruh angin dan kondisi cuaca.Â
Dengan lebih detail, diceritakan bahwa proses perizinan dibolehkannya balon udara terbang tidak sembarang. Ada tim ahli yang membaca keadaan geografis dengan hitungan ilmiah. Penilaian akan dilakukan pada besok pagi, tepatnya beberapa jam sebelum balon udara diizinkan terbang. Meski demikian, Ryan tetap mengingatkan supaya kami sudah siap di lobi hotel pasca waktu subuh esok hari terlewati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H