Mohon tunggu...
Muhammad Bagir
Muhammad Bagir Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Mau nulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kurir Shopee Express, Upah Murah, dan Berbagai Hak Pekerja yang "Sengaja" Diabaikan

1 Mei 2021   14:31 Diperbarui: 1 Mei 2021   14:38 2290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mulai tertarik untuk mendalami pelbagai isu pekerja. Penjelasan dari Noam Chomsky dalam karya How the World Works telah membuka mata saya. Dapat dikatakan sebagian besar analisa Chomsky di buku itu berkaitan dengan persoalan pekerja di berbagai wilayah dunia. Pada mulanya, saya tak terlalu berminat untuk membaca ulasannya secara serius. Sebab, sejak dari kampus saya memang tak memiliki gairah guna bergelut dengan isu-isu pekerja dan berbagai irisannya. Namun, Chomsky cukup berhasil membantu saya menaruh perhatian terhadap isu yang sengaja dikesampingkan tersebut. Khususnya saat dia mengatakan bahwa keberadaan serikat pekerja sangat dibutuhkan di tengah tekanan dari institusi korporasi.

Tak berselang lama setelah membaca secara cepat karya Chomsky tersebut, terjadi perbincangan heboh di media sosial yang berkaitan dengan isu pekerja. Mulanya, terdapat utas (thread) dari akun Twitter @arifnovianto atau Arif Novianto -seorang peneliti dari Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) Universitas Gajah Mada- terkait pemogokan kerja yang dilakukan para kurir Shopee Express (SPX) selama beberapa hari. Aksi mogok itu ditenggarai karena ada pemangkasan upah dari Shopee. Bagi yang belum mengetahui, Shopee merupakan situs e-commerce aplikasi kegiatan berbelanja online yang berkantor pusat di Singapura. Lokapasar itu memiliki Shopee Express, yakni jasa khusus untuk penjual atau pembeli yang ingin melakukan pengiriman barang di e-commerce tersebut. Nah, Arif menceritakan bahwa sekitar 1.000 kurir layanan SPX yang mogok kerja disebabkan besarnya beban kerja akibat tak memperoleh upah layak dan jaminan kerja lainnya. Sehingga, mayoritas dari mereka memilih mengundurkan diri.

Isu pemangkasan upah dibenarkan oleh seseorang berinisial N yang menjadi kurir SPX. Sebagaimana yang dipaparkan oleh jurnalis Ira Gita Natalia dalam kompas.com, N mengatakan dirinya telah menjadi kurir SPX selama enam bulan. Dia membenarkan bahwa upah yang diterimanya untuk mengirim satu paket terus menurun secara berkala. Awalnya, dia menerima upah Rp 3.500 per paket. Kemudian, upah itu turun lagi ke harga Rp 2.500 per paket hingga merosot ke angka Rp 1.900 per paket. 

Persoalan kecilnya upah diperberat dengan penambahan jumlah paket yang wajib diantar demi memperoleh insentif atau penghasilan tambahan. Saat upah Rp 3.500 per paket, insentif diberikan Rp 45.000 jika N telah mengantar minimal 15 paket. Lalu, insentif menurun di angka Rp 40.000 dengan minimal membawa 30 paket per harga satu paket Rp 2.500. Penghasilan tambahan itu semakin berkurang saat ada perubahan kebijakan yang berlaku sejak 1 April 2021. Yakni menjadi Rp 40.000 dengan minimal membawa 35 paket per harga satu paket Rp 1.900. Bagi N yang tak bisa berbuat apa-apa, pekerjaan itu tetap diambil demi menghidupi keluarga.

Penjelasan Arif senada dengan cerita yang disampaikan oleh N selaku kurir SPX. Dia menyatakan bahwa kurir SPX dapat memperoleh upah Rp 5.000 per paket. Lama-kelamaan semakin menyusut menjadi Rp 3.500 per paket, dan terjun bebas di angka Rp 1.500 per paket pada awal April. Selain itu, Arif juga mempermasalahkan durasi kerja yang sangat panjang. Misalnya pada periode promo Shopee, kurir harus mengirimkan 125 paket per hari yang memakan waktu 14 jam. Jurnalis Kompas Wahyunanda Kusuma menjelaskan cukup detail terkait persoalan tersebut. Berdasarkan kutipan dari Arif, dikatakan bahwa SPX memberlakukan sistem shift atau pola kerja regu waktu dan target pengiriman paket layaknya karyawan biasa. Padahal, status yang disematkan kepada kurir SPX adalah mitra. Oleh sebab itu, Arif merasa perlu menyorot tentang sistem "kemitraan".

Baginya, kemitraan hanya label untuk menutupi hubungan kerja buruh-pengusaha. Termasuk juga upaya menghindari membayar Upah Minimum Regional (UMR), jaminan sosial, upah lembur, hak libur, pesangon, tempat kerja aman, menyediakan alat kerja, dan lainnya. Sebagaimana yang tertera dalam UU No 20 tahun 2008 tentang UMKM, kemitraan yang ideal wajib menerapkan prinsip setara dan adil. Juga saling membutuhkan, mempercayai, dan menguntungkan sehingga tak ada pihak yang berupaya menguasai pihak lain. 

Seorang mahasiswa Ph.D di Ilmu Politik Northwestern University, Aulia Nastiti, mengungkapkan hal yang serupa di The Conversation. Dia meneliti sistem kemitraan di Indonesia Mengenai ojek online di Uber, Gojek, dan Grab. Dalam penelitiannya, disebutkan bahwa hubungan kemitraan yang terjadi pada 'mitra' ojek online mengalami relasi eksploitatif. Lebih lanjut, Aulia menganggap mereka diperlakukan semacam buruh informal dengan perlindungan kerja yang minim atau bahkan tak ada sama sekali.

Peneliti dari Universitas Indonesia, Diatyka Widya Permata Yasih, juga menyatakan kritik yang sama terhadap sistem kemitraan dalam layanan transportasi online. Dia mengatakan banyak sekali dampak buruk terhadap para mitra kerja di berbagai e-commerce. Seperti rentan terhadap ketidakpastian pendapatan sehingga meningkatkan stres. Juga cenderung bekerja lebih lama guna memaksimalkan pemasukan mereka, meskipun memiliki waktu kerja yang fleksibel.

Bantahan Sederhana atas Tanggapan Pihak Shopee

Kembali ke persoalan kurir SPX, saya bingung dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Executive Director Shopee Indonesia Handhika Jahja. Dia menyatakan bahwa upah yang diberikan kepada para mitra kerja mereka cukup "kompetitif di industri jasa logistik". Sebagaimana yang dicatat Jurnalis tirto.id Alfian Putra Abdi, Handhika mengatakan mitra pengemudi SPX di wilayah Jabodetabek bisa mendapatkan insentif rata-rata Rp 2.213 untuk setiap paket jika telah membawa 80 paket dalam sehari. Menurutnya, hal itu lebih baik dibandingkan dengan upah pasaran yang berkisar Rp 1.700 hingga Rp 2.000. Dia lebih lanjut mengklaim Shopee sudah juga menyediakan perlindungan asuransi demi mendukung terciptanya lingkungan kerja yang aman serta produktif.

Handhika juga membantah Shopee telah mempekerjakan para mitra layaknya karyawan biasa, seperti memberikan aturan sistem shift dan target pengiriman paket. Dia menjelaskan bahwa para pengemudi SPX memiliki kebebasan untuk memilih hari operasional kerja mereka. Seandainya terjadi keterlambatan pengiriman paket, dikatakan hanya terjadi saat kampanye 4.4 Mega Shopping Day akibat antuasisme pengguna yang tinggi. Dalam arti, bukan karena "kurir harus mengirimkan 125 paket per hari yang memakan waktu 14 jam".

Dengan keterbatasan pengetahuan, saya berusaha menanggapi beberapa klaim yang disampaikan oleh pihak Shopee. Pertama, terkait sangkalan terhadap tuduhan Shopee memberikan insentif murah. Pernyataan para kurir SPX telah diberikan insentif yang cukup "kompetitif di industri jasa logistik" merupakan dalih menggelikan. Argumen tersebut seolah-olah menggambarkan ketidakpedulian Shopee terhadap para kurir SPX. Bagi saya, tak seharusnya sebuah perusahaan menentukan hal tersebut berdasarkan perbandingan tingkat insentif antar industri yang serupa Shopee. Alasan itu tak dapat diterima, mengingat standar dalam menentukan insentif bagi para kurir SPX seharusnya mengutamakan standar penghidupan rakyat yang selayaknya.

Jawaban yang disampaikan oleh Handhika sama saja seperti permisalan: "Kamu harus beruntung masih dipukul oleh atasanmu jika memang itu harus dilakukan. Di perusahaan saingan kita, bawahan mereka bahkan hingga dibunuh." Dalam contoh tersebut sudah tampak jelas, bahwa bukan berarti ketika seorang pekerja dipukul merupakan sebuah kebenaran sikap dari atasan hanya karena perusahaan lain membunuh bawahannya. Saya rasa logika itu wajar digunakan dalam institusi korporasi yang cenderung mementingkan keuntungan dan penguasaan atas pasar.

Adapun pernyataan kedua bahwa pihak Shopee telah menyediakan perlindungan asuransi, saya masih belum menemukan rincian informasinya. Kalaupun pernyataan Handhika benar, aneh rasanya asuransi itu ada sementara para kurir SPX masih menerima insentif rendah atau tetap dalam kondisi lingkungan kerja yang "tak aman" dan "dipaksa produktif" tanpa imbalan setimpal.  Sama halnya ketika Handhika membantah jika Shopee dituduh mempekerjakan para mitra layaknya karyawan biasa. Menurutnya, para kurir SPX memiliki kebebasan (fleksibel) untuk memilih hari operasional kerja mereka. Bagi Chomsky (Chomsky, 2016), fleksibilitas adalah sebuah kata yang dianggap baik. Padahal, fleksibilitas berarti ketidakamanan. Lebih lanjut, profesor tersebut mengatakan: "Itu berarti anda pergi tidur pada malam hari tanpa tahu apakah anda akan memiliki pekerjaan besok pagi." Meskipun banyak ekonom dapat menjelaskan bahwa itu sesuatu yang baik bagi ekonomi, ujar Chomsky, tapi sebenarnya hanya sekedar dalam konteks untuk menciptakan keuntungan. Dalam arti, bukan guna penghidupan rakyat.

Penutup

Apa yang telah saya paparkan merupakan hasil refleksi awal atas nasib sekelompok kecil para pekerja dalam sebuah e-commerce di tengah berbagai perbuatan semena-mena dari pelbagai perusahaan serupa. Saya sangat sadar atas hasil analisa di atas yang masih lemah, dari segi data hingga kedalaman tulisan. Saya juga benar-benar paham bahwa tulisan saya takkan mengubah apapun, seperti mendorong solidaritas antar serikat pekerja sehingga dapat mengajak runding perusahaan Shopee secara manusiawi. Setidaknya, saya merasa beruntung karena telah muncul hasrat untuk memahami isu terkait pekerja dan berbagai irisannya lebih lanjut. Juga berharap, agar suatu saat saya dapat berjuang bersama dengan para pekerja yang tertindas.

Selamat Hari Buruh Internasional,

1 Mei 2021.

TAMBAHAN INFORMASI: 

Pada 30 April 2021, akhirnya riset yang disusun oleh tim Institute of Governance and Public Affair (IGPA) - Universitas Gadjah Mada dipublikasikan dalam bentuk yang lebih sederhana di The Conversation. Riset itu berjudul "Di Bawah Kendali Aplikasi: Dampak Ekonomi Gig terhadap Kelayakan Kerja "Mitra" Industri Transportasi Online". Mereka melakukan wawancara secara mendalam dengan 290 tukang ojek online (Ojek roda dua dan roda empat) di DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Bali pada Juni-Oktober 2020. Mereka menyatakan bahwa hubungan "kemitraan" yang diterapkan perusahaan seperti Gojek, Grab, dan Maxim itu palsu. Penyebabnya terdiri dari empat hal: 1) Semua keputusan penting dalam proses kerja menjadi kewenangan perusahaan platform; 2) Perusahaan mengontrol proses kerja dari ojol; 3) Perusahaan memonopoli akses informasi dan data; 4) Hubungan kemitraan yang dijalankan bertentangan dengan aturan hukum di Indonesia.

Lebih lanjutnya dapat membaca di dalam sumber yang telah dicantumkan.

Referensi Buku:

  • Chomsky, Noam, 2016, How the World Works. Yogyakarta: Bentang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun