Mohon tunggu...
Bagindo Armaidi
Bagindo Armaidi Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemerhati sosial kemasyarakatan

Hidup merupakan perjuangan yang dilalui dengan penuh suka dan duka. Menulis dan membaca bagian dari berbuat kebaikan, jika dijadikan untuk kebaikan diri, kita dan masyarakat tentunya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hari Ibu 22 Desember, Ketika Sang Anak Menggugat Ibu

22 Desember 2024   07:54 Diperbarui: 22 Desember 2024   07:57 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Menggugat Ibu (Kumpulan Surat Untuk Ibu)(Sumber: Foto: armaiditanjung)

Ada yang protes, kenapa judulnya menggugat ibu. Seolah-olah anak, si penulis surat dalam buku ini, melakukan perlawanan kepada ibunya. Seorang anak tidaklah pantas melakukan perlawanan, apalagi menggugat ibunya.

Akan tetapi penulis punya alasan sendiri dengan judul itu.  Menggugat di sini bukan maksudnya anak melakukan perlawanan terhadap ibunya, melainkan menyampaikan keluh kesah, perasaan dan kenangan manis pahitnya bersama ibu. Bahkan ada diantara peserta yang tidak lama merasakan kasih sayang ibunya, karena sudah berpisah ketika masih berusia balita. Ada pula  mengisahkan perlakuan ayah terhadap ibunya yang tidak bertanggung jawab, bahkan ayah kawin tanpa menghiraukan ibunya. Si anak hidup bersama ibu, tanpa kehadiran sosok ayah. Bagaimana tegarnya seorang ibu mengasuh, merawat, mendidik dan dan mengayomi tanpa suami yang ternyata suaminya sudah kawin lagi.

 Seperti yang disampaikan siswa SMK 3 Kepulauan Mentawai Aprida Kristin Sakarebau, perjuangan hidup dengan ibunya. Ibunya tinggalkan begitu saja oleh ayah. Kata ayah, pergi merantau. Ayah pembohong, ternyata kawin lagi. Sehingga sang ibu berjuang dengan keras banting tulang memenuhi kebutuhan hidupnya melawan ombak laut di kepuluan Mentawai. "Yang lebih mengharukan adalah ketidakpedulian sang ayah yang sudah kawin dengan perempuan lain. Meski sang ayah kemudian tinggal tidak jauh dari kampung (rumah), akan tetapi tidak pernah peduli sedikitpun dengan saya," kata Aprida sembari meneteskan air mata.

Dari surat untuk ibu yang ditulis siswa dan guru SMA, SMK dan Madrasah Aliyah ini, ada nada menggugat sang ibu karena tidak bisa menerima perlakuan dari seorang ibu sebagaimana yang diharapkan anak. Seberapa besar pun rasa protes tidak mau menerima perlakuan ibu kepadanya, sang anak ternyata tidak mampu mengutarakanya. Dengan perasaan tertekan, tidak tahu mengadu kemana, sang anak hanya memendam sendiri penderitaan.

Dengan menulis surat untuk ibu ini, ternyata apa yang selama ini tidak diketahui tentang komunikasi dan hubungan antara anak dengan ibunya (termasuk ayah) terkuak. Di hari ibu ini, mari kita sejenak mengirimkan alfatihah untuk ibu, juga ayah, lelaki yang menyebabkan si ibu hamil dan melahirkan kita. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun