Minangkabau merupakan sebuah rumpun etnis yang terpusat di Provinsi Sumatra Barat. Terlepas dari daerah aslinya, orang Minangkabau juga tersebar di-beberapa daerah Indonesia bahkan sampai ke luar NKRI.
Merantau dan Minangkabau adalah dua hal yang cukup unik, dan kerap dua hal tersebut dihubungkan. Tapi memang tidak dapat dipungkiri bagaimana berdiaspora (merantau) telah menjadi tradisi yang hampir selalu dipraktikan laki-laki Minangkabau yang telah beranjak dewasa atau bahkan masih dalam fase remaja.
Akibat dari diasporanya orang Minangkabau tadi, penulis cukup memberi perhatian terhadap bagaimana label orang Padang yang menempel kepada setiap orang Minangkabau yang merantau keluar dari daerah asli Minangkabau. Padahal pada dasarnya orang Padang belum tentu orang Minangkabau dan orang Minangkabau belum tentu orang Padang, kedua hal ini sangatlah berbeda karena Padang merupakan Ibukota Provinsi Sumatra Barat dan Minangkabau merupakan etnis yang berasal dari daerah Sumatra Barat sekarang ini, begitulah kiranya distingsi yang terdapat dari dua hal tersebut.
Namun, bukan hal itu yang akan menjadi topik utama dari tulisan ini, penulis mencoba mengulas tentang "Laki-laki dalam kesengsaraan, adat nan tak beradab", atau saya bisa beri perhatian secara khusus terhadap adat lama dan bagaimana adat itu mengatur laki-laki dalam hampir seluruh aspek kehidupan yang dulu-nya berlaku di Minangkabau. Tulisan ini sangat terinspirasi dari buku " Islam dan Adat Minangkabau" yang terbit tahun 1985.
Laki-laki nampaknya sangat terasing dari kesetaraan, bukanlah sebuah ungkapan yang berlebihan jika kita meninjau dari prespektif gender, adat lama yang dulunya dipakai Minangkabau seolah mengkerdilkan peran laki-laki dalam hampir seluruh aspek kehidupan.
Bagaimana tidak terasing jika laki-laki setelah mampu untuk berjalan sendiri ke Surau akan tinggal di Surau tersebut dan akan meninggalkan Rumah Gadang dalam usia rata-rata 6 tahun.
Di Surau laki-laki Minangkabau tadi akan mempelajari tentang agama dan adat Minangkabau, Surau akan menjadi rumah baru bagi laki-laki dan hanya akan bisa pulang sesekali untuk menjenguk sang ibu. Setelah cukup mampu dan cukup ilmu untuk melakukan pernikahan, laki-laki tersebut akan menikah dengan seorang perempuan pilihan dari mamak sang perempuan tersebut. Pihak perempuan membawa serupa mahar kepada pihak laki-laki, dan akhirnya begitulah dinamakan Orang Jemputan, karena dijemput dengan membawa uang jemputan, sedikit berbeda dengan mahar karena uang ini diberikan ketika pra-nikah. Walaupun praktik Orang jemputan tidak menyeluruh terdapat di daerah Minangkabau akan tetapi hal ini sangat melekat dan lumrah terjadi di alam Minangkabau.
Setelah menikah status laki-laki akan berganti menjadi orang Sumando dalam Rumah Gadang, peran orang Sumando-pun di Rumah gadang cukup unik, yaitu kasarnya hanya menumpang. Sumando akan bekerja untuk mencari penghidupan dan mencari kekayaan yang bahkan tidak akan ia nikmati di usia tua nanti.
Walaupun orang Minangkabau terkenal dengan keuletan dan kegigihan dalam bekerja hasil yang didapatkan tidak akan menjadi harta dia melainkan harta itu akan diterima istri dan kemenakan-nya. Malahan dalam adat Minangkabau sendiri seorang ayah tidak memiliki tanggung jawab apapun terhadap sang anak, tanggung jawabnya yaitu hanya sebagai seorang mamak dengan memberi penghidupan untuk kemenakan, begitu pula dengan anaknya yang akan menjadi tanggung jawab dari Mamak sang anak.
Fenomena ke Kadai ( warung ) bagi laki-laki Minangkabau juga merupakan hasil dari sistem adat yang berlaku tadi. Karena Orang Sumando hanya menumpang di Rumah Gadang sang istri. Setiap pagi Orang Sumando harus pergi bekerja, bahkan untuk segelas kopi pun ia tidak dapatkan, melainkan harus memesan kopi ke Kadai, karena sifatnya yang hanya menumpang, maka istri tidak wajib membuatkan Orang Sumando kopi ketika berada di Rumah Gadang.