Ketidaktersediaan dokumen dalam penyusunan RUU juga menjadi tantangan kedepan agar tidak terjadi hal demikian. Ini menjadi tantangan kedepan bukan hanya bagi masyarakat namun juga bagi Legislator untuk konsekuen atas komitmen proses legislasi yang terbuka.
Ketiga, mengenai fenomena proses legislasi yang cepat dengan jenis serupa Fast-Track Legislation. Proses ini mengedepankan proses legislasi yang cepat dan memang telah diterapkan di beberapa negara, misal yang diterapkan di negara Argentina (Pasal 99 ayat (3) Konstitusi Argentina), Selandia Baru (House Standing Order 95A Tahun 1903), Kolombia (Pasal 163 Konstitusi Kolombia), atau Prancis (Pasal 49 Konstitusi Prancis). Namun perlu dipahami bahwa dalam aturan hukum di Indonesia tidak ada aturan yang mengatur mengenai ini. Menariknya praktik legislasi yang terjadi justru menggambarkan proses legislasi serupa jenis ini namun berbeda terjadi.
Perlu dipahami kembali model Fast-Track Legislation di Indonesia bukanlah dipahami sebagai mekanisme pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang termuat dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.Â
Bagi saya Indonesia bukan menerapkan Fast-Track Legislation selain belum ada aturan hukum, juga karena kehendak politik legislator yang mengedepankan proses legislasi yang terburu-buru, cepat, bahkan terkesan menutup partisipasi publik.Â
Beberapa diantaranya seperti proses pembahasan RUU Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, RUU Perubahan UU No. 12 Tahun 2011, RUU Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, RUU Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 Tentang MK, hingga yang terbaru RUU tentang Cipta Kerja dengam model Omnibus Law.Â
Secara nyata misal yang terjadi pada RUU Cipta Kerja dimana rapat pengambilan keputusan tingkat I saja dilakukan diluar jam kerja dan hari kerja (hari sabtu malam tertanggal 3 Oktober 2020). Dua hari berselang dilakukan pembahasan tingkat II serta persetujuan bersama RUU tersebut. Padahal isi RUU tersebut berisi 15 bab yang sangat banyak ketentuan didalamnya.
Saya juga menyoroti bagaimana celah praktik legislasi yang cepat terjadi melalui Perppu. Misal pada Perppu No.2 Tahun 2020 mengenai penentuan waktu pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (pilkada), dimana proses pengesahannya mengabaikan aspirasi publik dengan tetap disahkannya dan dilaksanakannya Pilkada ditengah pandemi.
Proses legislasi yang cepat, terburu-buru, hingga menutup ruang partisipasi publik menggambarkan bahayanya otoritatif kekuasaan dalam proses legislasi sehingga dapat membuka peluang lahirnya tirani legislasi. Ini menjadi tantangan serius kedepan bagaimana proses legislasi di Indonesia harus mengedepankan kehendak politik kerakyatan yang murni dan bukan kehendak otoritas kekuasaan yang ada.
Keempat, kehendak politik legislator dan ruang konflik kepentingan dalam proses legislasi. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam lembaga legislatif di Indonesia membuka konflik kepentingan yang mempengaruhi kehendak politik legislator. Ini menjadi tantangan dalam proses legislasi 2021 untuk mengedepankan kehendak murni rakyat di samping kepentingan kelompok dalam proses legislasi.
Kelima, masih mewabahnya pandemi Covid-19 menjadi tantangan yang harus dipersiapkan oleh legislator. Bagaimana proses legislasi di parlemen harus menggunakan metode yang aksesibel bagi masyarakat di tengah pandemi.
Memahami tantangan legislasi pada tahun 2021 perlu dilakukan untuk memastikan potret buruk yang sudah terjadi ditahun-tahun sebelumnya tidak terjadi. Saya berpandangan ditahun 2021 perlu dilakukan proses legislasi yang terbuka atau menggunakan sistem "open parliament system" dimana proses legislasi yang ada dilakukan dengan terbuka dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat yang didukung dengan sistem teknologi informasi yang menunjang kebutuhan tersebut.