Â
Potret Kinerja Legislasi 2020 dan Kemunculan Omnibus Law
Tahun 2020 ini terdapat 50 RUU sebagai Proelgnas Prioritas Tahunan. Banyaknya jumlah RUU ini merupakan catatan dan praktik buruk yang terus berulang. Hal ini dikarenakan penetuan jumlah Prolegnas Prioritas Tahunan yang tidak belajar dari pengalaman dan tidak berorientasi pada efektifitas penyelesaian dan kebutuhan masyarakat.Â
PSHK mencatat undang-undang yang disahkan berdasar Program Legislasi Nasional Prioritas ditahun 2020 hanyalah 3 Undang-Undang diantara UU No. 2 Tahun 2020 tentang Revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 10 Tahun 2020 tentang BeaMaterai, dan Undang-UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Secara persentase keberhasilan menghasilkan UU berdasar Prolegnas Prioritas Tahunan menurun dari tahun 2019. Dimana tahun ini persentase keberhasilan hanya 6% dari tahun 2019 dimana undang-undang yang dihasilkan dari Prolegnas Prioritas berjumlah 12 undang-undang dari 55 RUU dengan persentase keberhasilan 22%.Â
Catatan ini Juga mengalami penurunan misal diperiode pemerintahan kedua ditahun pertama masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2010 dimana persentase keberhasilan mencapai 23% yang memiliki 16 undang-undang yang disahkan dari 54 undang-undang.
Faktor utama yakni adanya pandemi Covid-19 serta proses penerapan kebiasaan baru. Oleh karenanya pada 16 Juli 2020 dilaksanakan evaluasi terhadap Prolegnas prioritas 2020 dengan hasil dilakukan pengurangan 16 RUU. Namun dari hasil evaluasi tersebut juga tidak ada undang-undang yang disahkan dari daftar tersebut. Meskipun secara keseluruhan tahun 2020 ini terdapat 13 undang-undang (10 uu diluar Prolegnas Prioritas Tahunan) yang disahkan, namun praktik perencanaan legislasi yang tidak padu dan belum maksimal dan penentuan jumlah Prolegnas Prioritas terkesan utopis justru terjadi.
Adanya 10 RUU diluar Prolegnas prioritas yang disahkan membuat masyarakat sulit untuk menyampaikan aspirasinya. Misal RUU Revisi UU Mahkamah Konstitusi yang dimasukan ditengah-tengah berjalannya proses legislasi serta dibahas dan disahkan sangat cepat mengakibatkan partisipasi publik tidak terejawantahkan dengan pasti. Praktik seperti ini selalu dilakukan, seolah-olah pendistorsian partisipasi dan aspirasi rakyat adalah hal wajar. Sehingga justru judicial review di Mahkamah Konstitusi terjadi seperti pada UU No. 7 Tahun 2020 dan UU No. 11 Tahun 2020.
Lebih lanjut, masuknya konsep Omnibus Law dalam penyusunan RUU Cipta Kerja menambah rumit proses legislasi di tahun ini. Metode Omnibus Law sendiri merupakan metode pembentukan UU yang menjangkau banyak materi/keseluruhan materi undang-undang lain yang saling berkaitan, baik secara langsung ataupun tidak langsung.Â
Metode ini belum tercantum payung hukumnya secara pasti terkhusus dalam UU No.12 Tahun 2011. Akibatnya adalah kesalahpahaman dan mengaitkan sistem pembentukan undang-undang yang mirip dengan metode Omnibus Law. Sementara pembentuk undang-undang tidak punya solusi terencana untuk mengatasi hal ini.
Fakta ini berdampak pada banyak proses legislasi yang tidak dijalankan khususnya partisipasi masyarakat. Selain itu draf yang disusun sulit dimengerti, ada beberapa pasal yang baru dengan pasal perubahan saling tumpang tindih begitupun ketidakterkaitan antara pasal yang satu dan yang lain. Hal ini ditambah dengan proses pembahasan yang cepat sehingga harmonisasi juga sinkronisasi antara aturan didalamnya tidak padu.Â