Mohon tunggu...
Bagas Ubaidillah
Bagas Ubaidillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

membaca

Selanjutnya

Tutup

Games

Komunitas Mobile Legends Yang Melanggar HAM

24 Juni 2024   12:12 Diperbarui: 24 Juni 2024   12:12 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Dunia telah memasuki babak baru,hal itu ditandai dengan munculnya revolusi industri 5.0 atau society 5.0. Sebelum itu terdapat era di mana manusia sudah menggunakan jaringan internet untuk mencari, mempermudah, serta membantu manusia dalam mendapatkan berbagai informasi,yang sering disebut dengan society 4.0.

Adapun yang terbaru yaitu society 5.0 sebuah era di mana semua kegiatan manusia sudah serba teknologi bahkan teknologi itu sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia itu sendiri (Atief Muhammad,2023).Konsep society 5.0 mengusung visi tentang bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan transformasi teknologi dalam bentuk digital untuk mencapai kemajuan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan

Internetisasi

            Salah satu hal yang ditelurkan oleh society 5.0 ini adalah internetisasi dan digitalisasi,segala bentuk aspek kehidupan manusia sudah tidak bisa lepas dari aktivitas yang memiliki hubungan dengan internet.Menurut laporan We Are Social, pada Januari 2024 terdapat 185 juta individu pengguna internet di Indonesia, setara 66,5% dari total populasi nasional yang berjumlah 278,7 juta orang.(Dilansir dari wearesocial.com).

Adapun internetisasi dalam bentuk teritori, Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tingkat penetrasi internet di dalam negeri ini pada 2024 mencapai 79,5%.Kendati demikian,penyebarannya belum merata. Jawa memiliki persentase penyebaran tertinggi dengan nilai 83,64%,disusul Kalimantan dengan nilai 77,42%,kemudian Sumatera  77,34%,dan pulau-pulau lain dengan persentase lebih rendah.

            Konklusi yang dapat diambil dari paparan data diatas,kita bisa melihat bahwa internetisasi di Indonesia sangatlah masif,hanya sedikit kawasan yang tidak terjangkau oleh jaringan internet,dan hampir langka orang yang tidak mengenal internet.

Internet yang sudah menjadi kebutuhan dan menciptakan dunia baru yaitu ruang siber / cyberspace atau lebih sering dikenal dunia maya,membuat harus terciptanya sebuah regulasi dan kode etik yang tertuang dalam konstitusi negara untuk mengatur para penggunanya agar tidak terjadi anomali dan chaos,mengingat dunia maya atau ruang digital memiliki jaringan yang luas dan mampu diakses oleh siapapun,kapanpun dan dimanapun.

Standarisasi game online

            Salah satu cabang dari cyberspace atau dunia maya yang marak dan perkembangannya masif di Indonesia adalah game online.Game online sudah mendapatkan legalitas dari pemerintah,hanya saja intervensi pemerintah dalam dunia game hanya sebatas standarisasi game yang layak beredar di Indonesia,seperti yang tertuang dalam UU ITE Tahun 2024 Pasal 27 Ayat 1 tentang kesusilaan yang melarang beredarnya game yang berunsurkan pornografi,kemudian Peraturan Menteri Kominfo No 11 tahun 2016 tentang Indonesian Game Rating System (IGRS) yang berisikan ketentuan dalam game,kemudian Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) sehingga dengan adanya regulasi demikian tidak semua game online dapat memasarkan gamenya di Indonesia.

Mobile Legends dan Hak Asasi

            Kendati game online banyak yang sudah memiliki legalitas beredar di Indonesia,ada satu ranah dimana itu tidak bisa dijamah oleh pemerintah,yaitu aktivitas yang terjadi di dalam game,pemerintah dapat memberi ketentuan yang ketat untuk aktivitas dalam game,namun sulit sekali untuk melakukan tindakan terhadap para pelanggarnya.Dalam hal ini,hanya development yang mampu merespons pelanggaran itu.

            Sebagai contoh adalah game online yang sedang masif di Indonesia,yaitu Mobile Legends yang menurut banyak sumber,menjadi game paling banyak penggunanya sekaligus paling tidak ramah di Indonesia,(Dilansir dari Eraspace.com dan Gamebrott.com)bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa game besutan montoon ini,merupakan game yang memiliki komunitas yang toxic.

Berbagai latar belakang seperti miss-komunikasi,kekecewaan terhadap pemain lain,hingga dark system yang terjadi menjadikan pertandingan dalam game seringkali dipenuhi chat atau pesan yang diskriminatif,bahkan sampai melampaui batas HAM.

Cyberbullying dan Toxic Behavior baik verbal atau non-verbal kerap kali bermunculan dalam game ini,yang pada dasarnya hal ini sudah masuk ke ranah tindak pidana sesuai dengan Pasal 315 KUHP tentang penghinaan dan pencemaran nama,dengan ancaman sembilan bulan penjara atau denda 450.000.Toxic behavior verbal dalam game Mobile Legends memiliki banyak ragam dan yang paling buruk adalah ketika sudah menyangkut sebuah identitas atau kepercayaan.

Melalui fakta empiris,toxic ini sering kali dengan ragam diksi,seperti:Allah Anj*ng,YSS B*bi (yang dimaksud adalah Yesus Kristus),Jawa T*lol,Anak H*ram,dan diksi lain yang semakna.

Mirisnya,Diksi ini mereka lontarkan dengan tanpa mengetahui status lawan bicara mereka. Bullying /cyberbullying sudah  termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia(Lucyana,2019),dan perkara ini sudah diluar batas kewajaran bahkan masuk dalam kategori hukum pidana berdasarkan KUHP Pasal 156a perihal penghinaan terhadap sebuah keyakinan di Indonesia.

Punishment dari developer

            Pelanggaran dan chaos yang terjadi dalam game sangat sulit diidentifikasi oleh pemerintah,sehingga jarang sekali para pelaku pelanggaran HAM dalam game terjerat dan dijaring oleh pihak berwenang.Maka dalam hal ini,hanya developer game yang mampu memberikan punishment kepada pelaku pelanggaran.

Bentuknya beragam sesuai dengan pelanggaran yang diperbuat,seperti:pengurangan credit score (standart "adab" dalam game),pembekuan akun,dan penghapusan akun.Tentunya punishment yang diberikan pihak developer tidak setara dengan kejahatan yang dilakukan pelaku mengingat developer tidak memiliki kewenangan dalam memidanakan pelaku.Dan punishmentnya hanya sebatas memberikan efek jera yang tergolongan ringan dan tidak solutif.

Refleksi paradoksal game

            Pada dasarnya game adalah sarana untuk mengisi waktu luang dan melepas penat setelah seharian beraktifitas,sebuah hiburan yang praktis dan mudah yang bisa diakses kapan saja dan dimana saja.Namun,ekpsktasi itu terkadang tidak sesuai dengan realita di dalam game,dengan berbagai latarbelakang terkadang game justru jauh dari apa yang menjadi harapan atau tujuan utama,relaksasi dan hiburan malah berujung sebuah konfrontasi verbal dan pernghinaan yang menguras mental.

Maka tak heran,Dr.Fachrudin Faiz berkata "Paradoks itu seperti game,kamu main bertujuan bersantai,tapi kamu memainkannya dengan serius",ditambah lagi toxic behavior dan cyberbullying yang sudah melampaui batas kewajaran bahkan menabrak batas Hak Asasi Manusia yang harus dijaga dan dilindungi nama baik,kehormatan,bahkan kepercayaannya.

Sayangnya,hal ini sudah dianggap hal yang lumrah oleh komunitas game karena selain maraknya anomali ini,pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mencapai ranah dalam pertandingan (in match) dan hanya mengandalkan punishment ringan dari pihak developer yang tidak solutif.

           

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Games Selengkapnya
Lihat Games Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun