Mohon tunggu...
Bagas Satrio Rubiyanto
Bagas Satrio Rubiyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seseorang yang mencari jatidiri. Mahasiswa Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bakonka dan Mikonka, Sumber Masalah Populasi Jepang Menurun

4 April 2024   12:12 Diperbarui: 4 April 2024   12:16 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jepang adalah negara yang sangat maju di asia, bahkan di dunia karena kemajuan nya dalam bidang teknologi. Dahulu, Jepang memiliki kependudukan yang relatif tinggi, namun dalam beberapa tahun terakhir, jepang mengalami penurunan populasi yang signifikan. Menurun nya jumlah penduduk menjadi masalah bahkan ancaman bagi negara matahari terbit karena berdampak besar dalam berbagai faktor. Salah satu faktor tersebut adalah Bakonka dan Mikonka.

MENURUNNYA POPULASI JEPANG

Source: www.freepik.com
Source: www.freepik.com

Menurut data dari Ministry of Health, Labour and Welfare di Jepang, pada tahun 2005 menjadi titik terendah TFR (Total Fertility Rate) yaitu 1.26. Walau begitu, pada tahun 2007 terjadi peningkatan menjadi 1.34 dan 1.39 pada tahun 2007. Penyebab dari penurunan ini dengan adanya Fenomena Shoushika atau berkurangnya tingkat kelahiran anak. Selain itu Resesi Seks atau penurunan hubungan intim di Jepang juga memberikan efek besar terhadap menurunya populasi Jepang.

Dikutip dari KOMPAS.com, Jepang mencatat angka penurunan populasi di seluruh prefektur sejak tahun 2022. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementrian Dalam Negeri dan Komunikasi, jumlah orang Jepang turun sekitar 511.000 orang menjadi 122,42 juta selama 14 tahun.

 

BAKONKA DAN MIKONKA

Source: www.freepik.com
Source: www.freepik.com

Di Jepang, Bakonka dan Mikonka menjadi topik pembicaraan yang sering di bicarakan karena menjadi faktor penting dalam Fenomena Shoushika. Sebelum menjelaskan lebih detil, perlu di jelaskan apa itu Bakonka dan Mikonka. Bankonka (晩婚化)terdiri atas kanji ‘Ban’ (晩)yang artinya malam atau terlambat, ‘Kon’ (婚)yang artinya menikah dan ‘Ka’ (化)yang artinya kecenderungan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan, Mikonka (未婚化)sendiri terdiri dari kanji ‘Mi’ (未)yang artinya belum dan diikuti oleh kanji ‘Kon’ dan ‘Ka’.

Bakonka sendiri adalah terjadinya kecenderungan untuk menunda pernikahan baik wanita dan pria. Sedangkan Mikonka adalah kecenderungan tidak mempunyai keinginan untuk menikah atau tidak menikah. Penyebab telatnya menikah pada wanita salah satunya adalah majunya pendidikan bagi wanita yang membuat kebutuhan finansial dan ekonomi menjadi tercukupi. Selain itu, mereka juga sadar bahwa hidup sendiri lebih menyenangkan daripada harus hidup menikah dikarenakan mendapatkan kebebasan dari kewajiban mengasuh anak dan lain sebagainya.

Tingginya biaya untuk mengasuh anak juga menjadi faktor terjadinya Bakonka dan Mikonka. Pasangan muda jepang enggan memiliki anak dikarenakan jumlah pengeluaran yang terbilang cukup besar, baik dari segi biaya hidup ditambah dengan biaya mengasuh anak. Tingginya biaya hidup juga menjadikan pasangan muda di Jepang sulit untuk menikah. Untuk biaya sehari-hari saja sudah susah, apalagi harus di tambah dengan biaya pengeluaran rumah tangga.  Di Jepang, menjadi mapan adalah hal yang sulit, sehingga membuat mereka bekerja keras mendapatkan kehidupan yang ideal karena mereka menganggap membuat rumah tangga hanya akan memperlambat mereka mendapatkan kesuksesan.

Dengan begitu, kita mengetahui bahwa penilaian masyarakat khususnya kaum muda terus berubah sesuai dengan zaman yang mereka tempati. Jikalau pasca Perang Dunia ke II, masyarakat Jepang berbondong-bondong untuk memperbanyak keturunan untuk menutupi kehilangan yang didapat saat Perang Dunia ke II, namun nyatanya masyarakat Jepang sekarang menganggap bahwa hal seperti pernikahan itu hanya sepele, “Pernikahan bukan segalanya” “Selagi masih muda, banyak hal yang harus dicoba” berdampak pada menurunnya populasi di Jepang.

 

DAMPAK DARI BAKONKA DAN MIKONKA

Source: www.freepik.com
Source: www.freepik.com

Dengan banyaknya pasangan muda yang menunda pernikahan, bahkan tidak menikah sama sekali meyebabkan sejumlah masalah dari berbagai bidang. Dari segi demografi, Bakonka dan Mikonka menyebabkan masalah yang disebut Koreika Mondai atau jumlah lansia yang terus bertambah, sehingga kebutuhan nya semakin bertambah, selain itu kurang nya angka kelahiran menjadikannya tidak seimbang.

Dari segi ekonomi, menurunnya tingkat kelahiran menyebabkan kekurangan tenaga kerja muda di Jepang. Jumlah pemuda berkurang, sehingga target tenaga kerja di industri dan skala pasar pun berkurang. Menurut Sanoko, dengan berkurangnya jumlah anak muda, maka perputaran uang dalam ekonomi juga tidak akan baik. Menurut Agawa juga, dengan bertambahnya pesiunan, maka bertambahnya jaminan sosial seperti jaminan pensiun, asuransi kesehatan, dan asuransi perawatan lansia. Kondisi ini memungkinkan menurunnya populasi angkatan kerja, serta berkurangnya waktu bekerja yang pasti nya akan menyulitkan perekonomian di Jepang.

Dari segi sosial, dengan berkurangnya jumlah anak-anak menyebabkan dampak buruk bagi pertumbuhan dan sosial anak dikarenakan anak-anak tidak memiliki teman sebaya untuk bermain. Selain itu, dengan dampak dari penurunan tingkat kelahiran menjadikan berkurangnya siswa-siswi yang masuk sekolah. Mengutip dari Reuters, sesuai data pemerintahan sekitar 450 sekolah tutup setiap tahun dari 2002 hingga 2020, hampir 9000 sekolah tutup permanen, sehingga sulit bagi daerah terpencil menarik penduduk baru dan lebih muda. Tidak hanya sekolah, Universitas di Jepang pun juga terkena dampaknya. Berkurangnya anak muda menyebabkan kekosongan peminat jurusan di Jepang. Universitas pun mengambil langkah dengan melakukan perekrutan mahasiswa asing untuk belajar di universitas mereka.

WARGA ASING DI JEPANG

Source: www.freepik.com
Source: www.freepik.com

Dikarenakan kekurangan tenaga kerja produktif, banyak tenaga kerja asing yang datang untuk bekerja di Jepang. Jepang pun harus mengisi kekosongan posisi posisi pekerjaan yang dibutuhkan. Dikutip dari BBC, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, ingin mendatangkan lebih banyak tenaga kerja asing berupah rendah atau minim. Meski begitu, rencananya mendatangkan ribuan warga asing untuk mengisi pekerjaan kerah biru hingga 2025 sangat kontroversial. Jepang ingin mengizinkan orang asing mengisi lapangan pekerjaan kerah biru pada awal tahun fiskal 2022. Tenaga kerja tersebut dipersilakan tinggal di Jepang tanpa batas waktu sebagaimana dilansir Reuters.

Walaupun mendatangkan tenaga kerja asing menuai banyak manfaat, namun ada beberapa masalah yang datang seiiring dengan solusi ini. Dilasir dari BBC.com, Chikako Usui, pakar sosiologi di Universitas Missouri di St Louis, AS, menyebut sejumlah faktor yang mungkin menyulitkan imigran, dari sejarah ketertutupan Jepang hingga penduduk yang homogen. Usui menyoroti harapan terhadap aturan tersembunyi dan semangat komunal yang membuat masyarakat Jepang tak nyaman dan waswas pada orang asing.

Persoalannya, Menurut Usui, bagaimana warga asing dapat memahami seluruh kebiasaan yang orang Jepang lakukan, dari tata cara daur ulang, tidak berisik di kendaraan umum, ataupun mengantisipasi pikiran orang lain. "Warga Jepang tak yakin itu bisa dilakukan warga asing. Faktanya, saya sendiri juga tidak selalu bisa menerapkannya di Jepang," tuturnya.

“ANGEL PLAN” UPAYA PEMERINTAHAN JEPANG

Source: www.freepik.com
Source: www.freepik.com

Angel Plan atau Basic Direction for Future Child Rearing Support Measure adalah upaya pemerintahan jepang mulai dari tahun 1994 untuk meningkatkan tingkat kelahiran di Jepang. Angel Plan ini bertujuan mengatasi masalah penururan tingkat kelahiran dengan memberikan support berupa bimbingan seputar mengasuh anak, menyediakan kualitas perumahan bagi keluarga yang memiliki anak, serta meringankan beban ekonomi bagi keluarga pemilik anak. Angel Plan juga mengharuskan pasangan yang sudah menikah untuk memiliki minimal 2 anak per rumah tangga.

Walau gagal mencapai tujuannya, pada tahun 2002 jepang mengeluarkan “Plus One” melanjutkan Angel Plan sebelumnya. Ada 4 tujuan khusus, yaitu 1) Mengubah pola pekerjaan umum termasuk bagi pria. 2) Memperkuat dukungan berdasarkan komunitas untuk keluarga penyandang anak. 3) Penyadaran di kalangan anak-anak dan remaja atas penanggungjawaban terhadap generasi Jepang selanjutnya, juga untuk memberikan bantuan medis kepada pasangan yang tidak mampu memiliki anak. 4) Mempromosikan kemandirian dan keterampilan sosial anak.

Jepang mengerahkan banyak tenaga dan pikiran untuk mengatasi permasalahan menurunnya populasi di Jepang. Mendatangkan tenaga kerja asing menjadi solusi sementara untuk menutupi kekosongan lapangan kerja. Untuk itu, penanganan ekstra terhadap masalah ini dalam kebijakan sosial, ekonomi, demografi, dan lain sebagainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun