Mohon tunggu...
Bagas Satria Wicaksono
Bagas Satria Wicaksono Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Hukum

Kediri, 01 Januari 2000

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Urgensi Penerapan Kebijakan Rehabilitasi bagi Narapidana Korban Salah Tangkap dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

20 Desember 2022   07:20 Diperbarui: 20 Desember 2022   07:30 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abstrak

Penelitian ini berbicara mengenai proses penegakan hukum yang ada di Indonesia tidak pernah luput dengan yang namanya kelalaian atau culpa. Seperti halnya dalam kasus salah tangkap yang kerap terjadi dalam penyidikan pihak berwajib. Tindakan salah tangkap ini juga mengakibatkan hilangnya hak-hak korban, sehingga menjadikan orang yang tidak bersalah menjadi bersalah. Oleh karena itu negara memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab secara penuh akibat kelalaian yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam melakukan proses penegakan hukum. bentuk tanggungjawab ini bisa direalisasikan selayaknya dengan memberikan rehabilitasi atau kompensasi kepada korban salah tangkap. Fokus penelitian dalam karya tulis ini terdiri dari dua isu hukum yakni : 1. Bagaimana Kebijakan Penerapan Rehabilitasi dan Kompensasi terhadap Narapidana Korban salah tangkap dalam Perspektif  Hak Asasi Manusia? dan yang ke 2. Bagaimana Kebijakan Penerapan Rehabilitasi dan Kompensasi terhadap Narapidana Korban Salah Tangkap Secara Ideal yang Mencerminkan Hak Asasi Manusia? Metode Penelitian yang digunakan dalam karya tulis ini adalah penelitian yuridis normatif. Dalam penelitian ini memberikan kesimpulan, bahwa dalam pemberian kebijakan rehabilitasi dan kompensasi bagi korban salah tangkap di Indonesia dapat berlandaskan pada isi pasal 97 KUHAP, PP RI No. 7 Tahun 2015. Namun pada kenyataannya negara sampai sekarang ini masih sangat sulit untuk mempraktekkan dengan maksimal. Kemudian pada ranah kompensasi indonesia juga sudah mengatur aturan tersebut dalam isi pasal 95 KUHAP dan PP RI No. 7 Tahun 2015, akan tetapi jika di bandingkan dengan beberapa negara seperti halnya belanda dan jepang, negara indonesia justru kurang dalam menindaklanjuti korban salah tangkap serta penegak hukum yang bersangkutan sebagai bentuk evaluasi pemenuhan hak asasi manusia.

Keyword : Korban Salah Tangkap, Rehabilitasi, Kompensasi, dan HAM

 Pendahuluan

Secara gamblang pemimpin negara beserta rakyat menyebut bahwa Indonesia adalah negara hukum, hal ini sejalan dengan penegasan yang ada pada ketentuan pasal 1 ayat 3 UUD[1], bukti narasi indonesia adalah negara hukum dapat dimaknai dengan negara ini memberi jaminan bahwa setiap hak asasi manusia harus dipertahankan dengan baik sesuai ketentuan pasal 28 A sampai pasal 28J.[2] Tidak hanya berhenti sampai pada UUD tetapi prosedur dalam menjaga HAM secara khusus juga diatur pada Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, lebih tepatnya pada pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa "hak asasi manusia itu adalah seperangkat hak yang sangat melekat kepada manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang mana pada dasarnya anugerah tersebut harus dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara mulai dari aspek hukum sampai pemerintahan. 

Dengan demikian narasi diatas menjelaskan bahwa setiap manusia atau warga negara harus diperlakukan adil di hadapan hukum tidak terkecuali sama sekali. Namun pada kenyataannya implementasi yang ada di Indonesia masih terdapat ketidaksesuaian ketika proses pemberian rehabilitasi serta kompensasi bagi narapidana korban salah tangkap, Hal ini terlihat dari beberapa kasus yang tercermin dari kasus-kasus yang terjadi terhadap narapidana korban salah tangkap yang belum mendapatkan sepenuhnya terkait hak rehabilitasi maupun kompensasi berupa ganti rugi dari Pengadilan terkait atas status dirinya yang dijadikan narapidana.[3] 

 Oleh karena itu, sudah selayaknya para korban salah tangkap mendapatkan pemulihan haknya serta ganti kerugian baik materiil maupun immaterial. Para korban tersebut berhak untuk memperoleh rehabilitasi dan kompensasi dari Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[4] Hal tersebut menjadi pertimbangan penulis di dalam melakukan kajian lebih dalam lagi terkait pemenuhan hak narapidana korban salah tangkap yang dijamin oleh Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu penulis dalam penelitian ini mengambil judul Urgensi Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Kompensasi Bagi Narapidana Korban Salah Tangkap Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

 Pembahasan 

Pemberian Rehabilitasi dan Kompensasi terhadap Narapidana Korban Salah Tangkap dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Kebijakan Rehabilitasi 

Pengejawantahan rehabilitasi sudah diatur dalam ketentuan pasal 1 angka 23 KUHAP[5] yang secara komprehensif menegaskan bahwa seseorang dalam tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, maupun diadili tanpa alasan yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku maupun karena adanya culpa atau kekeliruan mengenai orangnya, maka berhak untuk memperoleh pemulihan terhadap haknya mulai dari segi kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya.[6] Prosedur rehabilitasi diatur dalam pasal 97 KUHAP yang memberikan beberapa point penting bagi civil society, seperti halnya bagi setiap orang diberikan hak dalam mendapatkan rehabilitasi apabila di pengadilan telah di putus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. kemudian di dukung dengan adanya ketentuan rehabilitasi atas dasar penangkapan tanpa sebab yang tidak berlandaskan undang-undang atau ketentuan pasal 95 ayat 1 yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Serta menetapkan proses rehabilitasi tersebut akan diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam ketentuan pengadilan sebagaimana dalam ayat 1.

Kebijakan Ganti Kerugian atau Kompensasi

Jika melihat dalam penjelasan pasal 1 angka 22 KUHAP secara eksplisit menegaskan bahwa ganti kerugian merupakan hak seseorang dalam memperoleh pemenuhan atas tuntutan berbentuk imbalan, mulai dari uang ataupun barang yang mana hal itu ditujukan karna dia telah ditangkap, ditahan, dituntut bahkan ditahan tanpa alasan yang jelas. Sehingga negara harus bisa memaknai arti ganti kerugian ini sebagai dasar dari kompensasi yang akan diberikan kepada narapidana korban salah tangkap. Andi Hamzah dalam penjelasannya menegaskan bahwa pada pasal 95 dan 97 terdapat alasan bagi tersangka, terdakwa, dan terpidana untuk menuntut ganti kerugian atau kompensasi. Dari narasi diatas dapat kita pahami bahwa alasan yang dapat digunakan yakni mengarah kepada mereka yang di tuduh tanpa alasan yang jelas serta salah dalam menerapkan peraturan perundang-undangan.

 Adami Chazawi menjelaskan bahwasanya dari segi korban, kesalahan proses penegakan hukum pidana yang menimbulkan kerugian yang diatur dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang menegaskan ada tiga hal yang dapat menuntut ganti rugi yakni mulai dari tersangka, terdakwa sampai terpidana ketiga hal ini akan diberikan ganti rugi apabila mengalami proses penangkapan yang tidak sesuai dengan prosedur undang-undang yang ada.  Oleh karena itu sejalan dengan makna ganti rugi, negara telah memberikan ketentuan khusus dalam memenuhi hak-hak korban salah tangkap seperti yang diatur dalam pasal 9 PP RI No. 27 Tahun 1983 Mengenai besaran jumlah ganti kerugian atau kompensasi yang diberikan oleh Negara kepada narapidana korban salah tangkap, diatur di dalam Pasal 9 PP RI No. 27 Tahun 1983, yakni Berdasarkan alasan yang tercantum dalam Pasal 77 huruf b KUHAP dan Pasal 95 KUHAP, jumlah ganti rugi minimum adalah Rp 5000,- (lima ribu rupiah) dan maksimal Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Sedangkan pada proses penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, ganti rugi maksimal berjumlah Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah).[7]

 

Konsep Hak Asasi Manusia 

Berbicara mengenai hak asasi manusia yang mana diberikan langsung oleh tuhan sebagai suatu anugerah secara jelas bahwa itu tidak bisa diambil oleh siapa pun dan wajib untuk dipertahankan, bahkan tokoh ternama seperti john locke juga mendukung hak asasi manusia bersifat kodrat atau mutlak. Oleh karenanya kekuasaan negara manapun yang ada di dunia ini tidak bisa serta merta mencabutnya.[8] Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Hak Asasi Manusia diatur pada Pasal 28A sampai 28J. Kemudian diatur lebih lanjut pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara garis besar dalam undang-undang tersebut, pengaturan mengenai HAM dan kebebasan dasar manusia terdapat pada Pasal 9 hingga Pasal 66 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dimiliki oleh seseorang sejak ia dalam kandungan hingga meninggal dunia yang bersifat mutlak, yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak tersebut dijamin oleh UUD 1945, yang dimana dalam pelaksanaannya harus diiringi dengan kewajiban dan tanggung jawab.[9] Apabila dikaitkan dengan Pasal 1 angka 22 dan 23 KUHAP, dimana rehabilitasi dan kompensasi merupakan hak seseorang (dalam hal ini narapidana korban salah tangkap) yang harus dipenuhi oleh Negara sebagai bentuk tanggung jawab Negara untuk mengembalikan atau memulihkan hak asasi mereka, khususnya hak untuk memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, dan hak untuk tidak mendapatkan penyiksaan.[10]

 

Pemberian Rehabilitasi dan Kompensasi terhadap Narapidana Korban Salah Tangkap Secara Ideal yang Mencerminkan Hak Asasi Manusia 

Prosedur Pemberian Kebijakan 

Dalam rangka mengembalikan hak asasi narapidana korban salah tangkap yang telah dirampas selama proses pemidanaan, maka Negara mengeluarkan kebijakan rehabilitasi dan kompensasi sebagai bentuk tanggung jawab Negara kepada narapidana korban salah tangkap. Amar pemberian rehabilitasi harus dicantumkan pada putusan yang memutus bahwasanya orang tersebut bebas dari segala tuntutannya serta harus diumumkan pada papan pengadilan yang mengadili perkara tersebut, hal ini sesuai dengan Pasal 97 KUHAP dan Pasal 12 sampai dengan Pasal 15 PP RI No. 27 Tahun 1983 yang mengatur mengenai kebijakan rehabilitasi. Namun apabila tidak dicantumkan tentang rehabilitasi tersebut, maka narapidana korban salah tangkap dapat mengajukan permohonan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya untuk memberikan rehabilitasi yang dituangkan dalam bentuk Penetapan.

Selanjutnya mengenai pemberian kebijakan kompensasi, hal ini telah diatur pada Pasal 95 KUHAP dan Pasal 7 hingga Pasal 11 PP RI No. 27 Tahun 1983 sebagaimana telah dirubah menjadi PP RI No. 92 Tahun 2015. Kemudian sebagaimana dalam Pasal 11 Ayat (2) PP RI No. 92 Tahun 2015, pembayaran kompensasi dilakukan oleh Menteri Keuangan yang dilakukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti rugi diterima olehnya dan tata cara pembayaran tersebut ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No. 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian, juga terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan RI No. 108/PMK.02/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan RI No. 11/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun 2018. Merujuk pada Bagian 1 Lampiran 1 Peraturan Menteri Keuangan RI No. 132/PMK.02/2019, Menteri Keuangan telah menyediakan dana untuk kompensasi yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap.[11]

Pemenuhan Hak-hak Narapidana Korban Salah Tangkap dari segi Hak Asasi Manusia  

Seseorang yang telah dirugikan karena menjadi salah satu korban salah tangkap yang dilakukan oleh oknum aparatur penegak hukum, seperti halnya pada kasus 3 pengamen bernama David, Kemal, dan Sri mulyati wajib mendapatkan hak untuk melakukan rehabilitasi serta kompensasi atas apa yang telah diderita. Jika melihat penjelasan dari pasal 9 UU No. 48 Tahun 2009  tentang kekuasaan kehakiman menegaskan bahwa yang dimaksud dengan rehabilitasi yakni sebagai pemulihan hak seseorang mengenai kemampuannya maupun kedudukannya secara semula oleh pengadilan.[12]

Proses pertanggungjawaban negara terhadap korban salah tangkap ini tidak hanya sampai pada rehabilitasi tetapi juga harus memberikan ganti rugi, oleh karena itu ganti rugi menjadi opsi paling penting untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka ketika mereka keluar dari penjara, hal ini bertujuan untuk memudahkan para korban salah tangkap untuk memiliki modal atau bekal hidup di kemudian hari. Dengan demikian hak-hak tersebut kembali kepada diri mereka dan Negara telah mewujudkan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta kehidupan korban dapat kembali berjalan seperti semula.[13]

 Kesimpulan 

Dalam penerapan kebijakan rehabilitasi dan kompensasi terhadap narapidana korban salah tangkap, undang-undang telah mengaturnya yang terdapat mulai dari Pasal 95 hingga Pasal 97 KUHAP yang diatur lebih lanjut pada PP RI No. 27 Tahun 1983 sebagaimana diubah pada PP RI No. 92 Tahun 2015. Namun dalam praktiknya, Negara masih belum merealisasikannya dengan maksimal. Sehingga para narapidana korban salah tangkap belum mendapatkan hak-haknya secara menyeluruh. Padahal peraturan perundang-undangan tersebut sudah bagus dan jelas mencerminkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia yang dibuat sebagai bentuk tanggung jawab negara atas kegagalan hukum yang disebabkan oleh kelalaian oknum penegak hukum.

Aturan mengenai kompensasi di Indonesia sudah ada yang tertera dengan jelas pada Pasal 95 KUHAP dan PP RI No. 27 Tahun 1983 sebagaimana diubah pada PP RI No. 92 Tahun 2015. Namun demikian, Indonesia dapat mencontoh Negara Belanda dalam hal keterbukaan data mengenai kasus narapidana korban salah tangkap dan evaluasi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, serta mengenai aturan jangka waktu pengajuan permohonan kompensasi yang ada di negara tersebut. Kemudian dalam hal proses pencairan dana kompensasi, Indonesia dapat mencontoh Negara Jepang yang memberikan dana kompensasi secara cepat, tunai, dan langsung kepada para korban salah tangkap. Karena dalam proses pencairan dana, Indonesia masih kurang praktis dan memerlukan waktu yang lama, maka pemberian dana kompensasi harus diberikan secara cepat, tunai, dan langsung kepada para korban. Sehingga diharapakan hak-hak narapidana korban salah tangkap dapat terpenuhi kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun