Tujuan awal politik ambang batas, yaitu pemilu, dimaknai sebagai bentuk kritik terhadap pluralisme ekstrim sistem multi partai yang membuat peta politik negara menjadi kurang solid dan terfragmentasi. Namun di sisi lain, ambang batas pemilihan pun menjadi sebuah syarat yang dirasa berat, sehingga hal ini menimbulkan pemilu menjadi tidak kompetitif. Lebih lanjut, pemilu sama sekali tidak dapat merespon cita-cita reformasi politik sebab kekuatan oligarki masih terus berkuasa di parlemen.
Penetapan ambang batas pemilu yang tidak konsisten akan menimbulkan efek paradoks berupa upaya membangun aliansi bagi partai politik lama untuk mengaburkan suksesi kepemimpinan melalui diskusi dan perubahan setelah undang-undang pemilu diubah. Hal ini menegaskan bahwa sistem pemilu yang ada di Indonesia hanyalah sekedar manifestasi dari partai politik lama dengan memanfaatkan saluran konstitusionalnya dan menanamkan kepentingan politik dalam sistem pemilu. Penetapan ambang batas pemilu yang konsisten pada setiap penyelenggaraan pemilu juga melanggar prinsip pembentukan hukum yang andal. Lon Fuller menegaskan, pembuatan undang-undang memerlukan asas yang sehat, artinya undang-undang tidak dapat diubah sewaktu-waktu.
Proses pembuatan undang-undang tidak bisa dinilai dari "benar atau salah", tetapi segala sesuatunya harus diukur dengan standar yang pantas atau tidak. Electoral Threshold dipertahankan agar hubungan eksekutif dan legislatif bisa berjalan efektif, namun menjadi sebuah paradoks ketika suara pemilih sebagai pemberi legitimasi untuk membuat peraturan harus hilang demi argumentasi efektivitas lingkaran pemerintahan. Dari sudut pandang hukum, hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif merupakan hubungan hukum imperatif yang dijamin oleh norma konstitusi, oleh karena itu dianggap tidak tepat untuk memaksakan rumitnya hubungan tersebut kepada pemilih melalui hilangnya suara. Oleh karena itu, hak-hak pemilih tidak boleh dikorbankan demi penyederhanaan partai politik atau perampingan hubungan eksekutif-legislatif.
Pemilihan umum merupakan elemen simbolis suatu negara yang memungkinkan warga negara terlibat dalam pemerintahan. Sebagai negara demokrasi, pemilihan umum dilakukan dengan cara menghormati hak setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Partisipasi masyarakat dalam politik merupakan salah satu persyaratan sosial yang mendesak dari pemerintahan demokratis. Karena kedaulatan rakyat dalam suatu sistem tercermin dalam ungkapan sistem pemerintahan dari rakyat, rakyat dan untuk rakyat "government of the people, by the people, for the people" , yang utama adalah menjamin kebahagiaan sebesar-besarnya bagi masyarakat. Partai politik tidak hanya diwajibkan menjalankan fungsi representasi politik, atau sekedar representasi formalis. Partai politik harus bertanggung jawab kepada pemilihnya untuk menjamin keterwakilan yang substansial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H