Dalam sejarah peradaban manusia, buku telah menjadi saksi sekaligus sumber pengetahuan yang penting. Dari lembaran-lembaran papirus Mesir Kuno hingga gulungan manuskrip abad pertengahan, buku menjadi tempat penyimpanan ide dan pemikiran manusia. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, tidak jarang kita menyaksikan peristiwa kelam di mana buku-buku dibakar, dihancurkan tanpa ampun, melenyapkan ide ide pemikiran yang telah lama dijaga.
Pembakaran buku bukan hanya tindakan penghancuran fisik, tetapi juga bentuk kecacatan intelektual yang mencerminkan ketidakmampuan untuk menerima perbedaan, lebih buruknya, ketidakmampuan menghargai kemanusiaan. Mengapa istilah kecacatan intelektual digunakan dalam konteks ini? Istilah ini relevan karena tindakan pembakaran buku bertentangan dengan prinsip dasar dari intelektualisme itu sendiri: penerimaan, pemahaman, dan pengembangan.
Pembakaran buku merupakan perwujudan dari pola pikir yang sempit dan ketakutan terhadap sesuatu yang dianggap ancaman. Lebih dari itu, pembakaran buku menunjukkan keengganan untuk berdialog dan menerima pendapat berbeda, yang pada dasarnya menjadi akar dari perkembangan pemikiran kritis.
Sejarah Kelam Pembakaran Buku
Sejarah mencatat berbagai peristiwa pembakaran buku yang mengakibatkan kerugian intelektual yang tak terukur. Salah satu contoh paling terkenal adalah pembakaran Perpustakaan Alexandria di Mesir pada masa Romawi. Kehancuran perpustakaan ini tidak hanya menghilangkan ribuan manuskrip kuno tetapi juga menghilangkan pemahaman lebih dalam tentang perkembangan pengetahuan pada masa itu.
Kemudian, tragedi pembakaran Perpustakaan Baghdad pada 1258 Masehi oleh bangsa Mongol. Perpustakaan yang dikenal sebagai Baitul Hikmah ini menyimpan ribuan manuskrip penting di bidang ilmu pengetahuan, sastra, dan filsafat yang telah dikumpulkan sejak era Kekhalifahan Abbasiyah. Kehancuran perpustakaan ini mengakibatkan hilangnya banyak pengetahuan yang tak tergantikan, menandai kemunduran besar bagi kemajuan intelektual dan perubahan drastis dalam sejarah peradaban.
Di abad yang lebih dekat, Nazi Jerman di bawah kepemimpinan Hitler secara brutal membakar buku-buku yang dianggap mengancam ideologi Nazi. Pada malam yang dikenal sebagai bcherverbrennung atau pembakaran buku, ribuan buku dari penulis Yahudi, komunis, atau yang bertentangan dengan pandangan Nazi dihancurkan secara massal. Peristiwa ini menggambarkan bagaimana kekuasaan otoriter cenderung membatasi wacana intelektual dan berusaha mengontrol pikiran melalui metode represif.
Sayangnya, tindakan serupa masih kita saksikan di era modern ini. Salah satunya terjadi terhadap buku yang ditulis oleh Najwa Shihab. buku tersebut justru mendapat perlakuan represif yang mengancam eksistensi kebebasan intelektual. Peristiwa ini menunjukkan bahwa meski zaman telah berkembang, ada sebagian pihak yang masih memandang ide-ide berbeda sebagai sesuatu yang berbahaya, alih-alih sebagai wujud dari kekayaan intelektual.
Mengapa Pembakaran Buku Adalah Cacat Intelektual?
Intelektualisme selalu mengutamakan dialog, debat, dan analisis kritis. Kebebasan berpikir merupakan fondasi dari pemikiran kritis, yang pada gilirannya menjadi inti dari kemajuan ilmu pengetahuan dan budaya. Ketika seseorang atau kelompok melakukan pembakaran buku, mereka sejatinya menolak untuk berpikir kritis serta mengedepankan solusi berdialog. Mereka memilih solusi primitif yang mencerminkan kebodohan mereka untuk dapat menentang ide-ide yang berbeda.
Pembakaran buku merupakan tindakan bertentangan dengan prinsip dasar kebebasan berpikir. Dengan menghancurkan buku, pelaku sebenarnya menolak keberadaan ide-ide yang berbeda, yang merupakan bagian penting dari perkembangan intelektual. Ini menunjukkan bahwa pelaku memiliki ketakutan terhadap pemikiran yang dianggap mengancam.
Fenomena pembakaran buku ini juga memperlihatkan ketidakmampuan mereka yang terlibat untuk menghormati keragaman pemikiran. Dunia ini kaya akan ragam budaya, agama, filosofi, dan ideologi. Ketika buku dibakar karena alasan perbedaan pandangan, tindakan tersebut menggugurkan esensi utama dari peradaban manusia itu sendiri,yaitu kebebasan berpendapat. Tindakan ini jelas memperlihatkan adanya kecacatan dalam hal pemahaman intelektual.
Pembakaran buku adalah bentuk kezaliman intelektual yang merusak martabat manusia untuk berpikir bebas. Tindakan ini mencerminkan ketidakmampuan untuk menghargai ragam pemikiran dan menunjukkan sikap anti kritik. Pembakaran buku merupakan reaksi represif dan ketakutan terhadap seseorang yang dianggap menjadi lawannya.
Kebebasan Berpikir Inti dari Intelektual
Pembakaran buku sering kali lahir dari ketakutan akan hal-hal yang dianggap mengancam. Solusi untuk mengatasi fenomena ini dengan meningkatkan pemahaman mengenai pentingnya kebebasan berpikir. Ketika individu dibekali dengan pendidikan yang kuat dan pemahaman kritis, mereka akan lebih mampu untuk menyikapi perbedaan tanpa harus melakukan tindakan mengancam seperti itu.
Pembakaran buku, salah satu tindakan kekerasan terhadap intelektual yang harus dilawan dengan segala cara. Dengan menjaga setiap karya yang ada, kita dapat memastikan bahwa pengetahuan dan kebijaksanaan terus berkembang, tidak hanya untuk generasi saat ini tetapi juga untuk masa depan.
Setiap tindakan yang menghalangi penyebaran pengetahuan meruapakan kecacatan intelektual yang harus diluruskan. Dengan menyadari seberapa berharganya pengetahuan, kita bisa bergerak menjadi bangsa yang  beradab dan berintelektual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H