Mohon tunggu...
Bagas Pangestu
Bagas Pangestu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1

Saya seorang mahasiswa yang memiliki hobi menulis dan membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tebang Pilih Koruptor, Pembunuhan Karakter dan Pelemahan Lawan Politik

31 Oktober 2024   15:29 Diperbarui: 31 Oktober 2024   15:29 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan hukum anti-korupsi seharusnya berfungsi menegakkan keadilan dan memberantas korupsi secara tuntas tanpa pandang bulu. Sayangnya, praktik tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di Indonesia telah menjadi sorotan karena sering dianggap sebagai alat politik untuk "pembunuhan karakter" dan melemahkan lawan politik. 

Fenomena ini tidak hanya mencederai prinsip keadilan tetapi juga membawa dampak serius terhadap hak-hak individu, dan menimbulkan kecurigaan adanya muatan politis dalam proses hukum. Persoalan seperti ini semakin menyoroti bahwa upaya pemberantasan korupsi tidaklah benar-benar adil dan menyeluruh, melainkan rentan dipengaruhi oleh faktor eksternal, khususnya politik.

Pada dasarnya, hukum diharapkan menjadi alat yang adil untuk memastikan bahwa semua orang diperlakukan sama tanpa pandang bulu. Akan tetapi, dalam kasus korupsi di Indonesia, sering terlihat adanya perbedaan perlakuan yang mencolok antara satu terdakwa dengan terdakwa lainnya.

Sebagai contoh, nama Tom Lembong yang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kasus korupsi impor gula, menurut laporan Tempo, Tom Lembong belum terbukti menerima aliran dana dalam kasus tersebut, namun sudah ditetapkan sebagai tersangka. Meskipun demikian, pemberitaan dan desas-desus tentang kasusnya sudah lebih dulu merusak reputasinya, membentuk opini publik yang seolah menyatakan ia bersalah, padahal bukti konkritnya belum ada.

Contoh lain adalah kasus Tol MBZ yang menjadi perdebatan panjang. Salah satu terdakwa pada kasus ini juga meminta untuk dibebaskan setelah proses panjang karena tidak adanya bukti yang cukup. Kendati demikian, langkah ini sering kali terlambat dan dampak negatif sudah terlanjur dirasakan oleh pihak terdakwa.

Di sisi lain, laporan dari mantan Presiden Jokowi pada tahun 2022 menunjukkan jumlah pejabat yang sudah tertangkap dalam kasus korupsi sejak 2004 mencapai angka yang cukup besar, meliputi menteri hingga ketua DPR. Meski angka ini mengesankan, perlu diperhatikan apakah semua pelaku mendapatkan perlakuan hukum yang sama, atau hanya terbatas pada figur-figur tertentu dengan alasan tertentu.

Pembunuhan Karakter sebagai Instrumen Politik

Fenomena ini semakin kuat dikaitkan dengan istilah "pembunuhan karakter." Ketika nama seseorang dikaitkan dengan korupsi, publik cenderung menganggapnya sebagai sosok yang tidak bermoral dan berbahaya bagi masyarakat.

Meskipun proses pengadilan belum selesai atau bahkan bukti-bukti tidak cukup untuk membuktikan kesalahan, stigma negatif terhadap tokoh tersebut sulit untuk dihilangkan. Proses hukum yang bertele-tele, pemberitaan yang berulang kali, serta opini-opini yang tersebar di media sosial mengakibatkan pembentukan citra negatif yang sangat merugikan.

Hal ini tidak hanya terjadi pada individu yang memang benar-benar bersalah, namun juga pada mereka yang belum tentu terbukti terlibat. Kasus bebasnya Samin Tan, misalnya, menunjukkan adanya kelemahan dalam penegakan hukum, yang menimbulkan dugaan bahwa sistem peradilan di Indonesia rentan disusupi kepentingan-kepentingan tertentu. Pembebasan terdakwa besar seperti Samin Tan menambah daftar panjang figur-figur yang bebas atau mendapat keringanan hukuman dalam skandal korupsi besar.

Muatan Politis dalam Proses Hukum

Seleksi penanganan kasus korupsi ini juga menimbulkan pertanyaan, apakah tebang pilih ini sengaja dilakukan untuk menjatuhkan lawan politik tertentu?. Kemudian juga, tokoh yang terkait merupakan oposisi atau bagian dari koalisi, kerap kali menjadi penentu utama dalam proses hukum yang dijalaninya. Di Indonesia, sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum seringkali bersinggungan dengan kekuatan politik yang berpengaruh dalam pemerintahan.

Fenomena tebang pilih dalam penegakan hukum korupsi bukan sekadar seleksi pelaku mana yang diangkat, melainkan turut berdampak pada tatanan politik itu sendiri. Dengan dijadikannya tokoh-tokoh tertentu sebagai "kambing hitam", kekuasaan seakan menunjukkan keberpihakan yang itu merusak integritas dari proses hukum. Hal ini tidak hanya menjatuhkan tokoh-tokoh tertentu, tetapi juga memberikan pelajaran bagi aktor politik lainnya untuk berpihak kepada penguasa agar terhindar dari ancaman hukum.

Dampak terhadap Persepsi Publik

Fenomena tebang pilih ini tentu berdampak buruk pada kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Masyarakat yang menyaksikan inkonsistensi ini mulai mempertanyakan kejujuran dan kredibilitas penegakan hukum di Indonesia. Hal ini juga memperlihatkan adanya ketidakadilan struktural yang mengakar kuat di dalam sistem, di mana pihak-pihak tertentu mampu menghindar dari proses hukum atau bahkan memanfaatkan proses hukum untuk menjatuhkan lawan.

Pemberitaan yang selektif juga menambah efek buruk bagi masyarakat. Dalam kasus yang melibatkan nama-nama besar, media memiliki kekuatan besar untuk membentuk opini publik. Ketika media hanya mengangkat kasus tertentu dan mengesampingkan kasus lain, masyarakat akan terbentuk opini bahwa yang bersalah hanyalah mereka yang muncul di media, meskipun ada banyak kasus serupa yang tidak mendapat sorotan.

Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi seharusnya dilakukan dengan konsisten dan tanpa pandang bulu. Sistem yang berpihak tidak hanya menciptakan ketidakadilan bagi individu tertentu, tetapi juga merusak tatanan sosial serta kredibilitas hukum itu sendiri.

Kondisi ini memperkuat ketidakadilan struktural yang terjadi di Indonesia, di mana status sosial atau hubungan politik menjadi faktor signifikan dalam proses hukum yang dialami seseorang. Pemanfaatan hukum untuk kepentingan politik ini bisa berdampak luas, bukan hanya kepada tokoh-tokoh tertentu, tetapi juga pada rakyat yang menginginkan keadilan yang seadil-adilnya. Dalam jangka panjang, jika praktik seperti ini terus berlanjut, akan menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi penegak hukum, serta menghambat perkembangan demokrasi yang sehat di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun