Suatu hari, saya sedang menjelajah media sosial dan menemukan sebuah video yang membahas tentang Suku Muna di Sulawesi Tenggara.Â
Pembahasan dalam video itu menjelaskan mengenai kepercayaan lokal suku Muna dalam mengolah makanannya dan menganggap bahwa, ketika mengolah ayam utuh, ada bagian tertentu yang merupakan "titipan" untuk "makhluk lain".Â
Kedengarannya sangat unik dan juga menyeramkan, apalagi, stereotipe mengenai "makhluk lain" biasa dikaitkan dengan roh-roh tertentu.Â
Bahkan kita cenderung meninggalkan kearifan lokal tersebut karena dianggap "tidak relevan" dalam kehidupan ini hanya karena kita mengaggap bahwa nilai-nilai tersebut berkaitan dengan hal mistis.Â
Anggap saja ketika muncul kata "leluhur", kurang lebih pemikiran yang muncul adalah roh-roh dari seseorang di masa lalu, yang padahal maksudnya adalah warisannya yang diturunkan dari leluhur, bukan merujuk ke leluhurnya itu sendiri.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan dengan suku dan kebudayaannya, sehingga kita memiliki kehidupan yang beragam.
Bersyukur kita hidup dan berdiri dalam ideologi Pancasila yang mempersatukan perbedaan di antara kita.
Kekayaan ini membuat kita jadi mengenal berbagai kearifan lokal (local wisdom) yang sangat beragam, tergantung suku dan budayanya.
Seperti halnya kepercayaan suku Muna yang sudah saya jelaskan di awal paragraf. Mengolah ayam adalah salah satu contoh yang dibahas pada video tersebut.
Suku Muna mempercayai, bahwa ada bagian tertentu yang perlu diberikan kepada makhluk lain. Makhluk lain yang dimaksud oleh mereka, yaitu untuk hewan ternak lainnya seperti babi.Â
Jadi, makhluk lain yang dimaksud ialah makhluk hidup lainnya dan bagian seperti brutu atau tunggir (ekor ayam) itu diberikan sebagai pakan ternak.Â
Oleh karena penyampaian dan bahasa yang mereka gunakan itu menjadi terdengar asing bagi kita, namun itu lah yang mereka percayai.
Sebenarnya, jika kita pikirkan dengan baik, bagian dari ayam tersebut secara mudah kita bisa mengartikan sebagai pakan ternak.
Lalu apa hebatnya dari kearifan lokal ini? Hebatnya ada pada bagaimana cara mereka mengolah bahan pangan yang menerapkan bebas sampah (zero waste) dan biodinamika.Â
Pertama, mengapa kepercayaan itu bisa membawa mereka ke penerapan zero waste?
Kita bisa mengetahui bagaimana cara mereka mempunyai prinsip bahwa tidak semua milik mereka dan mereka harus mengembalikannya untuk alam.Â
Seperti halnya bagian brutu ayam tersebut, mereka akan mengolahnya untuk pakan ternak, yang artinya tidak ada hal yang di sia-siakan.
Kemudian, saya juga menyebutkan tentang biodinamika, apakah ada yang sudah mendengar kata tersebut?
Jika belum, biodinamika ini merupakan suatu metode praktis yang berprinsip pada nilai holistik dan keberlanjutan bagi ekosistem.Â
Misalnya mengurangi penggunaan pupuk kimia dan pesitisida kimia yang dapat mengganggu kesehatan dan kesuburan tanah.
Konsep utama dari biodinamika ini adalah bagaimana kita bisa menjaga ekosistem secara organik, tanpa ada campur tangan bahan kimia sintetis.
Penerapan biodinamika pada suku Muna ini, timbul dengan konsep zero waste yang mereka percaya.
Kearifan lokal ini membuat mereka menjalani hidup dengan prinsip zero waste dan menjaga lingkungan tempat mereka hidup.
Kepercayaan ini sudah ada secara turun temurun, dan seketika ada pemikiran yang terbesit di kepala saya bahwa orang zaman dahulu jauh hidup lebih "moderen" dari pada kita saat ini.Â
Lucunya, kita yang hidup di zaman moderen saat ini berpikir untuk "back to nature" dan mulai memikirkan cara meminimalisir sampah.
Padahal, jika kita lebih mendalami dan mempelajari kearifan lokal di sekitar kita, justru kita bisa mendapatkan nilai-nilai penting seperti yang diterapkan oleh suku Muna.
Pada video tersebut, saya melihat dan dijelaskan bahwa bagian-bagian dari ayam yang diberikan kepada makhluk lain itu adalah bagian jeroan dan lemak dari ayam tersebut.Â
Warga suku Muna tidak mengonsumsi bagian-bagian tersebut karena mempercayai bahwa bagian tersebut ya untuk makhluk lain.
Namun, jika kita melihat dari segi kesehatan, jeroan dan lemak memang tidak baik jika dikonsumsi oleh manusia.
Lemak memang ada sisi baiknya, namun jika dikonsumsi terus menerus, dapat meningkatkan kolesterol darah.
Lemak pun juga banyak ditemukan pada jeroan, sehingga tidak baik juga untuk kesehatan.
Oleh karena itu, warga suku Muna terbiasa mengonsumsi ayam tanpa lemak.
Kebiasaan itu yang bisa kita ambil untuk kita bisa memiliki pola diet yang baik dan juga bagaimana kita membiasakan diri untuk memanfaatkan limbah makanan sebaik mungkin agar menerapkan prinsip zero waste.Â
Ini baru satu suku, bagaimana dengan suku-suku lainnya?
Baru satu hal yang suku Muna lakukan, tapi kita bisa mendapatkan banyak nilai, yaitu prinsip hidup zero waste, biodinamika, dan pola diet sehat.
Oleh karena itu, apakah para pembaca mulai merasa tertarik untuk belajar kearifan lokal suku-suku di Indonesia?
Meskipun pada kenyataannya, kita melihat bahwa kearifan lokal di Indonesia itu erat kaitannya dengan hal mistis dan bahkan kita anggap sebagai mitos.
Padahal, menurut saya, tidak semua kearifan lokal itu adalah mitos, tetapi hanya kita yang kurang mendalami makna dari "mitos" tersebut.Â
Kita memang tidak boleh mempercayai mitos, tetapi ketika "mitos" itu berasal dari kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat tertentu, ada baiknya untuk kita mempelajari dan memahami makna dari kearifan lokal tersebut.
Belajar itu belum tentu mempercayai, tetapi dengan belajar, kita bisa memahami makna di dalamnya. Masalah kepercayaan, itu tergantung pada keputusan kita masing-masing.Â
Terima kasih sudah membaca.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI