Bayangkan ketika kita baru saja membuka warung makan, masakan sudah dibuat dengan sepenuh hati, ramai pengunjung, dan tiba-tiba ada yang merekam video terhadap masakan kita. Mending kalau orangnya minta izin, lah ini merekamnya secara sembunyi-sembunyi dan kemudian memberi komentar jelek terhadap masakan yang kita buat sepenuh hati. Hal apa yang muncul dalam hati kita ketika mendapat "ulasan" jelek dari orang lain, padahal kita tidak meminta pendapatnya?
Sekarang ini sedang ada isu ramai, yang berasal dari seorang juru masak atau pemilik usaha yang tidak menyukai cara ulasan yang bersifat menyerang, menggunakan kata-kata yang terkesan "wah", dan setiap review jelek itu dibalut dengan kata "kritikan yang membangun". Sebetulnya tidak ada yang salah ketika kita menjadi seorang "food reviewer" atau "food blogger" yang menikmati dan juga memberi ulasan terhadap masakan yang disajikan.
Tetapi, semua itu perlu dilandasi dengan etika yang tepat. Seperti halnya seorang jurnalis pun, mereka memiliki kode etik tersendiri ketika hendak mencari dan membuat berita yang nantinya akan dibaca oleh pembaca. Bahkan, dalam ranah sederhana pun, kita perlu memiliki etika ketika bertamu, bertemu dengan orang yang lebih tua dari kita, dan etika lainnya. Etika ini memanglah tidak tertulis dan sudah sewajarnya harus dibangun dari kesadaran diri sendiri. Seperti halnya ketika kita merasa tidak senang dapat kritikan, ya tidak usah perlu mengkritik.
Masalahnya, bagi sebagian orang, masalah etika ini menjadi hal sepele dan biasanya berlindung di balik kata "loh, kan tidak ada aturan atau larangan yang menjelaskan tentang ini dan itu?". Ketika ada orang yang mengatakan hal seperti itu, perasaan saya sangat tergelitik dan merasa ingin memberi lipstik wasabi ke bibir orang itu.Â
Saya rasa, mungkin dia merasa bersalah tapi tidak mau disalahkan, akhirnya pakai kata mujarab tersebut. Etika itu berkaitan dengan norma, dan norma tidak selalu harus tertulis seperti layaknya peraturan atau undang-undang. Lucunya, ketika norma itu ditulis dalam bentuk peraturan, nanti akan muncul kalimat baru "ah, banyak banget aturannya". Sungguh unik orang yang memiliki pola pikir seperti ini.
Ada masalah lainnya yang muncul, yaitu memberikan sikap arogan dengan menjelekkan makanan dan berlindung dengan kalimat "loh ini kritikan saya, saya seperti ini dan hak saya memberi kritikan", lalu "kalau tidak suka kritikan, tidak usah membuka warung makanan dong". Apakah kalimat tersebut sungguh enak dan menarik di telinga kita? Saya rasa tidak, dan tidak merdu di telinga kita.
Nah, sekarang, bagaimana etika kita sebagai seorang atau calon food reviewer? Pada artikel ini, saya ingin memberikan beberapa etika yang saya rasa sangat lumrah dan berguna juga di kehidupan sehari-hari. Tentunya dengan syarat bahwa etika ini berlaku untuk food reviewer yang datang dan mengulas makanan atau minuman tanpa sepengetahuan dari pihak tempat makan.Â
Berikut ini beberapa etika dasarnya
- Datang dengan ramah
Masuklah ke restoran, warung makan, atau kafe dengan ramah. Bersikaplah sebagai seorang pelanggan yang memang ingin makan dan menikmati waktu sambil menikmati hidangan yang ingin kita nikmati. Sapa pramusaji atau para staf yang bekerja di tempat itu. Karena kita tidak tahu, bisa saja pemilik usaha ikut bekerja di situ. Datang dengan hati damai, menyapa dengan ramah, dan memberikan senyuman itu bisa memberikan impresi yang menyenangkan untuk kedua pihak.
Apabila stafnya tidak ramah dan tidak menyenangkan untuk kita, ya tidak perlu mengulas atau cukup dengan tidak mengulas tempat tersebut. Karena, apabila sikap tidak ramah itu berlangsung terus menerus, secara tidak langsung akan tersiar dari mulut ke mulut dan dampaknya akan besar untuk keberlangsungan bisnis usaha tersebut.
- Beli makanannya, coba dulu