Mohon tunggu...
Bagas Candrakanta
Bagas Candrakanta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

SMI - Sopan Mengelaborasi Ide

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Sama Bencong

7 Januari 2017   07:17 Diperbarui: 7 Januari 2017   08:01 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makna | Penulis merasa malu dengan hal yang tidak saya hargai. Saya akan memandang sebelah mata kepada orang yang melakukan kegiatan ‘kecil’. Sering sekali saya berbisik dalam hati sambil mengejek mereka. Hal ini terjadi setiap hari. Saya sadar bahwa pikiran ini adalah pikiran yang tidak seharusnya. Orangtua tidak mengajar hal seperti ini. Saya pun bertanya kepada diri sendiri, mengapa dan bagaimana proses tiba-tiba muncul pikiran seperti memandang sebelah mata ini, ke alam bawah sadar saya. Saya menyimpulkan, sesungguhnya, banyak hal yang sepatutnya dikemas dengan baik, dari sebuah momen memalukan sekalipun.

Tukang Sampah | Setiap pagi, senin hingga sabtu, ia selalu datang. Datang dengan kendaraan khusus nan bersuara unik, membangunkan saya dari mimpi yang kadang indah, kadang terlupakan. Plastik sampah yang sudah digantung di dekat rumah masing-masing, diambil dan diurus ke tempat seharusnya. Setiap saya mendengar suara knalpot kendaraan khususnya, yang selalu kusebut gerobak eletrik, saya pasti senyum-senyum sendiri. Penulis membayangkan apakah sanggup menjadi tukang sampah sehari saja. Apakah sanggup saya tidak membawa perasaan malu selagi menjalankan kegiatan tersebut. Saya juga menyadari bahwa Kang Pah, begitu saya menyebutnya, tidak mempunyai pilihan yang lain selain melakukan kegiatan tersebut guna mencari kertas, yang baru saja diperkenalkan jenis barunya. Tidak setiap pagi sih, saya berani berbangga karena hanya saya menyapa Kang Pah di komplek perumahan ini.

Bungkus Permen | Beberapa hari yang lalu, saya pergi ke bank guna melunaskan tunggakan PBB yang sudah sangat lama dicuekin. Selagi menunggu Ibu teller yang manis menyelesaikan pekerjaanya, saya mengambil permen yang disediakan. Saya tidak sengaja melihat seorang bapak-bapak yang setelah melahap permennya, bungkus permennya dikantongin. Penulis senyum-senyum sendiri. “Masih ada orang kayak gini”, bisik saya dalam hati. Saya langsung teringat dengan seorang guru olahraga pada sewaktu SMA, yang menceritakan betapa bangganya ia saat mendengar dari istrinya yang menemukan banyak bungkus permen di kantong celana anaknya. Ia selalu mengajarkan kepada putrinya yang masih termasuk salah satu murid SD, untuk selalu membuang bungkus permen di kantong celana sendiri apabila tidak ada tempat sampah terdekat. Pada hari itu, saya mulai belajar untuk setidaknya tidak perlu berlebihan berkoar-koar kepada orang lain untuk menjaga kebersihan. Cukup mulai dari hidup saya sendiri.

Orang tua | Satu hal yang hampir semua orang tua tidak bisa lepaskan adalah keleletan mereka dalam mengerjakan sesuatu. Saya selalu mengerutkan dahi saat mendapati mereka melakukan semuanya lambat. Tetapi ada kabar baiknya, tingkat akurasinya tinggi sekali. Beda sekali dengan saya yang selalu mengerjakan semuanya dengan cepat tetapi selalu mengulangnya beberapa kali karena kurang tepat. Mungkin ini salah satu alasan mengapa orang tua selalu dapat menemukan sesuatu yang saya sulit menemukannya. Contohnya saja dasi SMA. Jika kita perhatikan, kebanyakan orang tua itu telitinya kebangetan, melebihi tingkat ketelitian CIA. Mereka lambat, tapi tepat. Saya cepat, tapi tidak selesai-selesai.        

Pada akhirnya saya belajar bahwa yang membuat saya malu, sepatutnya saya kemas lebih baik agar ada pembelajaran. Ini hanya masalah bagaimana saya melihat. Saya tidak bisa mengubah dunia mereka, tapi saya pasti bisa mengubah dunia saya.

Sekitar jam 7 pagi, saat sedang menunggu lampu merah berakhir, saya melihat bencong berpakaian merah mawar sedang berusaha menghibur orang-orang, dengan harapan diberikan uang. Sekitar jam 6 sore, saya mendapati lagi bencong yang sama, tetapi lokasi yang bedanya jauh dari tadi pagi. Menjadi bencong memang memalukan. Tapi lihat bagaimana si baju merah banyak bulu berkeliling kota, sedangkan saya mandi saja kadang-kadang malas.

Menjadi bencong memang memalukan. Maka dari itu, jangan kalah dari bencong. Mari belajar bersama bencong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun