Mohon tunggu...
Bagas Candrakanta
Bagas Candrakanta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

SMI - Sopan Mengelaborasi Ide

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sok Pintar Itu Perlu

2 Januari 2017   12:25 Diperbarui: 3 Januari 2017   10:41 1225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir semua orang tidak nyaman dikatakan ‘sok’ atau hampir semua orang pernah mengkritik orang lain dengan kata ‘sok’. ‘Sok’ itu lebih dikategorikan arogan atau sombong. Mereka yang mengkritik selalu mengatakan, “Dia sok pintar” atau, “Dia sok ganteng”. Kata 'sok' ini sudah menjadi main course sehari-hari, bukan hanya di Indonesia loh ya. Mereka, yang mengkritik, menasihati agar sebaiknya jadilah diri sendiri, tidak perlu ‘sok’. Saya mempunyai pendapat lain. Saya berpendapat bahwa kita wajib ‘sok‘, diikuti dengan embel-embelnya (sok pintar, sok ganteng, sok lucu dan lain-lain). Menurut saya, mereka yang mengatakan, “Jangan sok-sok lah” itu keliru mengartikan jargon be yourself.

Banyak orang tidak suka dengan orang yang ‘sok pintar’ dan mengkritik. Sebenarnya, dengan mengkritik orang yang sedang ‘sok pintar’, mereka juga sedang melakukannya, bedanya mereka tidak sadar. Tidak semua orang yang sedang ‘sok pintar’ itu sadar sedang melakukan ‘sok pintar’. Bahkan ada quote yang mengatakan, kita ini seperti pengacara yang handal untuk orang lain tapi menjadi pengacara yang mabuk untuk diri sendiri. Yang berarti, kita pandai menilai orang lain tapi sebenarnya belum selesai dengan diri sendiri.

‘Sok pintar’ itu harus. Jika tidak sok-sok untuk pintar, maka kita pasti pasrah dengan ujian akhir semester. “Ahh, aku memang gak ngerti pelajaran ini. Gak ngerti, gak ngerti aja. Yang penting aku jadi diri sendiri. Inilah aku.” Itulah alasan yang digunakan untuk orang yang ogah ‘sok pintar’. Komika Adriano Qalbi mengatakan, “Gua kurang ‘srek’ dengan orang yang suka kirim-kirim link-link berita. Dia merasa pintar”.

Menanggapi pernyataan ini, ada benarnya, ada salahnya. Salahnya adalah, jika ia sudah menyebarkan informasi yang sebenarnya ia pun belum sepenuhnya tahu. Menjadikan alasan ingin dilihat pintar dengan menyebarkan link/informasi, itu valid. Toh karena ingin dilihat pintar, kita jadi baca suatu berita karena niat mau disebarkan, kita jadi tahu informasi tersebut, bukan? Itu poinnya. Legal saja menganggap diri sendiri pintar, dengan catatan memang benar-benar mampu untuk mengemban title tersebut. Apa pun motivasinya, sah-sahnya saja untuk mendapatkan dorongan untuk mengetahui informasi baru.

Gambar: wajibbaca.com
Gambar: wajibbaca.com
Menjadi ‘sok pintar’ itu perlu. Yang tidak ingin 'sok pintar' hanyalah orang yang kurang percaya diri dan minder. Dia gak percaya diri bahwa ia sebenarnya adalah orang yang cukup untuk dikatakan pintar. Dia menganggap dirinya pas-pasan. Dia menganggap dirinya medioker. Yang menghindari orang yang ‘sok pintar’, sebenarnya sedang melewatkan informasi yang tersebar. Mereka yang merasa alergi dengan si ‘sok pintar’, sebenarnya sedang memintarkan dirinya sendiri. Seperti yang saya katakan di atas, bedanya mereka tidak sadar.

Akan lebih baik kalau sedikit percaya diri. Sadarlah bahwa You’re better than this.

Bayangkan jika semua orang menolak untuk dikatakan ‘sok’. Kita tidak akan mempunyai contoh seorang putri tukang becak mendapat IPK besar dan mendapatkan beasiswa ke Inggris, karena tidak ingin dikatakan ‘sok pintar’. Kita tidak akan melihat sebuah film Indonesia yang mencatatkan rekor dengan penonton terbanyak (6 juta lebih), yaitu Warkop DKI, kalau mereka tidak ingin dikatakan ‘sok lucu’. Di dunia tidak akan ada salon-salon kecantikan, penasehat tentang jerawat, dan dokter gigi, karena mereka tidak yakin orang lain ingin dikatakan sok cantik/ganteng. Bayangkan kalau tidak ada orang yang tidak mau ‘sok ganteng’. Jelek terus aku.

Jadi, kita wajib ‘sok’ nih? Yap, kita perlu ‘sok’. Yang tidak boleh adalah ‘sok’ yang nanggung. Percayalah, hujatan akan mengalir lebih deras jika sok-soknya nanggung. Saya sudah mengatakan di atas, bahwa menjadikan alasan ingin dilihat pintar sebagai motivasi untuk membaca dengan niat menyebarkan, itu sah. Yang membuat orang lain ‘anti’ sekali dengan orang ‘sok pintar’ adalah, karena memang kebanyakan orang melakukannya secara terbalik. Kebanyakan orang belum membaca tapi sudah ‘sok pintar’. 

Kebalik, kan? Seharusnya membaca dulu baru ‘sok pintar’. Jadilah ‘sok pintar’ yang profesional. Jika ingin dikatakan ‘sok pintar’, pintar aja sekalian. Kalo ingin dianggap ‘sok tahu’, tahu aja sepenuhnya. Kalo mau dibilang ‘sok ganteng’, ganteng aja sekalian (kalau ada duit banyak). Intinya, janganlah nanggung, sampai orang lain tidak melihat ‘sok’nya. Yang mereka lihat pintarnya, gantengnya, dll.

Jangan gagal memahami jargon be yourself. Menurut saya yang amatiran ini, be yourself itu seperti keran air. Bisa dibuka tapi kalau bak sudah penuh, ditutup. Artinya ada sebuah prinsip yang tidak akan kita tolerir. Mereka yang be yourself tidak mau seperti orang lain yang melangkahi prinsipnya. Mereka yang be yourself tidak akan menjadi orang seperti itu. Menjadi be yourself bukan pasrah dan mengatakan “inilah aku”. Sedih amat. Asalkan bak belum penuh, buat apa kerannya ditutup, kan?

Sesungguhnya, kalau kita merasa jengkel menjadi ‘sok pintar’ dan sok-sok lainnya, akibat kritikan orang lain, yaa susah deh :D

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun