Korupsi sudah sangat menjamur di negeri ini, tidak hanya dalam tubuh legislatif tetapi juga dalam tubuh birokrat di Indonesia. Beberapa lembaga pengawasan tindak pidana korupsi yang sudah dibentuk pun nyatanya belum sepenuhnya mampu untuk memberantas korupsi dinegeri ini.
Hukuman yang jelas diberikan kepada para pelaku tindak pidana korupsi nyatanya belum menimbulkan efek jera dan justru muncul wajah-wajah baru pelaku tindak pidana korupsi di Negeri ini.
Korupsi merupakan perbuatan yang tidak terpuji dan merupakan kejahatan yang luar biasa yang dapat merugikan kehidupan masyarakat luas. Perilaku korupsi sudah sangat membudaya dan berkembang secara sistemik serta menjadi kebiasaan di Negeri ini. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kasus tindak pidana korupsi tertinggi di dunia. Bahkan hampir disetiap Lembaga Pemerintah tidak lepas dari praktik korupsi.
Mengutip dari laman resmi KPK, baru-baru ini KPK Tetapkan 3 Tersangka Korupsi Pengurusan Hak Guna Usaha Kebun di Riau. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa pemberian dan penerimaan hadiah atau janji terkait pengurusan dan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) di Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau.Â
Ketiga tersangka tersebut yaitu MS Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau; FW Pihak Swasta/Pemegang Saham PT AA; dan SDR General Manager PT AA. Perkara ini merupakan pengembangan dari kegiatan tangkap tangan KPK yang melibatkan Bupati Kuantan Singingi Andi Putra.
Dalam perkara ini, FW diduga menugaskan SDR mengurus perpanjangan sertifikat HGU PT AA seluas 3300 Hektare di Kabupaten Kuantan Singingi. SDR lalu menemui MS.Â
Dalam pertemuan tersebut MS diduga meminta uang sekitar Rp3,5 Miliar dalam bentuk Dollar Singapura dengan pembagian 40% s.d 60% sebagai uang muka, dan MS menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA. Selanjutnya SDR melakukan penyerahan uang senilai SGD120.000 kepada MS pada September 2021.
Dalam kasus tersebut menegaskan bahwa sektor pelayanan publik menjadi salah satu lahan yang paling basah terkait  korupsi  ini. Sehingga tidak mengherankan, jika kasus-kasus seperti pungutan  liar, gratifikasi, dan sejenisnya kerapkali terjadi di area ini. Alhasil, birokrasi tidak lagi berjalan efektif dan efisien. Birokrasi pada akhirnya hanya menjadi pelayan penguasa dan oknum-oknum yang menghalalkan segala cara.
Maraknya Proses Gratifikasi seperti ini membuat kualitas pelayanan di negeri ini menurun. Berikut ini pengertian gratifikasi dan peraturan yang mengatur gratifikasi.Â
Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pengecualian:
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan yang Mengatur Gratifikasi
Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
Sanksi
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Adapun beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi atau mengurangi korupsi dalam tubuh birokrat antara lain : Reformasi birokrasi dan reformasi pelayanan publik adalah salah satu cara untuk mencegah korupsi. Semakin banyak meja yang harus dilewati untuk mengurus suatu hal, semakin banyak pula kemungkinan untuk terjadinya korupsi.Â
Salah satu cara untuk menghindari praktek suap menyuap dalam rangka pelayanan publik adalah dengan mengumumkan secara resmi biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk mengurus suatu hal seperti mengurus paspor, mengurus SIM, mengurus ijin usaha atau Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dsb.
Ada pula satu hal yang juga mengurangi resiko korupsi adalah dengan memperbaiki dan memantau kinerja Pemerintah Daerah. Sebelum Otonomi Daerah diberlakukan, umumnya semua kebijakan diambil oleh Pemerintah Pusat.Â
Dengan otonomi yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, kantong korupsi tidak terpusat hanya di Pemerintah Pusat saja tetapi berkembang di berbagai daerah. Untuk itu kinerja dari aparat pemerintahan di daerah juga perlu diperbaiki dan dipantau atau diawasi.
ReferensiÂ
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H