Mohon tunggu...
Bagas Adi Nugroho
Bagas Adi Nugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Negeri Semarang

Saya memiliki hobi menulis, menempuh pendidikan di Universitas Negeri Semarang jurusan ilmu sejarah, saya pernah terlibat di dalam sebuah organisasi Himpunan Mahasiswa Sejarah UNNES

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dinamika Pers Pada Masa Orde Baru (1966-1998)

15 Desember 2024   15:13 Diperbarui: 15 Desember 2024   15:13 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dinamika Pers Pada Masa Orde Baru ( 1966-1998 )


Pers merupakan sebuah media yang berfungsi untuk mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan informasi kepada publik.  Informasi yang disampaikan berupa opini, berita atau gagasan yang berkaitan dengan berbagai bidang, seperti ekonomi, politik, sosial budaya dan sebagainya. Pers juga dianggap sebagai sebuah media berekspresi untuk menyampaikan suara-suara masyarakat. Namun pada masa Orde Baru kebebasan pers sangat memprihatinkan, sebuah media yang pada awalnya dikenal sebagai sarana berekspresi berubah menjadi media yang dibelenggu oleh pemerintah. Selama pemerintah orde baru kebebasan pers dibatasi dan diawasi secara ketat oleh pemerintah sehingga tidak maksimal dalam menjalankan fungsinya (Susilastuti,2000). Hadirnya UU No.11 tahun 1966 tentang Prinsip-prinsip Dasar Pers tidak membawa situasi pers lebih baik. Dimana UU ini menempatkan pers yang bebas tanpa sensor, namun disisi lain pers wajib memiliki Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Sehingga lembaga pers yang ingin menerbitkan suatu berita, maka harus memiliki surat izin terbit terlebih dahulu dari Departemen Penerangan. Hal tersebut didasarkan demi dalih keamanan dan tanggungjawab pers itu sendiri (Eddyono, 2021).
Kondisi Pers Masa Orde Baru
Pada masa orde baru pers dijadikan sebagai alat pemerintah untuk mengkampanyekan dan memberitakan program-program pemerintahan orde baru, yang dikemas dalam pers pembangunan atau pers Pancasila dengan mengembangkan mekanisme interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat  serta konsep pembangunan yang dikembangkan  dalam model komunikasi pendukung pembangunan (Syafriadi, 2017). Pada saat itu, kritik pers dianggap mampu menimbulkan kestabilan dan keamanan negara. Hal itu menyebabkan pers dikendalikan dan diawasi oleh pemerintah melalui Departemen Penerangan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan terhadap pers dengan dikeluarkannya TAP MPRS XXXII/MPRS/1966 tentang pembinaan pers, sebagai tindakan represif pemerintah untuk mengawasi pers. Dengan dibatasinya pemberitaan pada saat itu, hal tersebut tentu menimbulkan kendala bagi lembaga pers dan jurnalis. Mereka dituntut untuk lebih berhati-hati pada saat menulis dan menyampaikan informasi, jika tidak maka media mereka akan langsung di boikot oleh pemerintah. Salah satu contoh media yang dibredel adalah Majalah Tempo pada tahun 1982 karena dianggap terlalu tajam mengkritik rezim orde baru dan kendaraan politiknya, Parta Golkar terkait dengan pelaksanaan pemilu 1982. Pada tahun 1994, Majalah Tempo kembali di bredel oleh pemerintah, kali ini melibatkan Majalah Editor dan Tabloid Detik karena terlalu keras dalam mengkritik Soeharto dan Habibie terkait keputusan membeli kapal bekas dari Jerman. Secara umum pembredelan terhadap Majalah Tempo dilakukan oleh pemerintah karena dianggap dapat mengancam stabilitas dan keamanan negara. Kritik-kritik tajam yang dilontarkan oleh Majalah Tempo pada pemerintahan orde baru dianggap sebagi provokasi dan upaya untuk menggulingkan pemerintahan.Tantangan lain yang dihadapi oleh jurnalis selain pembatasan dan pembredelan adalah jurnalis yang diklaim menghina Soeharto dan rezimnya akan langsung masuk list daftar hitam . Dimana jurnalis yang masuk ke daftar hitam tidak diizinkan melaksanakan tugasnya kembali, sebelum mendapatkan izin dari Direktorat Jenderal Pers dan Grafika (Aziz,2018).
Pada masa orde baru, kebebasan pers sangat dibelenggu dalam kontrol pemerintah. Media paa saat itu diperintahkan untuk mengikuti panduan dan narasi pemerintah yang mendukung rezim orde baru. Pers digunakan sebagai alat untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaan rezim orde baru. Kontrol yang kuat diterapkan terhadap setiap pemberitaan yang dapat mengancam kestabilan dan politik pemerintahan. Pembatasan ini seperti penyaringan berita, pengawasan isi berita, dan penghukuman terhadap jurnalis yang tidak pro pada pemerintah. Sehingga, informasi yang disaring seringkali hanya untuk memenuhi agenda pemerintah untuk mencegah kritik terhadapnya. Kritik terhadap pemerintah menjadi hal yang dilarang untuk dilakukan baik oleh pers maupun aktivis. Bagi mereka yang tidak mengindahkan larangan tersebut maka akan langsung ditindak oleh orang-orang dibalik layar, dengan kemungkinan terburuknya adalah dihilangkan.
Kestabilan politik dan keamanan merupan hal yang sangat diperhatikan oleh pemerintah orde baru. Oleh karena itu, pemerintah memberikan pengawasan yang ketat terhadap media yang dianggap merugikan dan menganggu kestabilan politik pemerintah. Pers yang kontra terhadap orde baru akan langsung di bredel dan dicabut izin penerbitannya, sedangkan pers yang pro terhadap orde baru akan digandeng dan dilindungi oleh rezim dengan militer sebagai poros kekuatan utamanya. Namun dalam rangka untuk menunjukkan citra sebagai pemerintahan yang baik dan demokratis, pemerintah mengizinkan pers terbik dengan pengawasan ketat, membiarkannya tumbuh dan berkembang dengan kritik-kritik yang dibatasi agar tidak mengganggu stabilitas nasional.

Kesimpulan
Masa orde baru merupakan periode yang cukup panjang dalam sejarah Indonesia, dimana kebebasan pers mengalami pasang surut yang signifikan. Meskipun pada awalnya terdapat janji kebebasan pers, namun seiring berjalannya waktu kontrol pemerintah terhadap media semakin menguat. Pada masa ini pers berada dibawah tekanan yang kuat dari pemerintah, hal tersebut menyebabkan informasi yang diterima masyarakat menjadi terbatas dan tidak objektif. Penting untuk diingat kondisi pers pada masa orde baru telah menjadi pelajaran berharga bagi media Indonesia, sehingga setelah runtuhnya orde baru upaya untuk mewujudkan kebebasan pers yang lebih baik terus dilakukan.

Daftar Referensi :
Aziz. (2018). Konglomerasi Media Antara Kovergensi Media dan Kebebasan Berpendapat. Jurnal Ilmu Komunikasi, hlm 209-226.
Eddyono. (2021). Pers Alternatif pada Era Orde Baru : Dijinakkan hingga Dibungkam. Komunika, hlm 53-60.
Susilastuti. (2000). Kebebasan Pers Masa Orde Baru. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, hlm 221-242.
Syafriadi. (2017). Kemerdekaan Pers Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun