Mohon tunggu...
Dikdik Baehaqi Arif
Dikdik Baehaqi Arif Mohon Tunggu... -

|Orang biasa yang senang belajar, lahir desa kecil di Kabupaten Garut-Jawa Barat. Kini mencoba menjadi orang Jogja, mengamalkan bunyi ayat 'fantasiru fil ardi' "menyebar di muka bumi" mencari karunia-Nya|

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sekali Lagi "Tidak Cacat Moral"

26 April 2010   16:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:34 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ajang Pemilukada 2010 segera digelar. Setidaknya terdapat 244 Pemilukada di tahun ini, tujuh pemilukada berupa apemilihan gubernur dan wakil gubernur, yaitu di Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantas Selatan, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, dan Jambi. Sebanyak 202 sisanya, merupakan Pemilukada Kabupaten, dan 35 kota, yang tersebar di 32 provinsi. Maka berlomba-lombalah mereka yang "melamar" atau "dilamar" untuk menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota.

Setiap warga negara sebagaimana diamanatkan UUD 1945 telah diberikan hak yang sama untuk merebut jabatan publik itu. Karenanya, siapapun diperkenankan untuk bertarung dalam perebutan jabatan publik itu. Namun demikian, di beberapa daerah, dijumpai munculnya rezim keluarga dalam Pemilukada. Mereka yang "melamar" atau "dilamar" untuk menjadi kepala daerah berasal lingkungan terdekat yang sekarang berkuasa (incumbent), seperti istri, anak, adik, kakak. Ini tidak salah, tapi apa elok seperti itu?.

Di sisi lain, seperti Pilkada pertama pada 2005, Pemilukada tahun ini juga diwarnai oleh rencana munculnya kandidat yang berlatarbelakang artis, sebut saja Julia Perez di Pacitan Jawa Timur, Vena Melinda di Blitar, Jawa Timur, dan Ratih Sanggarwati di Ngawi, Jawa Timur, bahkan Maria Eva juga berencana mencalonkan diri. Mereka diganyang-ganyang akan mampu merebut jabatan sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah karena kepopuleran mereka di mata masyarakat.

Tentu, keikutsertaan mereka dalam kancah politik ini sah-sah saja sepanjang didukung oleh kompetensi atau kapabilitas mereka untuk memimpin. Tapi kalau kehadiran mereka sebatas karena kepopulrean saja, tentu ini menjadi persoalan. Mengapa? Sebab memimpin adalah "seni" yang tidak cukup dibangun oleh kepopuleran semata.

Siapapun yang akan maju bertarung dalam Pemilukada mestilah didukung oleh kemampuan yang mumpuni untuk memimpin, memiliki rekam jejak yang baik, dan tidak cacat moral. Sekali lagi, "tidak cacat moral". Dan siapa yang menilai kemampuan itu? tentu masyarakat sendiri. Biarlah masyarakat yang akan memberikan penilaian. Karenanya pemerintah, partai politik, dan semua komponen bangsa perlu melakukan pendidikan politik agar masyarakat tidak sampai salah memilih pemimpinnya. Yang terpenting, jangan sampai Pemilukada menjadi arena transaksi moral bagi calon untuk mensucikan diri dari latar belakangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun