Masalah lain kenapa bisa seorang Indra Sjafri yang dulu usai juara AFF dan dapat tiket ke Myanmar demikian gagahnya berkata: jangan coba-coba intervensi dan ganggu timnya selama lima tahun. Bahkan klub-klub pun di warning habis-habisan, jangan coba-coba merayu pemainnya.
Artinya, dulu dia dengan pede-nya bertegas-tegas dan berkomitmen dengan program yang ia yakini akan membawa Timnas yang ia pegang pantas diperhitungkan di manapun tim ini tampil. Hal-hal yang tak berkaitan dengan teknik, persiapan, dan hal tak penting lainnya, akan diabaikan, siapapun yang meminta.
Tetapi di tengah jalan, semuanya berubah. Sejumlah program yang menurut logika pelatih lainnya di Indonesia sudah jauh melenceng, terus berjalan. Unsur-unsur komersil terselip nyata dalam program tersebut. Celakanya Bung Indra pun sepertinya nampak menikmati. Gaya bicaranya dibuat santai di depan kamera televisi saat talk show atau wawancara lapangan, seolah timnya masih hebat dan baik-baik saja .
Dia pun juga seperti sudah lupa komitmen tegasnya dulu, ketika dia juga merasa enteng-enteng saja pemainnya satu-persatu diklaim atau dikapling-kapling klub-klub tertentu di Indonesia. Apa dia terlalu takut pada sosok-sosok ganas, sangar, dan lapar yang memenuhi PSSI dan BTN yang rata-rata juga godfather klub-klub itu?
Sama halnya saat si Uda kumis enteng-enteng saja menikmati waktu yang habis untuk traveling kemana-mana, beruji coba dalam dan luar negeri yang tanpa disadari sudah over dosis. Bandingkan dengan Uzbekistan yang hanya melakoni delapan kali uji coba internasional untuk turun di Myanmar. Sedang Indra dan pasukannya menjalaninya sebanyak 19 kali. Jika ditambah dengan Tur Nusantara yang pakai episode segala mirip sinetron, total jenderal 41 kali mereka bermain. Terus, semuanya itu untuk kepentingan apa, dan untuk siapa?
Wajar, kalau persiapan Tim Garuda Jaya saja sampai menelan anggaran sampai Rp30 miliar. Tetapi jangan lupa, pendapatan dari komersialisasi dan “eksploitasi” para pemain tak pernah ada laporan. Penglihatan dengan kasat mata saja nilai marketing hasil penjualan popularitas dan pesona anak-anak u-19 itu, mungkin mencapai ratusan miliar.
Ya, itulah sepakbola kita..... jika niat baik membangun sepakbola sudah dimasuki unsur komersialisasi, apalagi katanya juga unsur politik ikut bermain, sudah bisa ditebak akhirnya akan seperti apa. Hasil di AFC U-19 di Myanmar adalah jawaban nyata kondisi tersebut. Entah mau dibawa kemana sepakbola kita ini.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H