[caption id="attachment_379047" align="aligncenter" width="546" caption="KOMPAS.com / Okky Herman Dilaga"][/caption]
Selesai sudah, Timnas Indonesia kembali gagal lolos ke semifinal Piala AFF. Kemenangan meyakinkan dengan sepuluh pemain melumat Laos 5-1,  tetap  terasa hambar. Karena kemenangan itu sama sekali tak membantu Indonesia lolos dari lubang jarum.
Mungkin cita-cita yang terlalu tinggi, atau mimpi yang terlalu berlebihan bagi Skuad Garuda, untuk berharap Filipina bisa jadi dewa penolong dengan menekuk tuan rumah Vietnam dengan skor besar. Malah Filipina yang dipecundangi Vietnam 3-1.
Dua tahun beruntun gagal ke semifinal, tentu tamparan lagi  bagi sepakbola Indonesia. Karena hal ini semakin menunjukan, inilah negara besar, penduduk melimpah, kaya sumber daya alam, orangnya pintar-pintar, tapi sepakbolanya kecil, dan semakin kecil.
Padahal untuk urusan sepakbola, inilah olahraga yang paling digemari jutaan masyarakatnya. Mungkin tak ada anak lelaki Indonesia yang tak pernah main bola, walau di pelosok paling ujung sekalipun. Inilah negara yang rakyatnya paling gila dan tergila-gila pada sepakbola.
Kompetisinya, jangan ditanya lagi. Termasuk dalam daftar paling hingar-bingar ,  mulai dari  persaingan antar tim, carut- marutnya, amburadulnya,  sampai kegilaan suporternya. Tak hanya ditingkat Asia Tenggara, tapi juga Asia, bahkan dunia.
Bahkan pernah disebutkan suporter bola Indonesia nomor empat terbaik dan terfanatik dunia di dunia, baik dalam mendukung klub domestiknya, timnas, sampai jadi fans-fans klub  Eropa. Karena kadar kuantitas dan kualitas fanatiknya itu, sampai-sampai banyak klub-klub raksasa Eropa menjadikan  negeri ini pasar jersey dan merchandise  mereka.
Dengan datang mengusung  tajuk  tur  Indonesia  dimasa libur, mereka memuji-muji fans Indonesia untuk lebih memuluskan misi dagang jersey dan merchandise mereka.  Tapi hanya sebatas itu kehebatan Indonesia yang mendunia, selebihnya hanya pecundang, apalagi  kalau bicara tentang prestasi.
Sangat menyedihkan dan menyiksa, untuk negara sebesar ini dan dengan reputasi seperti yang ditulis diatas, untuk menjuarai sebuah turnamen regional seperti AFF saja begitu sulitnya. Sejak 1996 pertama kali AFF digelar dengan nama Piala Tiger, capaian terbaik Indonesia yang setengah abad lalu  masih  disegani di level  Asia, hanyalah runner-up.  Kurang lebih mirip mimpi seumur  hidup Belanda  untuk memeluk Piala Dunia.
Tahun 2014 mungkin AFF  terburuk yang dijalani Timnas Indonesia, jangankan bisa jadi finalis atau juara, untuk lolos semifinal saja tak mampu, plus dibumbui kekalahan memalukan 4-0 dari Filipina  yang membuat negara ini heboh.  Negara tanpa tradisi dan reputasi dibidang sepakbola sudah bisa mengalahkan Indonesia. Negara yang ketika Indonesia sudah mengaum di Asia era 1950-1970 an, mungkin belum atau baru belajar menendang bola.
Capaian yang sama dengan Timnas 2012 yang memang gagal juga ke semifinal AFF, tapi saat itu masih bisa dimaklumi. Karena yang bertarung adalah timnas compang-camping, pemain terbatas, dan kondisi serba minimalis, akibat imbas konflik federasi.
Tapi Timnas 2014 adalah tim yang disebut-sebut  terbaik, baik dari segi materi pemain ataupun  pelatih.  Kondisi mereka juga lebih 'mewah" dibanding timnas  2012. Walau sudah terbaik dalam segala hal, tetap saja capaian tak lebih baik dari timnas 2012  yg justru punya nilai lebih dari segi spirit, dan tanggungjawab terhadap jersey yang mereka pakai.
Tapi sungguhpun begitu, tetap ada hikmah dibalik kegagalan tahun ini. Laga melawan Laos, tetap memunculkan setitik harapan, jika melihat penampilan Evan Dimas, Manahati Lestusen, ataupun Ramdani Lestaluhu.
Mereka pemain muda, tapi  mampu memperlihatkan kemampuan yang menjanjikan sebagai pemain masa depan Indonesia. Harusnya ini sebuah sinyal, bahwa pemain seperti mereka perlu dirawat dan diberi kesempatan lebih luas untuk menjadi tulang punggung timnas kedepan.
Di luar masih banyak pemain-pemain muda seperti mereka, yang layak  mengambil estafet regenerasi di timnas Indonesia. Sudah saatnya pasukan veteran dengan kereta tuanya, memberi jalan kepada pemuda-pemuda yang masih punya spirit dan hati membara membela timnasnya.
Mungkin inilah saatnya generasi Firman Utina, Hariono, Muhammad Roby, M. Ridwan, Christian Gonzalez, Sergio van dijk, dan anggota pasukan U-35 lainnya menepi. Walau begitu, tetap tak lupa ucapan terima kasih untuk keringat, airmata, mungkin juga darah yang telah mengalir dibalik kemauan dan kelelahan mereka selama membela Timnas bertahun-tahun.
Saatnya regenerasi, semoga PSSI tak lagi tuli!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H