Mohon tunggu...
badru tamam
badru tamam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar menebar kebermanfaatan

Dengan menulis kau akan dikenang oleh mereka yang pernah membaca tulisanmu. Menulis akan membuatmu tetap hidup dan abadi melampaui waktu.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Akhlak dan Etika Perspektif Al-Ghazali

4 Agustus 2024   16:00 Diperbarui: 4 Agustus 2024   16:03 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam konsep tasawuf imam al-Ghazali, terdapat pendidikan moral dan etika. Karena, apa yang diajarkan oleh beliau lewat kitab-kitab tasawufnya itu terkait soal memperbaiki hati, kepribadian dan perilaku manusia. Beliau mengajarkan bagaimana seseorang membersihkan hatinya dari beragam penyakit dan kotoran, sehingga mempunyai akhlak yang mulia. Hal ini selaras dengan hadis nabi SAW, yaitu:


"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq." (HR. Ahmad 2/381, shahih)


Hadis ini menegaskan bahwa nabi Muhammad SAW diutus ke dunia tiada lain hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Maka, sufisme yang diajarkan oleh Imam al-Ghazali itu tidak bisa lepas dari semangat untuk membangun misi tersebut.


Definisi Akhlak
Akhlak secara etimologi kata "akhlak" berasal dari bahasa Arab yang memiliki beberapa arti, yaitu: al-Sajiyah (perangai), al-Tabi'ah (kelakuan), al-Adat (kebiasaan), al-Muru'ah (peradaban yang baik) dan ad-Din (agama). Secara terminologi, beberapa pakar ulama ada yang berpendapat bahwa istilah "akhlak" ini bisa diartikan dengan budi pekerti, adat-istiadat, kebiasaan, perangai, karakter, watak dan hal yang berkaitan dengan kepribadian.


Bagaimana akhlak menurut imam al-Ghazali?
Dalam kitab Ihya Ulum ad-Din, imam al-Ghazali menjelaskan bahwa akhlak adalah sebuah keteguhan jiwa yang melahirkan perbuatan atau tindakan dengan mudah, Imam al-Ghazali, tanpa harus direnungkan dan disengaja. Jika keteguhan jiwa itu sudah melekat kuat dalam diri seseorang, maka akan menghasilkan berbagai perbuatan dan tindakan yang baik, ini yang disebut akhlak yang baik. Namun, jika perbuatan tercela lahir dari kondisi kejiwaan itu, maka itu yang dinamakan dengan akhlak yang buruk.


Dari penjelasan tersebut, imam al-Ghazali melihat bahwa esensi akhlak bukanlah pengetahuan (ma'rifah) tentang baik dan jahat maupun kodrat (qudrah) atau kemestian alam mengenai hal yang baik dan buruk. Akhlak juga bukan suatu pengamalan yang baik dan buruk, melainkan suatu kondisi jiwa yang kuat. Dari kedua pengertian imam al-Ghazali tersebut, ditegaskan bahwa soal pemahaman manusia sejak lahir sudah memiliki potensi akhlak, akhlak baik maupun buruk. Seiring berjalannya hidup, potensi itu akan tumbuh dan berkembang sejalan dengan pergulatan dan pengalaman-pengalaman hidup disertai interaksi dengan lingkungan sekitar.


Oleh karena itu, akhlak bagi imam al-Ghazali lebih mengacu pada sebuah jiwa dan batin manusia yang terbentuk melalui pengalaman hidupnya sehari-hari, meski kondisi batinnya itu kadang baik dan kadang buruk. Artinya, kondisi batin yang kuat itu terbentuk melalui pengalaman. Ini menunjukkan bahwa bagi imam al-Ghazali apa yang disebut dengan akhlak itu merupakan sesuatu yang terlahir dari sebuah kesadaran, sebuah tindakan baik atau buruk yang muncul dari kesadaran manusia. 

Meski tindakan atau perbuatan baik atau buruk ini sudah menjadi kebiasaan, namun kebiasaan itu terbentuk dari kesadaran yang berjalan dengan pengalaman hidup dalam waktu yang lama. Dengan berdasarkan inilah, akhlak merupakan sebuah karakter, watak dan tabiat, sebab hal itu sudah melekat erat dalam dinding jiwa atau hati seseorang. Dengan demikian, akhlak mengarahkan manusia pada kebiasaannya.

Empat kekuatan yang muncul secara alami
Dalam konteks agama, akhlak dibutuhkan agar seseorang bisa mempunyai kebiasaan hidup yang baik. Kebiasaan hidup baik inilah yang dibutuhkan oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan jiwa. Bagi imam al-Ghazali, manusia yang berakhlak baik di dalam dirinya dilengkapi dengan empat kekuatan diri yang muncul secara alami, yaitu:  nafsu, amarah, pengetahuan dan keadilan. Karena potensi baik dan buruk itu telah melekat di dalam diri manusia, maka kekuatan baik perlu diatur dan dikendalikan oleh akal dan hati nurani.


Dari keempat kekuatan alami tersebut, terdapat keadilan di mana dalam konteks akhlak yang baik itu bisa dimaknai sebagai motif atau dorongan religiusitas. Jika keempat daya itu mampu ditempatkan dalam keseimbangan secara maksimal, maka manusia sampai pada kekuatan yakni dzawq atau intuisi di mana kekuatan tersebut melampaui akal manusia dan hal-hal inderawi. Kekuatan tertinggi inilah yang menurut imam al-Ghazali dimiliki oleh para nabi, termasuk nabi Muhammad SAW dan kaum sufi. 

Dzawq sebagai kekuatan akhlak tertinggi mengantarkan manusia menuju kebahagiaan jiwa baik di dunia maupun di akhirat.
Sebagai bentuk usaha imam al-Ghazali, beliau menanamkan pendidikan akhlak atau moral yang lebih mengacu pada dasar-dasar dan prinsip-prinsip etis tasawuf. Prinsip yang dimaksud ini adalah pelatihan rohani yang terus menerus, berani hidup zuhud dan komitmen untuk mengendalikan hawa nafsu dari berbagai godaan duniawi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun