Mohon tunggu...
Badrun Nur
Badrun Nur Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Akar Eksistensi Olahraga

9 Mei 2015   00:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:14 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Olahraga, sebagaimana yang dikatakan Richard Scaht (1998: 124), seperti halnya sex, terlalu penting untuk dikacaukan dengan tema lain. Ini tidak hanya tentang latihan demi kesehatan. Tidak hanya permainan untuk hiburan, atau menghabiskan waktu luang, atau untuk kombinasi dari maksud sosial dan rekreasional. Olahraga adalah aktivitas yang memiliki akar eksistensi ontologis sangat alami, yang dapat diamati sejak bayi dalam kandungan sampai dengan bentuk-bentuk gerakan terlatih.

Olahraga juga adalah permainan, senada dengan eksistensi manusiawi sebagai makhluk bermain (homo ludens-nya Huizinga). Olahraga adalah tontonan, yang memiliki akar sejarah yang panjang, sejak jaman Yunani Kuno dengan arete, agon, pentathlon sampai dengan Olympic Games di masa modern, di mana dalam sejarahnya, perang dan damai selalu mengawal peristiwa keolahragaan itu. Olahraga adalah fenomena multidimensi, seperti halnya manusia itu sendiri.

Mitos dan agama Yunani awal menampilkan suatu pandangan dunia yang membantu perkembangan kesalinghubungan intrinsik antara makna olahraga dan budaya dasar. Keduanya juga merefleksikan kondisi terbatas dari eksistensi keduniaan, dan bukan sebagai kerajaan transenden dari pembebasan. Nuansa keduniawian tampak pula pada ekspresi naratif tentang kehidupan, rentang luas pengalaman manusiawi, situasionalnya dan suka dukanya. Manifestasi kesakralan terwujud dalam prestasi dan kekuasaan duniawi, kecantikan visual dan campuran dari daya persaingan mempengaruhi situasi kemanusiaan (Hatab, 1998: 98).

Budaya Yunani Kuno juga sepenuhnya bersifat agon, persaingan. Puisipuis Homer dan Hesiod menampilkan diri sebagai konflik di antara daya-daya persaingan. Wajah realitas Yunani Kuno juga mewujud dalam daya-daya persaingan ini: atletik, keindahan fisik, kerajinan tangan, seni-seni visual, nyanyian, tarian, drama dan retorika (Crowell, 1998: 7).

Signifikansi agon dapat lebih dipahami dari pandangan tentang ideal kepahlawanan. Dalam Iliad-nya Homer, keberadaan manusia secara esensial adalah mortal dan terarah pada takdir negatif melampaui kendali manusia. Kematian dapat mencapai kompensasi istimewa: keduniawian, kejayaan dan kemasyhuran melalui pengambilan resiko dan pengkonfrontasian kematian pada medan perang, melalui pengujian keberanian manusia melawan satria lain dan kekuatan nasib. Hal terpenting di sini adalah bahwa makna keutamaan terhubung dengan batas-batas dan resiko. Dapat digeneralisir – dalam Iliad itu – bahwa tanpa kemungkinan untuk kalah atau gagal, kemenangan atau keberhasilan tak akan berarti apa-apa (Hatab, 1998: 98).

Atletik (olahraga, dalam tulisan ini kadang-kadang disebut dengan atletik untuk kepentingan penyesuaian konteks) berperan penting dalam dunia Yunani Kuno. Kata atletik berarti konflik atau perjuangan, dan dapat secara langsung diasosiasikan dengan persaingan, di mana kompetisi di tengah-tengah kondisi keterbatasan mambangkitkan makna dan keutamaan. Apa yang membedakan kontes atletik dari hal-hal lain dalam budaya Yunani adalah bahwa atletik menampilkan dan mengkonsentrasikan elemen-elemen duiniawi dalam penampilan fisik dan keahlian, keindahan tubuh, dan hal-hal khusus dari tontonan dramatis (Hatab, 1998: 99). Kontes atletik, seperti yang tampak dalam Iliad, menunjukkan penghargaan yang tinggi masyarakat Yunani terhadap olahraga yang terrepresentasikan sebagai semacam ritual agama dan terorganisir dalam mana kompetisi-kompetisi fisik ditampilkan sebagai analog mimetic (secara menghibur) dari penjelasan agama – baik tentang nasib dan kepahlawanan – dan sebagai penjelmaan rinci signifikansi kultural agon.

Sekarang, signifikansi olahraga menurun di dunia Yunani, justru dengan datangnya statemen-statemen filsafat sebagai kompetitor kultural. Nilai penting dari tubuh dan aksi secara bertahap dikalahkan oleh tekanan pada pikiran dan refleksi intelektual. Ketertarikan terhadap transendensi spiritual dan tertib alam menggeser pengaruh mitos-mitos dan religi seperti dijelaskan di atas. Meskipun Plato dan Aristoteles mengusung nilai penting latihan fisik dalam pendidikan, namun mereka memulai sebuah revolusi intelektual yang meremehkan nilai penting kultural keolahragaan – “remeh” justru karena keterkaitan erat olahraga dengan tubuh, aksi, perjuangan, kompetisi dan prestasi kemenangan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun