Tak berhenti di situ, deklarasi 2019 ganti presiden dikampanyekan para tokohnya dengan mengelilingi sejumlah wilayah di tanah air, demi mempropagandakan gerakan tersebut secara luas. Praktis, aksi tersebut memicu reaksi keras masyarakat yang menolak kehadiran gerakan 2019 ganti presiden, karena dianggap memperkeruh suasana dan mengancam  kerukunan bangsa. Penolakan terjadi di banyak daerah diantaranya: Batam, Jabar, Surabaya, Riau dll.
Hal itu amat disayangkan. Sebab sebuah gerakan politik mestinya memiliki landasan teori dan dasar hukum yang kuat. Sebagaimana ini sudah menjadi prinsip umum di dalam gerakan untuk menjamin legalitas gerakan itu sendiri. Apalagi dalam urusan seserius pergantian presiden yang notabenenya sudah memiliki mekanisme yang sah yang disebut dengan pemilu. Pemilu itu sendiri juga memiliki aturan main yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan perundang-undangan.
Mengingat pemilu merupakan mekanisme legal bagi pemilihan presiden, maka istilah "ganti presiden" sifatnya terkesan sentimental dan emosional. Gerakan ini juga melanggar aturan dengan mengusung tema kampanye yang tendensius, sebelum masa kampanye memasuki waktunya. Sulit memposisikan anasir gerakan ini ke dalam bagian upaya demokratisasi di Indonesia, dilihat dari implementasi gerakannya.
Walhasil, kalaupun gerakan ini harus didudukkan dalam telaah politik tentang demokrasi, maka akan sangat relevan jika disandangkan dengan demokrasi liberal, bahkan tak menutup kemungkinan menjadi demokrasi kriminal. Satu tipe demokrasi yang bersebrangan dengan demokrasi Indonesia yang pancasilais.