Mohon tunggu...
ayub badrin
ayub badrin Mohon Tunggu... Penulis - Ayub Badrin seorang jurnalis

Selain menggeluti dunia Teater saya juga aktif di media masa lokal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mencari Bibit Monolog Lewat Lomba

1 Mei 2019   09:40 Diperbarui: 1 Mei 2019   11:42 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lomba Monolog Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut bekerja sama dengan Bengkel Monolog,  Selasa (30/4/2019) berakhir sudah.

Lomba yang diikuti 26 peserta itu,  dijuarai oleh Eva Susanti sebagai Juara satu dan merupakan hasil keputusan dewan juri yakni,  Teja Purnama, Porman Wilson Manalu dan Sukisno.

Kemudian Juara kedua jatuh kepada,  Desi Arini,  Juara ke tiga yakni Fadiya Aura Diza. Sedangkan Harapan satu yakni Eka Brenta, Juara harapan dua, Dina Mariana dan Juara harapan III,  Della Matondang.

Dari 26 peserta, ada tiga pemain terlihat berumur,  sisanya milenial. Mereka terlihat sangat berbakat.  Kebanyakan aktor aktris dari kelompok teater di Medan.  Lima diantaranya dari Labuhan Batu Urara yakni aktor gaek Wawan Setiawan dan empat anggotanya.

dokpri
dokpri
Hanya Labura yang merespon Lomba yang dimaksudkan untuk merayakan Ulang Tahun ke 71 Pemprovsu itu,  daerah lain tak ada yang mengirimkan.  Padahal Rantau Perapat,  Binjai, Pematang Siantar dan Deliserdang mempunyai kelompok teater yang masih eksis.

Di Deliserdang ada Teater Tetas asuhan Hendra Mulyadi,  Rantau Perapat ada Gita Handayani,  Pematang Siantar ada Teater Plot asuhan Thomson HS,  begitu Tanjung Balai ada Boby.

Alhasil pemenangnya semua  aktor aktris dari kelompok kelompok yang ada di Medan.  Padahal amatan penulis,  Wawan Setiawan sedikit lebih baik atau paling tidak seimbang dengan juara harapan. Mereka punya kekuatan masing masing.  

Dimar misalnya,  penonton nyaris tak bisa mendengar sebagian besar dialognya yang timbul tenggelam. Jika pun,  penguasaan pentas lebih dinamis,  karena Dimar sudah disutradarai dan telah beberapa kali memainkan naskah "Nyonya Kasih" karya Teja Purnama itu. Namun tanpa perkembangan yang berarti.

Jika melihat Wawan Setiawan,  meski nyaris tak tahu apa yang harus dilakukannya di panggung,  setidaknya,  lebih natural.  Membawakan karya sendiri dan vokalnya jelas sampai ketelinga penonton.

Penulis berharap juri bisa lebih jeli lagi dalam menilai.  Sebab Wawan Setiawan masih bisa menjadi harapan.  Juga merupakan strategi membangkitkan gairah monolog sampai ke daerah-daerah.  Setidaknya tahun depan,  daerah masih punya kepercayaan terhadap ajang-ajang lomba yang diadakan di pusat. Jangan-jangan itu pula penyebab daerah lain malas mengirimkan aktor-aktrisnya ke ajang lomba yang diadakan ibu kota, lantaran sudah paham tak akan bisa menang.

Monolog adalah pertunjukan teater yang dimainkan seorang diri.  Medan sendiri mengalami krisis pemain monolog sejak aktor-aktor gaek semisal Eddy Siswanto, Burhan Polka,  Buyung Bizard, gantung kostum sejak tahun 1990 an.

Tetapi kini api yang mulai padam itu mulai ditiup-tiup kembali oleh Porman Wilson yang mendirikan Komunitas Bengkel Monolog bersama beberapa seniman di Medan.  Sempat juga wadah ini menumbuhkan kembali minat,  Burhan Polka,  Buyung Bizard untuk bermonolog.  Tetapi hasilnya terlihat seperti mobil tua yang sudah lama tak jalan, karatan dan akhirnya mogok lagi.

dokpri
dokpri
Lomba Monolog di Medan juga pernah diadakan di tahun delapan puluhan. Waktu itu diberi judul, "Pesta Monolog". Dari ajang itu lahirlah aktor-aktor Eddy Siswanto,  Ema Matondang,  Sabarto, Tri Yanti dan lain-lain.

Kelompok-kelompok teater juga masih terlihat eksis. Mereka subur seperti ilalang dimusim hujan.  Sebut saja teater Kartupat,  Teater Nasional,  Imago,  Que,  Patria,  yang semuanya melakukan pementasan setiap tiga bulan sekali.

Kini zaman sudah berubah.  Orang sudah malas menonton teater.  Bahkan seniman teater sendiri sudah malas menonton teater. Kelompok teater menyiasatinya dengan "merayu" anak-anak sekolah. Beberapa teater seperti,  Teater Blok,  Medan Teater, Deli Compeny Teater,  mengandalkan cara ini.  Sebab personil intinya biasanya merupakan guru-guru teater di sekolah.

Bahkan dari mereka ada juga yang tak peduli kelompok.  Jika ingin pentas,  maka mereka melakukan kolaborasi pemain.  Anak sekolah biasanya "dipaksa" nonton,  lantaran sekaligus merupakan tugas-tugas sekolah dengan tiket Rp20 ribu.

Cara ini memang ampuh.  Pengamatan penulis,  mereka bisa menjaring penonton seribu hingga tiga ribu penonton untuk tiga hari pertunjukan.  Biasanya nereka memang untung. Tetapi pertunjukan disiasati sebagaimana keinginginan pasar.  Misalnya cerita-cerita horor,  tema cinta atau tragedi komedi.

Perkembangan monolog saat ini di Indonesia terutama Jakarta sudah demikian pesatnya.  Seorang aktor monolog mampu bermain dengan kekuatan tubuh dan dialog.  Setidaknya,  Eva Susanti menunjukkan potensi yang luar biasa sebagai seorang monolog.  Hanya dengan properti sebuah kursi,  aktris berhizab ini mampu bermain energik dan menjadi sihir di ajang Lomba Monolog Medan itu.

dokpri
dokpri
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut, Dr Ir Hj Hidayati M Si,  mengatakan Lomba Monolog ini merupakan pembinaan, pengelolaan,  pelestarian seni budaya daerah.

Monolog kata Hidayati lagi,  mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk karakter dan kepribadian. Monolog juga lanjutnya,  berfungsi sebagai penegasan keinginan atau harapan tokoh terhadap sesuatu hal.

"Monolog bisa dalam bentuk emosional,  penyesalan atau berandai andai.  Monolog juga bidang kesenian yang sangat melekat pada kehidupan manusia yang terkandung ekspresi dan sekaligus resepsi aspek aspek kemanusiaan, " ujar Hidayati.

Dalam konteks ke Indonesiaan,  lanjut Hidayati,  monolog memiliki karakter yang dapat dikaitkan dengan nilai kejuangan dan ikon karakter bangsa. Dalam konteks mutahir monolog telah menggenapi entitas kemajemukan dan dinamika budaya Indonesia.

"Kemajemukan dan dinamika tersebut menjadi kekuatan yang mendukung tetap eksisnya sebuah bangsa secara utuh. Oleh karenanya Lomba Monolog menjadi penting bagi pengembangan diri mahasiswa,  pelajar dan seniman. Mudah mudahan pembinaan ini dapat terus berlanjut di tahun tahun berikutnya, " tandas Hidayati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun